Tidak jauh dari tempat kami bertemu dengan si Nyonya itu, kami di ajak bertamu ke kedai makannya. Kedai makannya sangat ramai dan para pelayannya sibuk lalu lalang melayani pelanggan mereka. 'Seandainya saja aku bisa membuka sebuah restoran seramai ini' pikirku sejenak. Pastinya keuntungan berkali-kali lipat akan menghampiriku.
"Anak muda, silahkan masuk!" ajaknya sambil mempersilahkan kami masuk ke dalam.
Nyonya itu memberi kode ke salah satu pelayannya agar melayani kami yang baru datang. Seorang pria muda menawarkan kami tempat yang kosong. Lalu dia sibuk mengelap mejanya agar lebih bersih lagi. Aku dan Ruyi duduk dengan tenang dan saling melihat sekitar kami.
"Tuan muda, tadi itu sangat hebat," puji Ruyi yang mengingatkan atas kejadian melawan pencuri tadi.
Aku hanya tertawa kecil. "Ini rahasia kita ya. Jangan memberitahukan ke orang-orang istana atas kejadian yang kamu lihat hari ini!" pintaku.
"Tenang saja, tuan muda," katanya seraya memberi kode kalau dia akan mengunci mulutnya rapat-rapat.
Di tengah-tengah perbincangan seru kami, datanglah Nyonya tadi menghampiri kami sambil membawa seorang gadis cantik. Gadis itu sangat polos dan usianya tidak jauh beda dengan Ruyi.
"Anak muda, kalau nenek boleh tahu, siapa namamu?" tanyanya penasaran padaku.
"Nenek?" Aku hanya tercengang kenapa dia menyebut 'nenek' kepada kami.
"Anak muda, tidak perlu sungkan. Panggil saja saya nenek. Jangan memanggil saya dengan sebutan Nyonya, itu serasa ada jarak di antara kita. Nenek sudah menganggap kamu seperti cucu nenek sendiri dan nenek pun berhutang budi padamu atas kejadian yang menimpa nenek tadi. Kalau tidak ada kamu, mungkin nenek akan kehilangan uang nenek yang mau digunakan untuk suami nenek berobat," jelasnya panjang lebar.
Aku spontan berdiri dari tempat dudukku sebagai rasa hormatku padanya. "Tidak perlu sungkan juga nek. Kita memang harus saling membantu. Itu sudah kewajiban saya juga membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan. Jadi nenek tidak usah merasa berhutang budi padaku," kataku sambil menggenggam kedua tangannya agar ada perasaan hangat di antara kami. Aku tersenyum padanya. "Panggil saja aku Tan Yi," lanjutku.
"Tan Yi... ! Itu nama yang bagus," katanya sambil tersenyum lebar. "Ini ku perkenalkan cucuku padamu," katanya sambil menarik tangan gadis itu ke arahku. "Namanya Ling Xia," lanjutnya.
Gadis itu hanya tersipu malu sambil mengintip menatapku. Ruyi memandangku sambil tertawa terkikih-kikih di balik lengan bajunya.
ini adalah ilustrasi dari Ling Xia.
"Tuan Tan Yi, nama saya Ling Xia. Apakah saya boleh berkenalan dengan tuan?" tanyanya dengan sikap malu-malunya.
Aku rasa dia salah paham denganku. Mungkin aku memang terlihat seperti seorang pria, karena pada masa ini mereka hanya melihat dari luarnya saja. Tidak bisa membedakan antara pria maupun wanita ketika mengenakan pakaian pria.
"Tentu saja nona Ling," jawabku sambil memberi hormat kecil (mengepalkan kedua jari tangan jadi satu) padanya.
"Kalau begitu, nenek akan ke dapur sebentar. Kamu di sini saja menemani Tuan Tan beserta temannya!" suruh nenek kepada Ling Xia.
Ling Xia hanya mengiyakan permintaan neneknya sambil tersenyum. Dari raut wajahnya dia terlihat sangat polos sekali.
"Bagaimana kalau nona Ling duduk disini menemani kami?" tanyaku sambil memberi kode agar dia duduk di sampingku.
"Baik, tuan." Dia dengan santunnya duduk di sebelahku sambil menundukkan kepalanya karena malu.
Ruyi hanya bisa menahan ketawanya melihat sikap salah tingkah nona Ling padaku. Aku hanya bisa memberi kode kepada Ruyi agar diam dan tidak mengolok-olok sikap nona Ling.
"Sudah berapa lama nenekmu membuka usaha ini?" tanyaku pensaran tentang sejarah kedai makan ini.
"Sudah 45 tahun nenek dan kakek merintis tempat ini. Awalnya hanya jualan di pinggir jalan, tapi lama-lama bisa membeli kedai makan ini," jawabnya sambil menunduk.
"Nona Ling, apakah kamu bisa tidak usah terlalu sungkan padaku? Anggap saja aku ini temanmu," kataku sambil menatap wajahnya yang mulai di perlihatkan padaku perlahan.
"Ba..baik, tuan," jawabnya gagap sambil menatapku dengan rasa tegangnya. Pipinya merona merah seperti kepiting rebus.
"Nenek bilang, kakekmu sedang sakit? Kalau boleh tahu, kakek sakit apa?" tanyaku lagi.
"Kakek lumpuh tiba-tiba dari 5 tahun yang lalu. Setengah badan dari perut sampai ke kakinya tidak bisa digerakkan," jawabnya sedih.
"Kemana anak-anak nenek yang lain? Kenapa mereka tidak membantu nenek saja di sini?" Aku hanya melihat nenek itu dan para pelayannya saja. Tidak ada tanda-tanda keberadaan anak-anaknya.
"Nenek kakek itu tidak pernah punya anak. Aku hanya cucu angkatnya saja," jawabnya pelan.
"Oooooo..." kataku yang masih tercengang.
Kami bertiga berbincang-bincang tentang sejarah kedai makan sih nenek yang makin ramai. Disamping itu, ada 7 menu makanan yang disiapkan kepada kami. Ahhhh.... pokoknya bikin ngiler. Perut ini sudah tidak tahan untuk mencicipinya. Kami menikmatinya bersama-sama. Padahal perutku sudah setengah kenyang karena mie dan pangsit tadi.
Ruyi makan dengan sangat banyak. Aku yakin dia pasti menang kalau ikut kompetisi makan terbanyak. Ruyi sangat menikmati setiap sayur dan lauk dalam piring yang di sajikan. Sedangkan Ling Xia, dia hanya makan sedikit. Sesekali dia mengambilkan lauk dan menaruhnya di dalam mangkuk nasiku.
"Nona Ling, kamu makanlah lagi!" suruhku.
"Tapi saya sudah kenyang, tuan Tan," katanya sambil tersipu.
"Nona Ling, sepertinya kami tidak dapat menghabiskan semua makanan ini," timpal Ruyi.
"Kalau begitu, saya akan membungkusnya untuk para tuan agar bisa di bawa pulang," katanya sambil bergegas ke dapur.
"Tuan muda, bagaimana cara kita menghabiskan makanan sebanyak ini?" tanya Ruyi pelan padaku.
"Ya... kita bagikan saja pada penjaga gerbang di paviliun nanti," jawabku.
Tidak lama kemudian Ling Xia dibantu salah satu pelayannya sibuk memasukkan sisa makanan ke dalam rantang. Kira-kira ada 2 rantang makanan yang kami bawa pulang nantinya. Setelah itu, kami berpamitan pulang karena hari sudah menjelang sore.
Aku melihat nenek sudah keluar dari dapur menemui kami. "Nek, Tan Yi pulang dulu ya. Nanti Tan Yi akan datang berkunjung kembali ke sini," pamitku sambil memeluknya hangat.
Dia membalas pelukanku dan mengusap-usap pelan punggungku. Rasanya kangen sekali sama ibuku kalau sudah seperti ini. "Tan Yi, sering-sering datanglah kemari menjenguk nenek," pintanya sambil tersenyum ramah.
"Baiklah, nek," jawabku langsung menyetujuinya.
"Hati-hati di jalan ya para tuan!" pesan Ling Xia sambil melambaikan tangannya.
"Terima kasih Nona Ling," jawab kami berdua berbarengan.
Ruyi membantuku menenteng 2 rantang makanan dari Ling Xia dan kami langsung meninggalkan tempat tersebut. Karena perut kami terlalu kenyang, aku masih mengajak Ruyi berkeliling sebentar sebelum pulang. Hitung-hitung untuk membakar lemak dalam perut kami agar tidak buncit.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments