Menebak

"Vey, ada apa dengan wajahmu?" tanya Dinan kaget.

Harvey yang tengah menikmati segelas vodka menoleh ke samping. Dia menarik nafas berat kemudian menyentuh bekas luka di sudut bibirnya.

"Aku memberikan nasehat pada iblis itu dan ini yang aku dapat!" jawabnya.

Dinan terkejut. Sedetik kemudian dia tertawa miris. Dia sangat faham kenapa dua sahabatnya ini bisa bertengkar. Dinan kemudian memesan segelas vodka pada pelayan lalu duduk di sebelah sahabatnya.

"Apalagi yang dia lakukan pada Clara?"

"Banyak. Sekujur tubuh Clara di penuhi luka bekas cambukan," jawab Harvey kesal. "Dinan, aku benar-benar sangat ingin membawa Clara pergi dari mansion itu. Aku tidak tega melihatnya terus menerus di siksa. Dia tidak salah apa-apa, Clara tidak ada sangkut pautnya dengan kematian Kak Lolia. Tapi iblis itu sama sekali tak peduli, matanya sudah tertutup kegelapan!"

"Kau jangan gila, Vey. Eland bisa membunuhmu kalau kau berani membawa Clara pergi dari sana!" cegah Dinan khawatir.

"Lalu apa aku harus diam saja melihatnya terus menyakiti Clara? Asal kau tahu ya, Eland tidak hanya menyakiti fisiknya saja, tapi dia juga memp*rkosanya. Aku bisa melihat kalau Clara menderita truma mental yang sangat parah. Iblis itu benar-benar sudah menghancurkan seluruh kehidupannya!" ucap Harvey sambil menggeretakkan gigi.

"WHATT!" pekik Dinan kaget.

Gila. Dinan tak menyangka kalau Eland akan setega itu pada Clara. Sepertinya iblis di dalam tubuh sahabatnya itu sudah menelan habis akal sehatnya. Eland psycho.

"Nah, kau kagetkan? Bagaimana denganku yang menyaksikan langsung seperti apa kondisi Clara saat ini. Aku benar-benar tidak tahu dengan jalan pikiran Eland. Entah apa yang telah merasukinya sampai tega merenggut kesucian seorang gadis yang tidak bersalah," ucap Harvey kemudian meneguk minumannya. "Dan satu hal lagi, Din. Rahim Clara sangat ringkih, aku menebak Eland pasti sering menendang bagian perutnya. Oh astaga, memikirkan gadis itu entah kenapa dadaku terasa sesak sekali. Kau tahu Dinan, saat aku menyingkap bajunya, di bagian ulu hati Clara ada luka yang aku yakini akan membekas seumur hidup. Aku tidak tahu dengan apa Eland membuat luka itu, tapi yang jelas rasanya pasti sakit sekali. Coba kau bayangkan apa yang dirasakan oleh Clara saat Eland menyakitinya. Apa iya kita hanya akan diam saja menyaksikannya mati perlahan-lahan di tangan sahabat kita sendiri?"

"Mau dia mati atau pun tidak, itu bukan urusanmu!"

Tubuh Dinan dan Harvey langsung membeku ketika mendengar suara hardikan dari arah belakang. Mereka berdua kemudian berbalik, menelan ludah begitu tahu siapa yang baru saja bicara.

"Bukankah aku sudah bilang untuk tidak mencampuri urusanku? Sepertinya pukulan yang aku berikan masih belum cukup membuatmu jera!" ucap Eland sambil menatap dingin ke arah dua sahabatnya.

"Ciih, pukulan seperti ini sama sekali tidak ada artinya untukku jika di bandingkan dengan apa yang sudah kau lakukan pada Clara. Kau tidak hanya menyakiti fisiknya, tapi kau juga membuatnya mengalami gangguan mental. Lepaskan dia El, dia bisa gila kalau kau terus mengurung dan menyiksanya!" sahut Harvey masih mencoba menyadarkan sahabatnya yang sedang gelap mata.

"Persetan dengan semua itu, aku tidak peduli sekali pun dia mati!" bentak Eland kemudian menarik kerah bajunya Harvey. "Kau sudah terlalu jauh merecoki urusanku, Vey. Sekarang dengarkan perkataanku dengan baik. Aku tidak akan pernah melepaskan Clara sebelum Rian datang menyerahkan diri padaku. Dia sudah membuat kakakku hamil, lalu menolak untuk bertanggung jawab yang membuat Kak Lolia merasa malu dan frustasi kemudian bunuh diri. Sekarang adiknya ada di tanganku. Jika dalam waktu seminggu ini dia masih belum muncul juga, aku bersumpah akan melakukan hal yang sama pada adiknya seperti apa yang sudah dia lakukan pada Kak Lolia. Aku akan membuat Clara hamil kemudian membiarkannya mati dengan sendirinya!"

"Kau gila Eland! Rahim Clara sangat lemah, dia bisa sekarat kalau sampai hamil. Arrrggghhh, kau sebenarnya punya otak tidak, El. Dimana hati nuranimu!" teriak Harvey emosi kemudian balik mencengkeram kerah bajunya Eland.

Dinan yang melihat kedua sahabatnya bertengkar pun segera melerai.

"Yak yak yakk, kalian berdua ini kenapa hah! Bisa tidak jangan bersikap seperti anak kecil. Dan kau Eland, Harvey ini sahabat kita. Jangan sampai kau membuat pertemanan kita hancur hanya karena emosi sesaat!"

"Diam kau!" sentak Eland.

"Kau yang diam!" sahut Harvey balas membentak.

Bugh, bugh

Kesal karena ucapannya tak di dengarkan, Dinan akhirnya memukul kedua sahabatnya hingga jatuh terduduk di lantai. Dia kemudian mendengus sambil mengusap wajahnya hingga memerah.

"Bangun kalian. Sekarang kita bicarakan masalah ini baik-baik dan kau Eland!" ucap Dinan sembari menunjuk wajah salah satu sahabatnya. "Tahan dulu emosimu. Harvey itu bermaksud baik, dia hanya tidak mau kau menjadi seorang penjahat."

"Cuiiihhhhhh!" Eland meludah. "Kalian berdua bisa bicara seperti ini karena tidak berada di posisiku. Apa kalian pikir aku merasa puas dengan diriku yang sekarang? Tidak! Aku jauh lebih tidak mau lagi. Tapi sudahlah, kalian tidak akan bisa mengerti apa yang kurasakan. Mulai sekarang kita bukan lagi sahabat, dan aku minta jangan coba-coba mencampuri urusanku atau kalian berdua akan tahu akibatnya!"

Setelah berkata seperti itu Eland bangkit berdiri kemudian pergi dari sana. Sedangkan Harvey dan Dinan, mereka tercengang kaget sambil menatap punggung Eland yang semakin menjauh.

"Dasar keparat! Menyesal aku sudah berteman dengan iblis kejam sepertimu, Eland. Mati saja kau sana!" umpat Harvey jengkel.

"Jaga mulutmu Vey, biar bagaimana pun Eland adalah sahabat kita. Dia sedang tersesat, kewajiban kita adalah membuatnya sadar. Bukan malah meninggalkannya!" sahut Dinan sedikit tak suka dengan perkataan Harvey.

"Matamu sudah buta ya, Din. Kau lihat sendiri kan betapa sombongnya dia! Iblis itu bahkan berani mengancam kita berdua!"

"Sudah aku bilang kalau Eland itu sedang tersesat. Dia itu hanya asal bicara saja untuk meluapkan emosi sesaat. Kau jangan menanggapinya dengan serius, Vey."

Harvey mendengus marah. Dia menerima uluran tangan Dinan yang ingin membantunya berdiri.

"Maaf sudah memukulmu tadi."

"It's okay!" sahut Harvey. "Tapi ngomong-ngomong pukulanmu lumayan sakit juga."

Dinan terkekeh.

"Kau sudah menemukan keberadaan Rian belum?"

"Masih belum, dan itu juga yang sedang membuatku merasa frustasi. Tapi Vey, ada yang aneh dengan menghilangnya Rian," jawab Dinan ragu.

"Apa maksudmu?"

"Dua bulan lalu aku sempat menemukan titik terang tentang keberadaannya. Rupanya tepat di hari Kak Lolia bunuh diri Rian pergi ke luar negeri melalui jalur laut. Aku segera menyebar semua anak buahku untuk mencari tahu tempat tinggalnya dan kami berhasil menemukannya. Akan tetapi ....

"Tapi apa?" desak Harvey cemas.

Dinan menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan ucapannya.

"Tapi Rian tidak ada di sana."

"Haaa? Kenapa bisa seperti itu? Bukankah kau bilang kalau dia kabur ke luar negeri?" cecar Harvey bingung.

"Iya. Menurut rekaman CCTV dan juga daftar nama penumpang, nama Rian memang ada di dalam kapal tersebut. Tapi ternyata bukan dia yang pergi, melainkan seorang imigran gelap yang tidak sengaja menemukan kartu identitasnya saat ingin menyelundup ke dalam kapal. Kau tahu sendiri lah kalau di jalur laut penjagaannya tidak seketat jika kita menggunakan jalur udara."

Harvey tercengang mendengarnya.

"Vey, entah kenapa aku mulai ragu kalau Rian adalah ayah dari bayi yang di kandung Kak Lolia. Dari informasi yang aku dapat, dia itu hanya pria miskin yang tidak pernah berbuat ulah. Aku bahkan tidak menemukan satupun bukti yang mengarah kalau mereka terlibat satu hubungan spesial. Jujur saja, aku khawatir kalau Eland menuduh orang yang salah. Aku takut Rian tidak ada sangkut pautnya dengan kematian Kak Lolia," imbuh Dinan cemas.

"Ya Tuhan, kenapa bisa seperti ini? Kalau kekhawatiranmu benar, itu berarti Eland sudah merusak gadis yang...astaga, bulu kudukku berdiri semua!" pekik Harvey sambil mengusap tengkuknya yang meremang.

"Kita harus bagaimana Vey?" tanya Dinan panik.

"Ayo kita pergi menemui Eland. Dia harus tahu kalau Clara dan Rian tidak bersalah. Kita harus menghentikan semua kegilaan Eland sebelum terlambat!"

"Tapi," ....

"Apalagi Din? Hah!"

"Aku masih belum menemukan dimana Rian, Vey. Lalu bagaimana cara kita menjelaskan pada Eland kalau kita datang tanpa membawa bukti yang kuat? Dia pasti hanya akan menganggap kita bicara omong kosong saja," jawab Dinan resah. Dia lalu memijit pinggiran kepalanya.

"Brengsek!" umpat Harvey kemudian meninju tembok.

Mereka berdua akhirnya sama-sama terdiam bisu. Benak keduanya di penuhi berbagai macam pertanyaan yang membuat mereka sakit kepala. Harvey dan Dinan kemudian memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing karena merasa frustasi memikirkan Eland dan Clara.

*****

...💜 VOTE, LIKE, COMMENT, DAN RATE BINTANG LIMA YA GENGSS.....

...💜 IG: rifani_nini...

...💜 FB: Rifani...

Terpopuler

Comments

Alexandra Juliana

Alexandra Juliana

Mdh²an aja benar Rian g bersalah dia hanya kambing hitam saja, biar si Eland menyesal seumur hidup sdh balas dendam pd org yg salah..

2022-09-06

0

Ani Smc

Ani Smc

harvey, tolong culik aja si clara. kasian banebt ya alloh 😭

2022-06-22

0

@⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔STEVIE𝒜⃟ᴺᴮ

@⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔STEVIE𝒜⃟ᴺᴮ

siapa ya yang ngadu domba rian sma eland

2022-06-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!