Lidya meminta Yusuf menjemputnya. Ia merasa kepalanya mulai pusing setelah menghabiskan dua gelas minumannya. Setelah menunggu tiga puluh menit, Yusuf datang.
“Mbak,” kata Yusuf yang sudah berdiri di depan tempat duduknya.
Lidya mendonggak, kepalanya pusing, pandangan matanya mengabur. Ia tidak kuat untuk berdiri. Kebiasaan buruknya kalau sudah minum alkohol selalu mabuk dan akan membuat onar jika diteruskan. Itu menyusahkan. Ia mengangkat tangan, meminta Yusuf membantunya berdiri.
“Sini mbak.”
Yusuf langsung membuka jasnya dan menutupi pundak Lidya yang terbuka. Ia sangat menyayangkan wanita itu memakai baju terbuka, karena melihat tatapan lelaki di sana sangat nakal menatap Lidya. Setelah itu Yusuf langsung menggendong Lidya keluar dan membawanya ke parkiran mobil.
“Yusuf. Kamu jahat! Aku benci sama kamu…. ” kata Lidya meracau karena pengaruh alkohol yang diminumnya.
Yusuf hanya diam. Ia tidak menghiraukan racauan wanita cantik itu. Ia segera melajukan kendaraannya menuju rumah. Tidak ada percakapan sama sekali, hingga deringan ponsel Yusuf bergetar. Dengan cepat Yusuf mengangkatnya.
“Ibuk!” pekik Yusuf, membuat Lidya kaget dan melihat ke arahnya.
“Ibuk, Yusuf kangen, huhuhu,” Lidya mengernyitkan dahinya.
“Astaga……. kekanakan sekali,” kata Lidya, menatap tidak percaya.
Lidya tidak mau mendengar lebih banyak percakapan bocah dan ibunya. Ia diam saja menatap ke jalanan. Tetapi Lidya mendadak kaget mendengar Yusuf menyebut namanya sebagai calon istri. Ia memukul lengan Yusuf.
“Mbak, kenapa?” tanya Yusuf panik.
“Kamu bilang apa barusan?” desis Lidya pelan.
Ia masih memiliki kesadaran untuk sekedar mendengar ucapan Yusuf. Dan ia tahu, kalau ibu Yusuf masih mendengar di seberang sana. Ia mencengkram kerah baju Yusuf.
“Jangan pernah kau sebut aku ini calon istrimu, brengsek!” kata Lidya memaki dan lantas merebut ponsel itu dari genggaman Yusuf, menaruhnya di telinga dan mulai bicara.
“Halo, ibu saya Lidya. Ia saya calon istri dari Yusuf, anak ibu. Apakah ibu bisa hadir di pernikahan kami dua hari lagi? Apa perlu saya jemput ke kampung?” kata Lidya dengan suara ramah, melupakan keganasannya yang baru saja muncul.
Yusuf bengong. Ia merasa ada yang aneh dengan Lidya. Barusan marah, kenapa sekarang manis? Lidya punya topeng, kah, pikirnya.
Setelah menerima telepon itu Lidya melempar ponsel ke arah Yusuf, membuat lelaki itu kesusahan menangkap ponselnya.
“Ingat! Jangan pernah bikin masalah. Dua hari lagi kita akan menikah. Paham!” bentak Lidya.
Menikah…. Secepat itu?
Yusuf mengangguk dengan cepat. Ia tak mau membuat lebih banyak masalah.
Setibanya di rumah, Lidya langsung masuk ke kamarnya. Ia perlu mendinginkan kepalanya yang terasa berat. Diletakkannya tas dan jas Yusuf di meja rias, setelah itu ia pergi ke kamar mandi untuk berendam sejenak.
Lidya berendam di bathtub sambil memikirkan kembali ucapannya di dalam mobil bersama Yusuf. Ia sudah memutuskan untuk segera melangsungkan pernikahannya dengan Yusuf, dua hari lagi. Setelah berpikir keras di kelab tadi, ia mengambil rencana cepat, agar semuanya kelar. Orangtuanya tidak mendesak lagi, dan yang lebih tepatnya, ia akan mengikat Yusuf menjadi suaminya.
Setelah cukup merilekskan otot kakunya, Lidya keluar kamar mandi. Ia ingat flashdisk yang diberikan Yusuf siang tadi di kantor. Ia mengambil benda itu dari dalam tas, dan menyambungkannya ke laptop. Di saat ia mengklik file yang tersimpan di falasdisk itu, matanya membulat sempurna. Dadanya bergerak naik turun karena saking kagetnya melihat video yang sedang diputar di layar laptop itu.
“Sialan!” umpat Lidya sambil menutup paksa layar laptopnya.
Ia tidak menyangka sahabatnya itu akan memberikan video yang tidak senonoh kepadanya. Dan ia tahu kalau Sarah telah mengerjainya dengan memberikan totonan panas itu untuk memancing dirinya.
“Awas saja kau besok, Sarah. Aakh! Sarah sialan. Ini membuat mataku tercemar,” kata Lidya sangat jengkel dengan ulah sahabatnya itu.
Ia mencabut flashdisk itu dari laptopnya dan membuangnya ke dalam tong sampah. Ia tidak ingin Yusuf tahu, kalau benda itu berisi video tidak senonoh, layak untuk ditonton. Dan setelah Itu ia pergi ke kamar samping untuk mengambil baju tidur. Ia sudah kelelahan hari ini, dan berencana untuk tidur lebih awal.
Sementara Yusuf, ia masih memikirkan kembali ucapan Lidya, yang akan menikah dua hari lagi. Ini terlalu mendadak, ia belum mempersiapkan diri untuk membelikan calon istrinya itu mahar pernikahan. Apa orang kaya selalu mempunyai hobi untuk memaksakan kehendak kepada orang lain, pikirnya menerawang.
Ia juga tidak punya cukup tabungan untuk membelikan Lidya mahar pernikahan yang mahal. Tetapi ia akan berusaha membelikan sesuai dengan kemampuannya.
Pagi ini Lidya menarik Yusuf keluar dari kamar dan memaksanya untuk masuk ke dalam mobil. Tanpa berbicara apapun Lidya menjalankan mobilnya. Yusuf hanya diam karena bingung harus melakukan apa, dan bertanya apa. Yusuf takut disalahkan lagi oleh wanita cantik itu.
Tak beberapa lama, mereka tiba di depan toko perhiasan. Yusuf melotot bingung. Jangan bilang kalau Lidya akan membeli cincin pernikahan, pikirnya kacau saat ini. Ia meraba dompet di sakunya. Mampus! Ia tidak membawa dompet karena ditarik paksa oleh Lidya sebelum berangkat.
“Ayo turun. Ngapain kamu bengong?” bentak Lidya.
Yusuf buru-buru turun dari mobil dan menutup pintu pelan. Kemudian ia mengikuti langkah Lidya yang masuk ke dalam toko perhiasan itu. Yusuf semakin tersintak kaget, karena itu bukan toko emas biasa, melainkan toko berlian. Napasnya tertahan karena saking kagetnya. Bagaimana kalau Lidya memintanya untuk membelikan mas kawin cincin berlian? Atau paket berlian sebagai mahar pernikahan. Pikiran Yusuf penuh dengan tanda tanya besar, menebak untuk apa Lidya membawanya ke tempat itu.
Yusuf menggelengkan kepala. Ia tidak punya uang untuk membelikan Lidya berlian mahal itu. gajinya saja kalau dikumpulkan setahun, tidak akan cukup untuk membeli satu buah cincin berlian kecil itu. beginilah nasip kalau menikahi wanita kaya, pikirnya dalam hati. Apakah ia akan digadaikan oleh Lidya untuk melunasi pembayaran berlian itu, tebaknya asal.
“Yusuf, kesini,” kata Lidya yang masih sibuk memilih cincin di tanganya.
Yusuf pun segera berjalan ke tempat Lidya, dan melihat cincin yang di pakai wanita itu.
“Ini bagus, tidak?” kata Lidya memerkan cincin yang dipakainya.
“Bagus.”
“Gimana? Kamu suka,” kata Lidya meminta tanggapan.
“Su-suka…”
“Ya. Ambil yang ini saja. Sekalian sama kotaknya. Pilih kotak warna hitam,” kata Lidya ke pegawai toko itu.
Pengawai hanya mengangguk dan langsung menyimpan cincin berlian itu ke dalam kotak hitam dan memberikan kepada Lidya.
Lidya membuka isi dompetnya dan menyerahkan kartu debitnya untuk membayarkan. Ia yakin kalau Yusuf tidak akan mampu membayar cincin itu, karena dia tahu kalau calon suaminya itu adalah lelaki kere yang tidak punya cukup uang untuk membayar cincin berlian.
“Setelah ini kita akan pergi ke butik. Saya mau memilih gaun untuk pernikahan,” kata Lidya berjalan mendahuli Yusuf.
“Baik.”
Yusuf menurut saja kemana pun Lidya akan membawanya, ke jurang pun ia mau, asalkan berdua dengan calon istrinya itu. Yusuf menghela napas panjang karena ia merasa bersalah tidak mampu membelikan mahar untuk calon istrinya itu. Ia juga merasa telah dibeli oleh Lidya untuk menjadi suaminya. Tetapi ia buru-buru menghilangkan pikiran itu, ia berjanji untuk membalas semua itu dengan bekerja sungguh-sungguh untuk Lidya sampai akhir hayatnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments