...CHAPTER 1...
Sudah menjadi kebiasaan bagi seorang gadis berambut pirang dan berwajah polos itu memandangi batu raksasa yang terletak di alun-alun kota. Di sana terukir sebuah nama seseorang yang berperan penting dalam hidupnya. Jackson Alley Trainor. Sosok jenius yang membangun tempat itu sekaligus figur ayah yang tak pernah tergantikan sepanjang masa.
Gadis itu mengerjap. Tatapannya sendu memandangi sebuah ukiran nama yang bahkan tidak akan pernah mengubah apa pun. Tidak akan pernah bisa mengembalikan apa yang telah tiada.
Seorang wanita yang menggunakan jas laboratorium berwarna merah maron itu melangkah mendekati gadis yang masih menatap ukiran indah nama ayahnya. Wanita itu tersenyum dan terlihat begitu anggun dalam balutan jas tersebut. Rambut hitamnya digulung agak tinggi dan kedua tangannya berbalut sarung tangan kulit.
"Garnayse, sedang apa kau di sini?"
Garnayse Alley Trainor. Anak kedua dari dua bersaudara keturunan dari Jackson Trainor yang notabene adalah pendiri Sentral City dan tentunya orang jenius yang dulunya berdiri paling depan dalam kemajuan teknologi.
Garnayse tertegun mendengar suara itu. Lantas gadis itu menghela napas tanpa mengalihkan pandangan. "Kenapa kau kemari, Irene?" Garnayse melirik tunangan sang kakak yang begitu perhatian terhadap dirinya.
"Jamie mencari keberadaanmu."
"Kau tidak perlu repot membantunya mencariku."
Irene tidak menghapus senyum tipis di wajahnya. Dia tahu benar sikap Garnayse akan sulit diubah terhadap dirinya. "Jamie ingin bertemu denganmu."
Garnayse tersenyum masam. "Kenapa tiba-tiba ingin bertemu? Bukankah dia tidak pernah bisa mempunyai waktu untuk bertemu dengan adiknya?" Garnayse menolehkan kepala untuk menatap dingin ke arah Irene, "tetapi untukmu? Dia punya begitu banyak waktu." Garnayse tersenyum miring. Dia tahu perkataannya menyindir wanita di hadapannya saat ini, "bagiku waktu adalah segalanya, Irene. Tapi, semua waktu telah dirampas dariku."
Garnayse manatap lurus memasuki iris mata kehijauan milik Irene. Tatapannya menusuk. Begitu banyak menunjukkan hal negatif yang berhubung dengan kekesalan. Sikap Irene yang bagi Garnayse terlalu sombong serta angkuh dan hanya Garnayse yang mengetahui itu tanpa mampu dia beritahukan kepada semua orang. Licik. Itulah satu kata yang pantas menjadi nama belakang wanita di hadapannya saat ini.
Mengetahui Irene tak melawan kalimatnya, Garnayse berkata pelan, "aku permisi, Irene."
Garnayse segera melangkah melewati Irene dengan langkah cepat dan seperti ingin kabur dari teritorial seorang Irene. Dia tidak pernah menyukai Irene. Jamie--kakak kandungnya satu-satunya keluarga yang ia miliki di dunia ini terlalu banyak menghabiskan waktu dengan calon tunangannya itu dan juga ilmu sains. Entah apa yang lelaki itu lakukan di dalam gedung utama selama berminggu-minggu dan bahkan tidak menyempatkan diri untuk pulang menengok keadaan sang adik.
Garnayse marah. Dia kesal dengan semua orang yang telah mencuri waktu paling berharga miliknya. Rasa kesal atas segalanya. Sains yang tercipta saat ini hasil pengorbanan sang ayah, namun tak bisa dipungkiri lagi Garnayse tak sanggup hidup di tengah-tengahnya. Dia ingin pergi.
Pergi dari kehidupan yang nyaman ini.
...~¤~...
Sudah pukul delapan malam, tetapi Garnayse tak kunjung terlelap. Seharusnya ia tertidur nyenyak setelah berkutat di dalam perpustakaan elektronik hampir lima jam lamanya. Mencari-cari informasi lama yang tak ia ketahui. Tentang empat daerah yang kini berjalan bersama-sama di sekitar Sentral City.
Garnayse membuka kedua mata. Ketika sebuah suara bip berbunyi sebanyak tiga kali, gadis itu bangkit dari kasurnya, kemudian bertepuk tangan satu kali dan membuat semua lampu di dalam kamar tidurnya menyala. Garnayse melangkah ke arah pintu utama kamar tidurnya yang merupakan pintu ganda dengan pengamanan tinggi yang dibuat oleh dirinya sendiri.
"Siapa?" Tanya Garnayse dari dalam.
"Ini aku Jamie."
Garnayse terenyak mendengar suara tak asing milik sang kakak. Garnayse mengusap hidungnya sambil melempar tatapan ke arah lain. "Ada apa?" Tanya nya pelan. Terakhir kali kedatangan Jamie adalah tiga bulan yang lalu. Itupun dia datang dengan maksud tersendiri berupa mengajak Garnayse bergabung dalam penelitiaannya. Garnayse putri seorang ilmuwan jenius, sama seperti Jamie yang seorang putra dari ayah yang sama dengan Garnayse, namun sepertinya ada begitu banyak perbedaan di dalam diri mereka masing-masing. Jika Jamie antusias dan begitu larut dalam sains, maka Garnayse lebih memilih membungkam dirinya dari kehidupan sains yang terlihat oleh sosial. Dia lebih memilih bekerja dalam diam tanpa sepengetahuan siapapun. Sehingga orang-orang kerap kali membandingkan dirinya dengan Jamie, namun Garnayse bersikap biasa saja. Untuk apa dia merasa iri hati dengan kesuksesan kakaknya yang tidak pernah mengingat dirinya. Baginya sains tidak perlu terlalu keras di kejar. Cukup dinikmati dalam kehidupan sehari-hari tanpa perlu di paksakan.
"Boleh aku masuk?"
Garnayse memeluk tubuhnya sendiri. "Kalau kau menemuiku hanya untuk berbicara tentang tawaranmu tiga bulan yang lalu, maka sebaiknya kau pergi dan tinggalkan aku."
"Kau tidak mau bertemu dengan kakakmu, Garns?"
Garnayse mengeratkan rahangnya. Menahan rasa rindu yang sebenarnya bergumul di dalam hati dan menjerit meminta untuk dibebaskan begitu mendengar Jamie menyebutnya menggunakan nama panggilan spesial masa kecil mereka.
"Garnayse, aku hanya punya waktu delapan menit sebelum kembali ke rutinitas. Aku ingin melihatmu sebentar saja."
Garnayse menunduk, memandangi lantai marmer yang kini terlihat begitu menyedihkan. Entah Garnayse yang menyedihkan atau suasana di sekitarnya yang mendorongnya untuk menangis tergugu di hadapan Jamie.
"Garns, aku tahu kau ada di sana. Tolong buka pintunya untukku."
Garnayse melangkah mendekati pintu. Mengetikkan sebuah kode di sisi sebelah kanan pintu yang terdapat beberapa tombol, lalu pintu tersebut terbuka perlahan-lahan menampilkan sosok lelaki tampan berpakaian formal berupa tuxedo berwarna abu-abu tua. Rambutnya tidak terlalu tertata rapi, mungkin sengaja dibuat sedikit berantakan, karena terlihat sangat cocok dengan perawakan Jamie.
Garnayse berdiri di ambang pintu tanpa meminta Jamie untuk masuk. Namun, dengan begitupun Jamie sudah bisa tersenyum puas melihat adiknya yang selama ini ingin ia temui. "Hai," bahkan Jamie hampir lupa bagaimana caranya menyapa Garnayse.
Garnayse manatap Jamie dingin. Setengah mati ia menahan agar pertahanannya tidak runtuh begitu melihat kedatangan Jamie.
"Maaf, aku baru bisa datang sekarang. Tapi, aku hanya ingin melihatmu sebentar sebelum aku kembali sibuk."
Garnayse hanya diam. Dia menekankan bibirnya agar tetap tertutup rapat.
Jamie tersenyum hangat. Tatapannya sendu menatap iris biru indah milik Garnayse. "Ketahuilah, Garnayse, aku merindukanmu. Aku hanya ingin kau tahu itu."
Garnayse mulai tidak bisa menahan gejolak dalam dirinya yang semakin ingin berontak. Kedua matanya mulai memanas memandang tatapan sendu milik Jamie yang sangat ia rindukan.
Jamie merasakan kekecewaan yang adiknya rasakan. Nanar dingin itu tidak memperlihatkan kesedihan, namun kekecewaan yang mendalam.
"Garns, aku--"
"Jamie!"
Garnayse yang terlebih dahulu melihat ke asal suara yang menyerukan nama kakaknya. Itu Irene. Wanita itu terlihat anggun dengan balutan gaun pesta yang ketat memperlihatkan lekuk tubuhnya--membuat Garnayse ingin merusak semua itu. Jamie pun berbalik dan tak menyangka Irene datang menghampirinya.
"Kenapa kau kemari?" Tanya Jamie pelan.
Garnayse jelas-jelas melemparkan tatapan tidak suka kepada Irene yang langsung mendekap lengan milik Jamie.
"Kita harus pergi sekarang juga, Jamie. Kita bisa terlambat pergi ke pesta malam pernikahan."
"Apa?" Garnayse membeo. Kedua alisnya saling bertaut. Tatapan penuh pertanyaan ia lemparkan kepada Jamie, "pernikahan?"
Jamie menelan salivanya dengan susah payah. Irene mengutarakan langsung apa yang sedaritadi ingin Jamie ucapkan setelah melepas rindunya terhadap Garnayse.
"Jamie belum memberitahukannya kepadamu? Itu sebabnya tadi pagi aku mencarimu, karena dia ingin membicarakan tentang pernikahan kami yang diadakan besok siang." Jelas Irene penuh kebanggaan.
Jamie menatap Garnayse sambil berharap adiknya itu mau mengerti dengan situasi yang bahkan tak pernah ia sukai. Jamie tahu Garnayse pasti kesal mendengar berita ini.
Garnayse mendengus pelan dan melayangkan tatapan mengejek. "Kau yakin, Jamie?" Garnayse bahkan tidak mau menyebutnya dengan sebutan 'kak' lagi.
Jamie terpejam sesaat merasakan keperihan dari nada tajam Garnayse. "Garns, aku ingin kau meng--"
"Kau datang pasti karena sebuah alasan yang tidak penting bagiku. Kau datang hanya untuk mengatakan kalau kau akan pergi ke pesta dan menikah esok hari." Garnayse tergelak miris, "malang sekali diriku. Aku mengharapkan sesuatu yang nyata darimu, Jamie! Tapi, aku seharusnya sadar dari awal aku tidak akan pernah mendapatkan tempat yang seharusnya di dalam kehidupanmu. Kau lebih memilih cinta mu terhadap wanita licik ini ketimbang kepada adikmu! Aku keluargamu satu-satunya dan--" Garnayse tercekat. Dia tak sadar air matanya sudah berada di ujung kelopak dan siap meluncur kapan saja. "Dan kau satu-satunya yang aku miliki di dunia ini, Jamie," lirih Garnayse.
Kening Jamie mengerut, memperlihatkan bahwa dirinya merasakan rasa sakit yang Garnayse rasakan. Namun, lidahnya terasa kelu hanya untuk mengucapkan kata-kata agar Garnayse tidak merasa sehancur ini. Bagi Jamie, Garnayse tidak memahami segalanya yang padahal baik untuknya. Dan begitu pula sebaliknya. Kata-kata Garnayse tidak pernah dipercayai oleh Jamie. Itulah yang membuat Garnayse merasa hancur setiap harinya.
Garnayse melirik Irene yang masih berada di samping Jamie. Kemudian, Garnayse kembali menatap tajam ke arah Jamie. "Lakukan apa yang kau inginkan. Kau tidak lagi peduli padaku, Jamie."
"Aku melakukan semua ini untukmu!" Jamie tak sadar kalau dirinya baru saja meninggikan suara berbicara dengan Garnayse sampai membuat gadis itu mengernyit tidak menyangka.
"Apa yang kau lakukan untukku, Jamie?" Ucap Garnayse dengan suara pelan nan lirih, "kau melakukan apa untuk diriku, hah?" Garnayse mengusap keningnya dengan cepat. "Yang aku butuhkan hanya waktu bersamamu! Aku hanya menginginkan waktu berpihak kepadaku dan membawamu kembali seperti dulu, Jamie..." Garnayse menggantungkan ucapannya, lalu ia menggeleng pelan. "Aku tidak membutuhkan semua material dan kehidupan nyaman ini. Semua ini tidak berarti kalau aku hanya hidup sendirian di tengah-tengahnya. Tidak berguna bagiku."
Garnayse melangkah mundur dari ambang pintu. Tatapannya menyiratkan begitu banyak kesedihan yang tak mampu lagi ia tampung. Air matanya membuat kedua matanya terasa perih dan ingin tertutup rapat. "Semoga kau bahagia dengannya," Garnayse menutup pintu dan menguncinya sebelum Jamie berhasil berbicara. Garnayse bahkan membuat ruangannya kedap suara sehingga ia tak perlu mendengarkan ucapan-ucapan kakaknya yang semakin menyakiti hatinya dengan sebuah harapan yang terselip.
Garnayse menyentuh permukaan pintu, kemudian berbalik dan menyenderkan punggungnya di sana. Perlahan-lahan punggungnya merosot sampai akhirnya bokongnya menempel di lantai yang dingin. Air mata lolos dari pelupuk mata gadis itu. Tangisnya pecah. Dia menangis tergugu bahkan tak mampu menahan isakan yang menyesakkan dada karena sedaritadi ia tahan di hadapan Jamie.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments