Lunna terdiam. Menatap kakek yang berdiri di sampingnya. Mereka kini sedang berada di depan tembok di bawah tangga yang melingkar. Lunna semakin heran dengan kakek yang tingkahnya makin aneh akhir-akhir ini.
"Kek, bukankah kita akan pergi ke taman? Ada di halaman belakang kan? Lalu mengapa ke sini?" Lunna menunjuk ke arah dinding putih polos.
"Ini istimewanya, taman milik nenek bukan dibelakang, tapi..." Kakek menjeda kalimatnya.
Menyentuh dinding dengan tangan lalu selarik cahaya muncul dari tembok membentuk sebuah pintu. Pintu itu terbuka sendiri.
"–di sini."
Pemandangan hijau dan warna warni bunga langsung menyambut indera penglihatan. Indah sekali. Kakek pun melangkah masuk. Lalu mengisyaratkan Lunna untuk mengikutinya.
Kakek mendekati salah satu pohon. Diam dan menatap penuh khidmat terhadap hamparan rumput yang terpotong rapi. Lalu menghirup napas dalam.
Ada air terjun kecil di salah satu sisi. Mengalir jernih seperti sungai dan berkumpul di tengah taman menjadi danau dengan jembatan di atasnya. Tempat ini ada di dalam ruangan, lalu cahaya matahari masuk lewat atap kaca bening di atas sana.
Entah berapa luas rumah kaca ini. Seharusnya kelihatan kalau dari atas rumah. Dan seharusnya juga tergambar di denah. Tapi mengapa tak pernah ada yang sadar? Apa tempat ini tidak bisa dilihat dari luar?
"Lunna, kemarilah," kakek duduk di kursi taman yang terbuat dari batu hitam. Lunna mendekat. Duduk di batu yang lebih rendah.
"Saat menggunakan kekuatan jangan emosi dan panik. Tenangkan dirimu, biarkan pikiranmu mengatur kekuatanmu. Bukan sebaliknya."
Lunna menatap wajah kakeknya yang sudah dipenuhi keriput. Namun beliau selalu nampak bahagia meski kadang juga terlihat garang. Jujur saja, ia tidak paham apa yang kakek sedang lakukan sekarang.
"Dalam pelatihan pertama ini, kamu hanya akan duduk di sini seharian. Diam dan jangan kemana-mana. Sabar, kendalikan kekuatanmu. Kakek tidak akan mengajarimu apa-apa."
"Mengapa tidak? Bukankah Kakek sendiri yang bilang akan membimbingku?"
"Kekuatanmu perisai, sedangkan punya kakek adalah es. Kita berbeda, kakek tidak bisa membantu, harusnya kamu diajari oleh pemilik kekuatan perisai juga. Maafkan kakek, Lunna," kakek berbicara datar namun matanya menampakan kekhawatiran.
Lunna terdiam sebentar, mencerna kalimat yang kakek keluarkan. Ini di luar dugaannya. Ia bahkan belum sepenuhnya pulih dari syok karena tragedi kemarin. Dan sekarang, semua pernyataan kakek membuatnya semakin stres.
"Jika aku tak punya pelatih, itu artinya selamanya aku tidak bisa mengendalikan kekuatanku?"
"Bisa, Lun," ujar kakek. Beliau menatap dengan sorot teduh. Mencoba menenangkan gejolak kekhawatiran yang Lunna rasakan.
"Tapi susah," lanjutnya. "Kau mau mencoba? Level terdasar dalam pelatihan adalah mengeluarkan kekuatan tanpa kehilangan kontrol."
"Aku takut, kek," sesal Lunna.
Kakek menghela napas. Tangan tuanya terulur untuk mengelus rambut cucunya. "Jangan takut, percayalah kamu akan baik-baik saja. Kakek akan membiarkanmu sendiri di sini."
Setelah kalimatnya selesai, kakek berjalan menjauh dan keluar dari pintu tadi. Menutupnya kembali seakan tidak pernah ada pintu di sana.
Lunna menunduk, bertanya-tanya dalam hati. Apa pelatihan ini akan berpengaruh terhadap dirinya? Apa ia bisa mengendalikan kekuatan anehnya?
"Apa aku bisa mencegah diriku melukai orang lain?!!" Lunna berteriak keras.
Ia memeluk tubuhnya sendiri. Menutup mata, lalu menarik nafas panjang. Setelah terasa lebih baik, ia membuka kelopak matanya kembali.
Dan terlihatlah... perisai transparan mengelilingi tubuhnya kurang lebih dengan jarak 10 cm serta berbentuk oval. Lagi-lagi ia bingung harus apa. Ia memilih angkat tangan. Membiarkan perisai itu muncul asal tidak menganggu.
Ia kemudian bersandar di sebuah pohon. Mungkin sekarang sudah lebih dari setengah jam. Tiba-tiba angin berhembus semakin dingin dan kencang. Dan tak butuh waktu lama ia sudah menggigil. Salju berguguran di sekitar sana.
Aneh, ini adalah tempat tropis yang tak mungkin ada salju. Jadi bagaimana mungkin? Apa ini ulah kakek? Untuk apa coba? Apa kakek hendak menguji kekuatannya?
Lunna mengerjapkan matanya. Salju ini terlihat sangat indah dengan gemerlap cahaya yang dipantulkan oleh kepingan es tipis. Ia membuka tangan untuk menyentuh salju tersebut. Dingin dan sejuk.
Namun semakin lama saljunya turun semakin banyak, bahkan bisa dibilang cukup deras, sampai-sampai rumput di sini tertimbun kurang lebih tiga cm.
Lunna tercekat. Apa kakek seriusan melakukan ini padanya? Ia melihat ke sekeliling. Perisainya masih ada, tapi sepertinya tidak bisa menghalau suhu dingin yang menusuk kulit.
Lunna berdiri. Memutuskan untuk pergi dari tempat aneh ini. Tapi pintu tadi sudah menghilang. Lalu bagaimana caranya untuk keluar? Apa yang harus ia lakukan?
Lunna bersidekap. Jemarinya mengetuk dagu panik. Saat ia sedang berpikir keras, butiran salju yang turun berubah semakin besar dan keras seperti es.
Ketika benda itu menghujaninya, rasanya seperti kena batu kerikil. Sakit dan nyeri. Tunggu, bukankah ia dilindungi perisai? Kenapa tidak bekerja? Ia pun memperhatikan lekat-lekat sekitar tubuhnya. Perisainya hilang.
"Ya ampun. Benar-benar menjengkelkan!"
Lunna berteriak sambil menghentakkan kaki- yang mungkin malah terlihat seperti sedang melakukan pemanasan sebelum lari maraton. Ia kesal bukan main.
Bagaimana tidak, saat tidak perlu malah muncul. Sampai melukai orang lain pula. Lalu sekarang? Saat pemiliknya sangat butuh malah hilang entah kemana.
Lunna kembali tersadar saat badannya mulai terasa semakin nyeri, kebas dan mati rasa karena terkena batu es. Buru-buru ia mencari tempat berlindung.
Akhirnya ia menjatuhkan pilihan untuk berlindung di bawah bangku taman kayu yang agak tinggi. Dengan sangat terpaksa ia meringkuk di dalamnya. Lembab, dingin, dengan bau tanah yang tercium menjadi satu-satunya teman yang menemaninya saat ini.
Syukurlah ini bukan tempat umum. Apa jadinya jika ada orang yang melihatnya dalam keadaan seperti ini? Mungkin ia akan dikira gelandangan yang tak punya rumah.
Kembali ke keadaan memprihatinkan ini, salju dan bola esnya masih saja turun. Suara berisik yang terdengar saat es menghantam kursi menjadi musik pelengkap suasana ini.
Meskipun di bawah bangku, Lunna juga masih sering kena es yang berjatuhan- yang bentuknya bulat lonjong mirip batu- karena mereka terpental saat membentur benda keras di sekitar.
Tiba-tiba sebuah es besar menggelinding ke arah Lunna. Ternyata semakin lama ukuran esnya bertambah. Lunna menyentuh benda putih itu. Terasa sangat dingin. Jika hanya bertambah besar, sepertinya bangku ini bisa mengatasi.
"Kau kuat kan? Es kecil seperti ini tentu bukan masalah untukmu."
Lunna mengajak bicara benda mati itu dan menepuk kayunya yang keras. Gadis itu tertawa kecut menyadari tingkahnya sendiri yang mendadak jadi konyol.
Tapi dugaan Lunna ternyata salah. Benda dingin itu tidak hanya bertambah besar, namun juga bertambah runcing dan tajam pada salah satu sisinya. Bentuknya jadi lebih mirip mata tombak. Lunna pun mengalihkan fokusnya ke depan. Waspada.
Tampak jelas tanah di sini dipenuhi tancapan es yang semakin panjang. Kakek benar-benar totalitas. Bagaimana bisa pak tua itu tega melakukan hal seperti ini kepada cucunya sendiri?
Krak
Mendadak ada es yang sudah menancap di bangku ini hingga tembus sampai ke tanah tepat di atas kepala Lunna. Gadis bersurai cokelat itu melongo melihatnya. Sekuat itukah? Bahkan bisa menusuk kayu tua yang sangat kokoh.
Krak
Satu buah lagi tombak es yang menancap di bangku. Kali ini berada di depan wajah Lunna. Membuat jantungnya berdetak lebih kencang.
Udara yang terhirup pun terasa dingin. Hidungnya jadi perih dan mungkin sekarang sudah memerah. Melihat kondisi yang semakin buruk, ia berencana untuk pergi dari sini.
Tapi kemana? Seandainya ada tempat aman di sekitar sini, ia juga akan kena saat menyeberang.
"Sial sial sial!" Lunna mengumpat kesal. Ahh, mungkin ia harus mencoba menggunakan kekuatannya. Lunna berkosentrasi, mencoba memerintahkan perisai untuk membantunya.
"Ayo ayo, kok tidak bisa ya?" Lunna bertanya dengan bingung. Ia kalut. Bagaimana ini? Ia semakin takut. Esnya banyak sekali.
Tak lama kemudian terjadi badai. Angin dan salju yang bersatu bertiup sangat kencang. Begitu kuat sampai bisa mengangkat kursi kayu yang berada di atasnya dan melemparnya ke tempat lain. Lunna mengeluh tertahan.
Gadis itu meletakkan kedua tangannya di atas kepala. Mencoba untuk melindungi diri dari es yang berjatuhan. Sejauh ini ia masih beruntung. Ia hanya dihujani salju hingga rambutnya memutih, belum terkena batu es itu.
Tapi entah sampai kapan ia bisa bertahan. Samar-samar terdengar suara gemuruh seperti longsor. Lunna menoleh ke belakang, tidak jelas ada apa karena jarak pandang memendek.
Saat begitu dekat baru ia sadari ternyata suara gemuruh itu berasal dari bola es raksasa yang menggelinding ke arahnya.
OH MYYY GOODD!!!
Tidak ada waktu untuk menghindar! Ia akan mati sekarang!!!!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Alisya Putri
Hay kak
a world full of zombies hadir lagi 💚😘
2020-12-18
1
ᬊᬁεɾʆίηαᵉᶬʷ𝄢༉
mantap , beda dari yang lain , semangat thor💪💪😊😊😊😊
2020-12-16
4
Ade Dirgantara
Mampir baca kak
2020-12-14
1