Di kantor, Lidya bersikap biasa-biasa saja. Ia kembali kepada rutinitas padatnya dengan kertas laporan yang bertumpuk di mejanya. Seperti biasa ia akan menjadi wanita gila kerja. Dengan pekerjaan yang menumpuk karena sempat tertunda saat persiapan pernikahannya, tiga hari terakhir.
Di sana sudah ada Yusuf yang siap membantu Lidya. Ia juga telah membagi semua laporan itu berdasarkan tanggal dan jenisnya. Selama setengah jam ia telah selesai memisahkan satu per satu map itu.
Dari tempat duduknya saat ini, ia bisa melihat jelas wajah cantik istrinya itu. Wanita itu tampak serius mengetikkan jarinya di keybord komputer sambil sesekali mengecek kertas berwarna hijau di sebelahnya. Yusuf menyadari jika di saat wanita itu serius dalam bekerja, kecantikannya bertambah dua kali lipat. Tetapi, jika wanita itu selesai dengan berkasnya, ia kembali menjadi wanita angkuh yang sangat otoriter.
Lidya cukup pusing memeriksa satu demi satu laporan kerja itu. Ia menghela nafas berat setelah lembaran terakhir di map berwarna hijau itu telah selesai di periksanya. Merasa tidak ada kekurangan di dalam keterangan itu, ia berpikir perlu minum kopi untuk meningkatkan kembali semangatnya.
“Yusuf, tolong buatkan saya kopi,” kata Lidya menatap Yusuf yang mengetik di komputernya.
Yusuf menoleh, ia mengangguk. “Baik mbak….”
“Berhenti memanggil dengan sebutan itu. Saya istri kamu sekarang. Panggil nama saja,” kata Lidya menekan nada suaranya.
“Iya.”
Yusuf segera keluar ruangan. Ia memasuki lift menuju lantai 3 untuk pergi ke ruang istirahat, membuatkan istrinya itu secangkir kopi.
“Yusuf!” ia segera menoleh ke sumber suara yang memanggilnya.
“Pak Raka?”
Raka datang tiba-tiba tepat setelah Yusuf keluar dari lift. Ia bergegas mendekati Yusuf. Ada senyuman hangat dari wajah Raka, ketika lelaki itu hampir mendekatinya.
“Kamu sombong ah, setelah menikah sama bu Lidya jadi jarang ketemu sama saya,” kata Raka merangkul pundak Yusuf, lalu berjalan beriringan ke dalam ruang istirahat.
“Maaf pak, bukannya sombong tapi aku baru masuk kerja hari ini,” kata Yusuf dengan senyum menghargai.
“Namanya juga pengantin baru. Ya nggak, Yusuf?” kata Raka menambahkan, dibalas cengiran oleh Yusuf.
“Ah, kamu bikin iri saja. Oh iya gimana? Sukses kan?” kata Raka menaik turunkan alisnya dengan seringaian menggoda.
“Ya begitulah pak,” timpal Yusuf enggan.
Yusuf masih ingat betul bagaimana hari pertamanya setelah menikah dengan Lidya. Itu adalah hari menggairahkan sekaligus hari menakutkan baginya. Mengingat kekuatan ajaib istrinya ketika berduaan membuatnya frustasi. Saking bergairahnya, Lidya tidak mau menyiakan kesempatan ketika mereka di kamar. Lebih bagus itu di kamar saja, tetapi ini malah di semua tempat di rumah itu. Untung saja rumah mereka sepi, karena semua pegawai dipulangkan sementara.
Setelah mengobrol ringan dengan Raka. Yusuf bergegas kembali ke ruangannya sambil membawa satu cup kopi di tangannya. Ia juga sudah melepas penat sambil minum kopi bersama Raka di ruang istirahat.
“Ini kopinya,” Yusuf meletakkan kopi itu di samping meja kerja Lidya.
“Iya,” Lidya menatap sekilas kopi itu dan kembali mengarahkan mouse pada layar komputer.
Yusuf yang telah selesai mengurus pekerjaannya, ia kembali keluar ruangan. Ia berniat turun ke lantai 4 untuk berkeliling melihat karyawan-karyawan lain bekerja. Tetapi ada sesuatu yang membuat pendengarannya terganggu, karena beberapa di antara orang itu ada yang membicarakannya. Mereka mengatakan pernikahan Yusuf dengan Lidya.
“Wah, pak Yusuf masih bekerja sebagai asisten toh? Kata seorang karyawan.
Yusuf menatap karyawan itu. Dia adalah orang yang sama membicarakannya di ruang istirahat ketika ia pertama kali masuk ke perusahaan itu. Kalau tidak salah namanya Jon, ya itu dia. Yusuf mendekat.
“Iya. Saya masih bekerja sebagai asisten,” kata Yusuf menanggapi.
Tak jauh dari tempatnya berdiri, di sana sudah berdiri Candra dengan senyum mengejek kepadanya. Jelas sekali wajah itu menertawai keberadaanya yang masih menjadi pesuruh Lidya. Tetapi Yusuf tidak ambil pusing dengan semua itu, ia kembali melanjutkan langkahnya.
Setelah Yusuf pergi. Karyawan di sana menertawakannya, tetapi Yusuf tidak menggubrisnya. Ia lebih memilih melanjutkan langkahnya. Baru saja beberapa meter melanjauh, Candra berjalan tepat di sampingnya.
“Dasar tidak tahu malu. Lihat tampang kamu saja sudah membuat mood orang hancur. Nggak pantas banget kamu jadi suami Lidya, tahu nggak! Lidya itu pemimpin di sini, sedangkan kamu? Hanya kacung! Ingat,” kata Candra berlalu.
Yusuf menelan ludahnya kasar. Hatinya teriris mendengar ucapan Candra yang ada benarnya. Apa yang akan ia perbuat, itu semua benar. Tetapi apa juga masalahnya dengan orang-orang ini. Kenapa mereka menampakkan permusuhan di wajah masing-masing, sementara ia tidak memiliki urusan dengan mereka semua.
“Yusuf!” teriak Sarah dari belakang.
Ia menghampiri Yusuf sambil berjalan cepat. Dilihatnya wajah Yusuf sedikit kusut tertunduk. Tidak seperti wajah lugu pria itu biasanya. Sarah berpikir ada apa dengan wajah lelaki itu, kemudian ia bertanya.
“Yusuf, kamu kenapa? Kok kusut banget mukanya,” kata Sarah berusaha menyelidik.
“Oh, saya tidak apa-apa kok bu. Permisi,” kata Yusuf, dan ia langsung meninggalkan Sarah dengan raut muka penasaran.
“Apa-apaan dengan wajah itu?” kata Sarah terheran-heran sendiri.
Ia sempat berpikir kalau Yusuf dan Lidya tengah hangat-hangatnya menjadi pasangan pengantin baru. Tetapi setelah melihat muka Yusuf dengan kerutan di kening itu, ia jadi penasaran atas apa yang terjadi. Maklum jiwa kepo selalu melekat pada dirinya, apalagi itu menyangkut orang ia kenal.
Yusuf yang berjalan gontai seperti orang putus asa itu tampak prihatin sekali. Banyak pasang mata menatap dirinya. Ada yang menatap penuh tanya, dan ada yang menatap biasa saja. Tetapi seorang karyawati mendekatinya.
“Pak Yusuf kenapa? Kok tidak bersemangat sekali,” tanya wanita itu penasaran.
Yusuf menatap wanita itu sekilas. Lalu membenarkan mimik wajahnya agar kembali baik seperti semula.
“Saya tidak apa-apa.”
“Bukanya bapak baru menikah dengan bu Lidya, ya? Kok sudah masuk kerja, tidak pergi bulan madu, pak?” tanya wanita itu lagi, tetapi Yusuf merasa risih dengan pertanyaan itu.
“Iya. Kami semua sibuk. Tidak ada waktu untuk itu,” kata Yusuf seadanya.
Yusuf tidak sadar kalau Lidya sudah berjalan tepat di belakangnya. Ia berjalan dengan Sarah. Tetapi langkahnya terhenti melihat Yusuf yang mengobrol dengan karyawati itu.
“Yusuf!” bentak Lidya dengan suara tak bersahabat.
Yusuf terlonjak kaget mendengar suara Lidya yang sangat kencang di telinganya. Ia menoleh ke belakang, di sana sudah ada istrinya menatap dengan wajah masam. Apa lagi ini, pikir Yusuf. Ia merasa tidak berbuat salah.
Karyawati itu menelan ludahnya kasar. Ia sangat kaget mendengar bosnya itu membentak Yusuf. Apakah ia telah berbuat salah karena mengajak Yusuf mengobrol sebentar. Melihat ekspresi Lidya yang galak itu, ia tiba-tiba berkeringat dingin, dan ia hanya menunduk lalu pergi.
“Ikut saya ke ruangan!” kata Lidya dengan nada suara meninggi.
Yusuf hanya menuruti perkataan istrinya itu. Ia melangkah mengikuti Lidya yang berjalan duluan di depannya. Bisikan-bisikan kecil terdengar dari tempat karyawan berkumpul. Mereka tampak mengejek Yusuf karena bentakan dari Lidya.
Tiba di ruangan kerjanya, Lidya menarik lengan Yusuf masuk ke dalam. Ia segera mengunci pintu, memastikan tidak ada seorangpun yang bisa masuk. Setelah itu ia meneliti Yusuf dengan tatapan tajam, seolah yusuf adalah tersangka kejahatan yang tertangkap basah.
“Ngapain kamu bersama wanita tadi? Ada hubungan kah, dengan karyawati itu!” kata Lidya berubah mengintimidasi, membuat Yusuf terkejut.
“Tidak ada. Saya hanya kebetulan bertegur sapa saja dengan nya, Lidya.”
“Terus ngapain kamu dekat-dekat begitu dengannya tadi?” Yusuf bingung mendengar pertanyaan dari istrinya itu.
Ada apa ini, kenapa Lidya terlihat marah bergini, katanya heran. Padahal tadi ia tidak macam-macam dengan karyawati itu, tetapi kenapa Lidya berlebihan sekali seperti menuduhnya berselingkuh.
“Dekat? Saya tidak berdekatan dengannya. Tadi dia hanya menyapa saja. Ada apa ini?” kata Yusuf bingung.
“Baiklah. Dengarkan saya. Saya paling tidak suka kalau milik saya dekat-dekat dengan orang lain. Apalagi tadi kamu tampak akrab sekali mengobrol dengan wanita itu. Berjanjilah untuk kedepannya jangan dekat-dekat dengan wanita lain. Kamu paham!” kata Lidya menekankan perkataan tepat di hadapan Yusuf.
“Baiklah, maaf jika saya tadi bersalah.”
Lidya mendekat. Ia memeluk Yusuf dengan erat sambil membenamkan wajahnya di lipatan dada Yusuf. Sebenarnya ia cemburu kalau Yusuf berdekatan dengan wanita lain. Selama ini ia telah berusaha untuk tidak mempermasalahkan dengan siapa Yusuf bergaul, tetapi semenjak mereka menikah tiga hari yang lalu, ia merasa kalau Yusuf hanya boleh dekat dengannya. Tidak ada yang lain. Tidak ada penolakan.
Yusuf membalas pelukan Lidya. Ia menghela napas panjang melihat kelakuan istrinya itu yang terlalu berlebihan membatasi pergerakannya. Setelah menikah, Lidya tampak lebih posesif dari biasanya, bahkan ia tidak memperbolehkan Yusuf berpenampilan rapi seperti biasanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments