Sejak tadi Abel terlihat sangat gelisah. Dia menghamburkan semua isi tasnya ke atas meja. Buku-buku, tempat pensil dan dompet berserakan. Berkali-kali ia mengorek isi dompet dan membolak-balik sisi buku-bukunya seolah ada yang hilang dari sana.
“Cari apa sih, Bel?"
“Uangku hilang.” jawabnya cepat.
Aku terkejut. Jari-jarinya masih sibuk mengorek dompet hingga ke sudut terdalam. Matanya tidak memandangku, sibuk menilik kesana-sini.
“Berapa? Kamu mungkin lupa taruh dimana.”
“Dua ratus ribu. Enggak mungkin lupa. Aku selalu taruh uang banyak di dompet kok.” kali ini ia mendongak. Melihat ke arah tasku.
“Abel! Kamu enggak sedang berpikir kalau aku yang mencuri uang kamu kan?” suaraku meninggi.
“Mmm...boleh aku periksa? Mungkin kamu enggak sengaja, Ke.”
“Ha?? Enggak sengaja bagaimana maksudmu?”
Aku mendengus kesal seraya menyodorkan tasku dengan terpaksa. Ia bergegas mengeluarkan semua isinya ke atas meja. Membuat meja kami berantakan seperti kapal pecah. Kepalaku bergeleng-geleng melihat tingkah konyolnya. Wajahnya tampak kecewa karna tidak mendapati apa yang ia cari.
“Pasti Bowie yang mencuri!”
Semua anak di kelas terkejut mendengar teriakan Abel. Tidak terkecuali aku. Ia segera bangun dari kursinya, berjalan ke arah Bowie yang sudah melongo tak berkedip. Wajah putihnya tiba-tiba berubah pucat.
“Bel, kamu enggak boleh menuduh sembarangan.” aku menahan lengan Abel.
Beberapa anak ikut berdiri mendekati kami. Termasuk Rakan si ketua kelas karismatik idola murid perempuan kelas XI.
“Siapa lagi kalau bukan Bowie. Kamu ingat kan beberapa minggu lalu dia ketahuan mencuri uang kas kita.” suara Abel semakin meninggi.
Wajah Bowie merah padam mendengar ucapan Abel. Ia bangkit dari duduknya mendekati Abel yang sudah sejak tadi pasang badan.
“Aku sudah bertanggung jawab dan minta maaf soal urusan itu. Orang tuaku juga sudah menjamin aku enggak akan mengulanginya. Jadi kamu enggak perlu ungkit masalah itu lagi. Buktikan kalau aku yang mencuri uang kamu!” tantang Bowie.
“Anak nakal seperti kamu mana mungkin bisa insaf. Ngaku aja deh!” Abel mengacungkan jari telunjuknya.
Suasana kelas semakin riuh. Seluruh anak memerhatikan pertengkaran Bowie dan Abel tapi tidak satupun mau ikut campur. Bowie kembali ke mejanya untuk mengambil tas. Lalu melemparnya dengan kasar ke arah Abel. Tangan Abel sigap menangkapnya.
“Periksa saja biar kamu puas!”
“Biar aku yang periksa. Kalian semua duduk di kursi masing-masing. Jangan gaduh begini.” perintah Rakan pada seluruh anak termasuk Bowie dan Abel. Meskipun menggerutu Abel menuruti kata-katanya. Ia menyerahkan tas Bowie pada Rakan.
Rakan mulai menggeledah tas Bowie. Mengeluarkan isinya satu per satu. Memeriksa setiap tempat yang mungkin bisa diselipkan uang. Setelah memeriksa cukup lama Rakan mendatangi Abel.
“Enggak ada.”
“Pasti uangnya sudah di pakai sama Bowie.” Abel memandang sinis pada Bowie yang mengejeknya dengan menjulurkan lidah.
“Kita baru saja masuk jam istirahat dan belum ada satu anakpun keluar kelas karena masalah kamu ini jadi kalaupun Bowie yang ambil uang kamu enggak mungkin dia sudah pakai uang itu.” Abel mengerutkan keningnya mendengar ucapan Rakan.
“Pasti disembunyikan di tempat yang enggak terduga.” Abel bersikukuh meyakinkan Rakan. Sementara Bowie tersenyum puas. Tentu saja Abel semakin geram.
“Abel, kalau kamu menuduh tanpa bukti itu sama saja kamu memfitnah orang lain. Untuk mencari uang kamu yang hilang, aku akan memeriksa tas seluruh anak di kelas.” Rakan menatap Doni, teman semejanya.
“Semua tas taruh di atas meja! Aku dan Doni akan memeriksa tas kalian untuk mencari uang Abel yang hilang. Termasuk isi di dalam saku baju kalian.”
“Huuu...” serentak seluruh anak mengeluh.
Sementara Rakan dan Doni memeriksa tas anak-anak di kelas, Abel menelungkupkan wajah dengan kedua telapak tangannya.
“Abel, jangan menangis. Uangnya kan sedang dicari. Kalau benar ada yang mencuri pasti akan ketahuan dan uang itu akan kembali ke kamu.” kataku menenangkan.
“Aku susah payah mengumpulkan uang itu dari sisa uang jajanku dua minggu. Aku mau beli maskara yang dijual Vina itu loh. Aku sampai memimpikannya hampir setiap malam. Hari ini aku sudah janji akan bawa uangnya.”
“Ha! Vina kelas sebelah yang jual produk kosmetik mahal itu?”
Abel mengangguk pelan.
Aku membuka tempat pensil Abel dan mengeluarkan sesuatu dari sana.
“Maskara ini? Tadi pagi kan sudah kamu beli dari Vina. Aku yang mengantar kamu, Bel.”
Abel segera membuka wajahnya. Ia jauh lebih terkejut daripada aku. Matanya membelalak dan mulutnya menganga seperti ikan koi. Ia lalu menepuk dahinya sendiri.
“Oh my God... aku lupa!” bisiknya.
Kami memandangi Rakan dan Doni yang masih sibuk memeriksa tas anak-anak dengan perasaan ngeri.
***bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
🌸EɾNα🌸
Ceritanya keren lanjut Thor 👍
Jangan lupa feedback ke ceritaku ya
"Kekasih Simpanan Tuan Muda"
kutunggu kedatangannya makasih 🥰
2020-12-22
1