sebuah pelukan

“Hari ini kamu langsung ke kantor saja. Saya ada pertemuan dengan perwakilan Soni group,” kata Lidya memberi perintah kepada Yusuf.

“Baik. Apakah saya perlu mengantar, mbak?”

“Tidak perlu.”

Lidya pergi menaiki mobilnya sendiri ke restoran yang telah ditentukan untuk pertemuan dengan kliennya. Ia tidak ingin membawa Yusuf bersamanya, karena ia berharap Sarah bisa menepati janjinya. Ia juga berharap banyak agar Yusuf bisa dibekali pengetahuan luas untuk naik jabatan jika mereka menikah nanti.

Pagi ini ia telah mempersiapkan semua berkas yang akan dibawa untuk ke pertemuan dengan Soni. Ia tidak ingin melewatkan waktu berharga ini. Setibanya di restoran, ternyata pria itu terlebih dahulu datang dibanding dia. Pria itu duduk santai menanti kedatangannya.

“Maaf saya terlambat…”

Sorot mata Soni menatap ke arahnya. Ia berdiri, dan menampilkan senyuman menghargai. Pria itu membenahi jasnya sebelum berjabat tangan dengan Lidya.

“Hai. Saya Soni,” kata Soni memperkenalkan diri sambil berjabat tangan.

“Saya Lidya,” balasnya.

“Mari duduk. Kebetulan saya juga baru tiba,” kata Soni.

“Sebelum memulai semuanya, silahkan pesan sesuatu terlebih dahulu,” kata Soni, memberikan daftar menu.

“Baiklah, mungkin cafe latte adalah pilihan yang tepat untuk pagi ini,” jawab Lidya.

“Hanya minum? Kau tidak ingin memesan makanan?" Kata Soni menawarkan tambahan lainnya.

“Saya rasa itu saja dulu.”

Soni memberikan menu itu kepada pelayan dan kembali bersiap untuk memulai pembahasan tentang desain yang akan diminta Lidya kepada jasa arsiteknya.

Lidya mengeluarkan map yang telah ia bawa dan menyerahkan kepada Soni. Lembaran-lembaran itu berisi contoh desain dan detail rancangan yang akan menjadi acuan untuk Soni mengerjakannya.

“Itu adalah contoh dan detail yang kami perlukan,” kata Lidya menjelaskan.

Soni terlihat serius menatap lembaran itu. Ia mengamati contoh rancangan itu dengan seksama, setelah itu ia meletakkan di atas meja.

“Baiklah. Saya  rasa ini cukup membantu, dan nanti akan saya tambahkan agar lebih bagus untuk setiap detailnya,” kata Soni menambahkan.

“Baik. Saya  rasa itu adalah keahlian anda. Oh iya, omong-omong selamat atas pernikahannya dan ini ada sedikit hadiah pernikahan buat anda dan isrti,” kata Lidya sambil memberikan paper bag berisikan jam tangan yang dipesannya.

“Wah, terima kasih atas hadiahnya,” Soni menerimanya dengan senang hati.

Lidya meminum cafe latte yang telah datang di hadapannya. Setelah pertemuan ini ia akan kembali ke katornya untuk melihat apa rencana sahabatnya itu. semoga Sarah tidak mengajarkan hal-hal aneh kepada Yusuf.

“Oh, iya. Apakah kau sudah menikah? Maaf saya bertanya masalah pribadi di sini,” kata Soni bertanya dengan sopan.

“Belum,” jawab Lidya seadanya.

“Saya pikir sudah. Maaf sebelumnya.”

“Tapi saya sudah ada calon, dan sebentar lagi akan menikah,” kata Lidya dengan wajah bangga.

“Selamat kalau begitu, dan omong-omong saya punya vila, mungkin jika berkenan untuk tempat bulan madu,” kata Soni menawarkan.

“Terima kasih, mungkin saya akan pertimbangkan.”

Sementara itu, Yusuf yang berada di ruangan Sarah sedang mendengarkan wanita itu  berbicara. Sarah memberitahu Yusuf bagaimana cara melayani klien jika pergi ke pertemuan penting dan memberitahukan pakaian apa saja yang harus digunakan ke setiap pertemuan yang akan dihadiri. Karena setiap pertemuan akan memiliki konsep yang berbeda-beda setiap waktunya. Ia akan mengajarkan Yusuf bagaimana menjadi asisten yang profesional dalam bekerja.

 

“Oke, itu saja dulu untuk sekarang. Kamu harus mengikuti semua yang telah saya tulis itu. dan saya harap kamu bisa memberikan ini kepada Lidya,” kata Sarah memberikan sebuah flashdisk kepada Yusuf.

“Apa ini, bu Sarah?”

“Kau berikan saja, dan ini untukmu. Nanti malam sebelum tidur buka flashdisk itu ya,” Sarah juga memberikan Yusuf sebuah Flashdisk.

Yusuf menerima kedua flashdisk itu di tangannya. Ia tidak tahu untuk apa kegunaan benda itu, tetapi yang jelas ia hanya menerima dan akan menyampaikan amanah itu kepada Lidya. Merasa telah cukup lama di ruangan Sarah, ia berpikir untuk segera menyudahi pertemuan itu.

“Baiklah, bu Sarah. Kalau begitu saya pergi dulu, kalau tidak ada lagi yang akan kita bahas,” kata Yusuf, melihat jam di pergelangan tangannya menunjukkan waktu istirahat makan siang.

“Ya. Jangan lupa berikan itu kepada Lidya. Aku tunggu reaksi kalian berdua…. Besok,” kata Sarah, dengan sedikit bergaya menggoda menatap Yusuf.

Yusuf yang ditatap seperti itu merasa tidak nyaman. Ia ingin segera melarikan diri dari hadapan wanita itu, karena jurus wanita seksi sudah keluar dari Sarah.

“Saya permisi,” Yusuf langsung melangkah keluar ruangan itu, ia tidak ingin terlibat lebih lama lagi bersama Sarah, karena wanita itu sangat berbahaya baginya.

Lidya tiba di ruangannya. Ia meletakkan tas di atas meja dan mendudukkan bokongnya di kursi kebesarannya. Semua pekerjaan hari ini telah selesai, dan sekarang saatnya mendengar kabar dari sahabatnya. Saat ia ingin menghubungi Sarah, pintu ruangan terbuka. Dan yang datang adalah Yusuf.

“Selamat siang, mbak. Pertemuannya sudah selesai?” kata Yusuf menyapa Lidya.

“Sudah.”

Yusuf mendekat ke meja Lidya. Ia mengeluarkan flashdisk itu dari sakunya dan langsung diberikan kepada Lidya.

“Ini bu Sarah menitipkan flashdisk untuk, mbak.”

“Untuk apa ini?” kata Lidya, menerima benda kecil itu.

“Saya kurang tahu, mbak. Katanya untuk dilihat kalau mau tidur nanti malam,” kata Yusuf menjelaskan.

Lidya mengernyitkan keningnya. Ia merasa ada yang aneh dari isi flashdisk itu. Tidak mungkin Sarah memberikan benda itu, lalu mengatakan kapan waktu untuk dibuka. Disimpannya benda itu ke dalam tas dan menatap Yusuf yang masih berdiri di hadapannya.

“Kamu sudah makan?” tanya Lidya.

“Belum, mbak. Saya baru keluar dari ruangan, bu  Sarah.

“Ikut saya.”

Lidya bangkit dari tempat duduknya dan berjalan. Ia juga merasa lapar karena setelah pertemuan dengan Soni, ia hanya minum café latte. Saat ini adalah waktunya untuk makan siang, ia akan makan di kantin bersama Yusuf. Selama ini ia tidak pernah merasakan makan di tempat itu.

Tiba di kantin, suasananya ramai. Semua karyawan makan siang bergantian di sana. Tempat duduk terisi penuh. Para karyawan yang melihat Lidya berada di sana, mereka bergegas memberikan tempat duduk untuk wanita itu. Mereka tidak menyangka akan satu tempat dengan orang nomor satu di perusahaan itu.

“Mari bu Lidya, silahkan duduk,” kata pegawai laki-laki yang menepati tempat duduk itu, ia rela memberikan tempat duduknya  dan memilih berdiri.

Sebenarnya Lidya tidak merasa nyaman berada di sana tetapi, ia melakukan itu hanya untuk mencoba merasakan bagaimana Yusuf yang selama ini bergabung dengan orang-orang itu. Sedikit banyaknya ia ingin merasakan hidup kelas bawahan seperti Yusuf yang akan menjadi calon suaminya.

“Terima kasih.”

Yusuf celingak-celiguk mencari tempat duduk kosong. Ia tidak kebagian tempat duduk , terpaksa ia jongkok di pojokan meja.

Lidya melirik Yusuf sekilas, lalu ia menggelegkan kepala dan langsung menghampiri lelaki itu. Semua orang melihat hal itu, dan jadi penasaran.

“Kamu ngapain makan di sini?” kata Lidya dan Yusuf buru-buru bangun.

“Mbak, saya…..”

“Saya tanya ngapain?” nada suara Lidya semakin meninggi.

Wajah Yusuf sudah merah menahan malu karena semua orang di sana menatap dirinya. Mereka juga menatap remeh dan menertawakan Yusuf dalam diam.

“Saya hanya makan, mbak. Apakah saya salah?” kata Yusuf dengan suara pelan.

“Jangan bikin saya tambah malu ya. Kan di sana masih bisa duduk. Kenapa harus jongkok di pojokan seperti ini? Kamu gembel apa asisten!” bentak Lidya.

Hancur sudah harga diri Yusuf. Ia hanya tersenyum masam. Tidak bisakah ia bernapas sejenak? Bukan ia tidak mau duduk berdampingan di sebelah Lidya, tetapi ia tidak ingin semua mata yang berada di sana menatapnya dengan kebencian. Lebih baik ia mencari jarak aman, tetapi malah mendapat bentakan dari bos cantik itu.

“Mbak saya hanya….”

“Lidya,” panggil Candra, dan Lidya menoleh ke asal suara.

“Apa? Jangan ikut campur!”

“Bukan, Lidya. Kamu nggak malu dilihatin orang-orang, apa? Lihat semua karyawan menatap kalian berdua dari tadi. Lebih baik kita keluar saja. Tidak usah urusin pria itu. ayo, “ Lidya pun ikut pergi dengan Candra, meninggalkan Yusuf sendiri di sana.

Yusuf menunduk sembari berjalan keluar kantin. Telinganya tidak berhenti mendegar bisikan-bisikan dan cemoohan dari orang-orang itu. Dan semua itu tentang hal buruk mengenai dirinya. Ia merasa kecewa dengan sikap Lidya yang membentaknya di hadapan orang banyak, andai ia perempuan, mungkin ia akan menangis saat itu juga.

Saat ia hendak turun ke lantai bawah, seseorang menarik lengannya dan mengunci pintu tangga darurat. Ya, Yusuf turun lewat tangga darurat karena ia malu untuk naik lift dengan keadaan seperti itu. Pasti setiap orang yang berselisih akan menatap dirinya dengan tatapan yang tidak enak.

“Mbak, Lidya?” Yusuf tersintak saat ia sadar yang menariknya adalah Lidya.

“Kenapa?”

“Bukannya tadi mbak pergi bersama pak Candra?”

“Ya, tapi saya kepikiran kamu.”

“Saya?”

“Iya bawel,” kata Lidya kesal, dan ia langsung memeluk Yusuf. 

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!