CHAPTER 4 : Terluka

...CHAPTER 4...

^^^"Hei, Brandon!"^^^

Brandon menolehkan kepalanya untuk menengok ke arah suara. Di sana Tristan berdiri, dengan napas terengah-engah sembari menenteng senjata laras panjang miliknya. Wajahnya terlihat kaget seperti baru saja melihat hantu atau sesuatu yang lebih mengerikan.

"Ada apa?" Brandon terpaksa meminta teman berjaga nya untuk mengawasi daerah sekitar dari pinggir rooftop sementara Brandon segera menghampiri Tristan.

"Garnys. Dia ada di sini." Ucap Tristan di sela-sela napasnya yang belum teratur.

Brandon memgernyit kecil. Ia tak tahu siapa itu Garnys. "Apa itu? Tumbuhan?" Tanya Brandon sembari menelengkan kepalanya sedikit. Dia murni polos menanyakan hal tersebut.

Tristan menghembuskan napasnya panjang dan cepat. Merasa ingin meminta ampun atas kepolosan sahabatnya. "Gadis itu. Gadis yang kita lihat di televisi. Adiknya Jamie, pemimpin Sentral City."

Brandon terbelalak. Kini, mereka berdua sama-sama terkejut dan akhirnya berjalan cepat ke sebuah ruangan yang di dalamnya hanya ada Athena, Elena, Jupiter, dan tak ketinggalan, Garnayse.

...~▪︎~...

Garnayse menautkan jari-jemarinya di atas kedua pahanya yang ia rapatkan. Sejak bokongnya akhirnya bisa mendarat di tempat duduk yang layak, mendadak Garnayse merasa resah. Apakah benar ia harus berada di tempat ini? Garnayse tahu tempat apa itu. Daerah 4 adalah tempat yang di dalam pikirannya sangat aman dan berada jauh dari jangkauan para petugas keamanan di Sentral City. Garnayse tahu letak semua daerah, karena ia sudah hafal mati peta yang menunjukkan semua bagian distrik.

Dan Garnayse tak berhenti berharap kalau kedatangannya tidak membuat semua penghuni yang ada di tempat ini menjadi marah, kemudian menyakitinya. Saat ini pun ia sudah tersakiti, karena merasakan cairan hangat masih mengucur perlahan dari luka goresan sedikit menganga yang terletak di perut bagian kanannya. Tapi, Garnayse memilih bungkam dan menikmati rasa sakit yang ia dapat di saat perjalanan tadi.

Jupiter mengambil sebuah kursi, kemudian ia duduk tepat di hadapan Garnayse. Di dalam ruangan berbentuk persegi itu hanya ada satu penerangan, yaitu lampu gantung bercahaya putih. Cukup untuk menerangi Garnayse dan Jupiter saja. Sekelilingnya gelap meskipun Garnayse tahu ada dua orang wanita berdiri di sana mengamatinya.

Garnayse tertunduk takut. Dia bisa merasakan tubuhnya sedikit gemetar. Napas nya yang terputus-putus itupun berusaha ia tahan.

Jupiter mengamati Garnayse dengan seksama. "Kau Garnayse Alley Trainor? Adiknya Jamie pemimpin di Sentral City?" Tanya Jupiter sebagai pembukaan.

Garnayse menganggukan kepalanya perlahan dan takut-takut. "Iya, tuan."

Jupiter menghela napas. Ia tersenyum hangat. "Jangan panggil aku dengan sebutan tuan. Aku masih muda. Umurku masih 29 tahun. Panggil aku Jupiter. Dan bisakah kau menatapku?" Ujar Jupiter sembari berusaha mencari celah untuk menatap wajah Garnayse.

Akhirnya Garnayse menurut dan berusaha untuk menatap wajah Jupiter. Jupiter cukup terkesima. Mata Garnayse sangat indah, jika di lihat dalam jarak sedekat ini. Tak disangka, Garnayse benar-benar keturunan dari keluarga Trainor yang ayahnya sudah banyak membantu keluarga Jupiter.

Jupiter menganggukan kepalanya. "Aku paham kau ketakutan. Apa yang terjadi di Sentral City?"

Garnayse mengerjap satu kali. "Kakakku mati dibunuh. Seseorang telah meracuni nya."

"Oh, benarkah?" Itu suara Elena. Sangat terdengar mengintimidasi ketika ia melangkah dan berdiri di samping Jupiter memasuki lingkaran cahaya.

Jantung Garnayse seperti baru saja dipukul menggunakan tongkat besi. Ia terkejut bukan main melihat aura mengerikan dari Elena. Terlebih lagi saat Elena melipat kedua lengannya di dada dan melontarkan tatapan penuh rasa tidak suka terhadap kedatangan Garnayse. Detik itu juga Garnayse segera mengalihkan pandangannya kembali ke Jupiter. Ia merasa, Elena tidak menerima kedatangannya.

"Bukankah kau yang membunuh kakak mu?" Ketus Elena dan sontak saja mengundang tatapan marah dari Garnayse.

Gadis itu sangat membenci pertanyaan mengerikan itu. Dia sangat benci itu.

Jupiter berdecak dan menatap Elena. "Sudahlah, El. Tunggu saja di sana bersama Athena. Biar aku yang berbicara dengan Garnayse. Kau cukup mendengarkan."

Elena tersenyum miring. "Aku hanya ingin bertanya secara langsung tanpa basa-basi kepada gadis biadab ini. Yang telah mem--"

"AKU TIDAK MEMBUNUH KAKAKKU!" Garnayse menatap Elena dengan tatapan tajam. Amat-sangat tajam setelah ia membentaknya, "aku tidak akan melakukan hal sejahat itu terhadap satu-satunya keluarga yang ku miliki. Tidakkah kau memahami apa yang kau ucapkan? Apa kau tidak memikirkannya terlebih dahulu?!" Suara Garnayse meninggi. Tubuhnya bergetar menahan amarah campur ketakutan saat tahu ia baru saja melawan singa betina.

Sementara Jupiter menganga. Ia segera menahan Elena yang hendak melangkah maju dan berniat untuk mendaratkan bogeman mentah.

"Berani-beraninya!" Desis Elena.

"Cukup, Elena! Aku bilang, jangan ikut campur! Aku bisa menangani ini." Jupiter mendorong Elena sampai ia mundur beberapa langkah, "aku pemimpin di sini. Aku berhak melakukan sesuatu yang menurutku benar dan tak berujung pertengkaran! Berhenti menggunakan emosi mu, jika kau masih ingin berada di ruangan ini." Tegas Jupiter menggema di dalam ruangan.

Garnayse menahan napas sejenak, kemudian menghembuskannya perlahan tanpa suara. Dia sudah cukup merasa sakit, karena luka di hatinya akibat tuduhan tidak benar dari semua orang. Garnayse sampai tak sadar, kini ia kembali meneteskan air mata.

"Jupiter!"

Jupiter tidak jadi duduk dan menoleh ke asal suara. Di sana Tristan baru saja datang, masuk pintu saja selalu membuat kegaduhan. Berbeda dengan Brandon yang nampak santai, namun tegas dan dingin. Melangkah di belakang Tristan. Hingga akhirnya Tristan menyingkir, menghampiri Athena. Di situlah Brandon dapat melihat dengan jelas wajah Garnayse yang tertekuk sedih. Langkahnya spontan terhenti. Tatapannya terpaku pada wajah gadis berambut pirang itu.

"Oh, Tristan, Brandon. Diam dan dengarkan. Bagus kalian datang. Jaga wanita kalian masing-masing agar tidak bertindak liar." Pinta Jupiter sebelum akhirnya kembali duduk.

Tetapi, Brandon tak berjalan ke arah Elena yang sedari tadi sudah menatapnya. Brandon malah melangkah perlahan, tanpa suara dan akhirnya berdiri tak jauh dari Garnayse.

Brandon menatap setiap inci wajah Garnayse yang menurutnya menyimpan begitu banyak kesedihan dan rasa sakit.

"Garnayse, jangan takut. Kami tidak menyalahkanmu atas kematian Jamie. Tapi, mengapa kau pergi, jika kau tidak bersalah?" Tanya Jupiter pelan tanpa paksaan.

Garnayse menggelengkan kepalanya perlahan. "Aku tidak mau mereka menangkapku, karena aku butuh kebebasan untuk mencari siapa pembunuh kakakku yang sebenarnya. Jika aku masuk ke dalam jebakan, maka selamanya aku tidak akan pernah menemukan dan membalas orang yang telah membunuh Jamie," Garnayse menatap Jupiter lekat-lekat. "Aku dijebak. Seseorang menjadikanku sebagai kambing hitam, karena mereka tahu kalau hubunganku dengan Jamie tidak sebaik yang kalian kira. Aku dan Jamie tidak saling membenci, tapi kami sama sekali tidak mempunyai waktu dan selalu terpisah oleh jarak. Dia tak pernah menemui ku, menengok keadaanku. Setiap kali dia datang menemuiku, pasti ada alasan dibalik itu semua dan berhubungan dengan penelitiannya. Aku tidak suka. Aku hanya ingin perhatian sepenuhnya dari dia meskipun hanya berlangsung sebentar, tapi aku ingin itu tulus. Tanpa maksud lain."

Garnayse mengusap air matanya. Dadanya terasa sangat sesak kala ia menahan isak tangis memikirkan fakta yang sebenarnya tentang dia dan Jamie. Sangat menyedihkan.

Jupiter menghela napas. Lelaki itu menyenderkan punggungnya ke senderan kursi. Ia berpikir keras untuk ini. Dia tidak berpikir keras kalau Garnayse yang membunuh Jamie--justru Jupiter yakin Garnayse bukanlah pelaku nya. Hanya saja, akan banyak konflik yang bisa saja terjadi kalau Jupiter membiarkan Garnayse berada di Daerah 4.

Karena terlalu serius dengan alam pikirannya, Jupiter sampai tidak menyadari kalau wajah Garnayse semakin pucat. Dia awalnya berpikir kalau Garnayse seperti itu, karena ia takut. Tapi, yang menyadari hal itu hanga Brandon. Sampai detik berikutnya Garnayse meringis kesakitan sembari refleks memegangi perut bagian kanannya.

Brandon mengambil langkah dan mendekap tubuh Garnayse yang hendak tumbang ke lantai. Hal itu benar-benar menarik perhatian orang-orang yang ada di dalam ruangan tak terkecuali Jupiter.

"Ada apa dengannya? Apa dia mati?" Tanya Jupiter gelagapan.

Brandon menyingkap kaos yang dikenakan oleh Garnayse dan melihat sebuah luka yang tak terlalu dalam, namun mengeluarkan cukup banyak darah. "Dia terluka," Brandon segera menggendong Garnayse dan membawanya ke ruang perawatan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!