Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Dini dan Andi masih berada di tempat penjual es dari tadi sore.
"Din, janji ya jawab jujur."
"Eh, kita pulang dulu yuk."
"Tunggu dong, aku mau tanya sesuatu."
"Ya udah apa, ayo sambil jalan," -sambil menarik tangan Andi-
Di jalan,
"Din, kalau misal kita pacaran, apa itu sebuah kesalahan?"
Dini menghentikan langkahnya, ia terkejut mendengar pertanyaan Andi, tapi buru-buru ia menyadarkan dirinya "mungkin Andi lagi sakit hahaha" batin Dini.
Dini menempelkan telapak tangannya pada dahi Andi.
"Kamu sakit Ndi?"
"Tadi temenku ada yang nanya gitu Din, apa salah kalau dia suka sama sahabatnya, ya aku nggak bisa jawab, makanya aku nanya kamu," ucap Andi berbohong.
Entah apa yang ada di pikiran Andi saat itu. Hampir saja ia mengungkapkan perasaannya pada Dini. Rasa sayang yang sekarang enggan disebut sebagai sahabat. Rasa sayang yang bukan sekedar serpihan kecil dalam hidup Dini. Rasa sayang yang tak bisa ia hentikan. Rasa sayang yang terus menjalar memenuhi tiap jengkal relung hatinya. Namun Andi sadar, ia tak bisa mengungkapkannya, ia tak ingin merusak persahabatan mereka. Ia takut itu akan membuatnya kehilangan Dini selamanya.
"Oh, temen OSIS ya? gimana tadi rapatnya?"
"Ya gitu lah Din, susah nyatuin banyak kepala, udah tiga kali rapat masih nggak ada hasil."
"Semangat dong, Andi pasti bisa," ucap Dini sambil mengepalkan tangannya ke atas.
"Jadi ketua OSIS malah nambah beban Din, bikin stres," ucap Andi sambil memijit kepalanya.
"Nanti jam 9 ke tempat biasa ya" ajak Dini.
"Oke."
Di rumah Dini,
"Baru pulang Din?" tanya ibu Dini.
"Iya Bu, tadi ikut Andi rapat OSIS," jawab Dini yang terpaksa berbohong.
"Ya udah, abis mandi jangan lupa makan ya!"
"Iya Bu."
Setelah selesai makan dan belajar, Dini berpamitan kepada ibunya untuk menemui Andi.
Ketika ia keluar rumah, sudah ada Anita di depan rumahnya.
"Anita!" panggil Dini.
"Hai Din, akhirnya ketemu, aku dari tadi nyari rumah kamu,"
"Ada apa?"
"Mau main ke rumah kamu, boleh kan?"
"Tapi aku ada perlu, aku mau keluar."
"Kemana? aku boleh ikut?"
"Mmmm, maaf ya, kamu nggak bisa ikut."
"Kalau gitu anter aku ke rumah Andi ya,"
"Kamu ada perlu apa sama Andi?"
"Rahasia dong, kamu mau kan nganterin aku kerumah Andi? aku dari tadi muter-muter disini bingung banget sama jalannya."
"Ya udah ayo."
Meski awalnya Dini ingin menolak, ia akhirnya mengantar Anita meskipun itu berarti ia tidak bisa bertemu dengan Andi malam itu.
"Itu rumah Andi, aku pergi dulu ya!" ucap Dini sambil menunjuk rumah bercat biru di depannya lalu pergi meninggalkan Anita.
"Thanks ya!"
Dini tak menjawab, hanya melambaikan tangannya. Ia merasa sedikit kesal. Ia pun berjalan seorang diri menuju bukit kecil di ujung gang rumahnya. Meskipun Andi tak akan datang karena ada Anita di rumahnya, Dini tetap pergi ke tempat itu. Sebuah bukit kecil dengan lampu kerlap kerlip yang menghiasi kanan dan kiri tangganya. Ya, hanya perlu menaiki beberapa anak tangga untuk sampai di puncaknya.
Dulu, bukit itu adalah tempat wisata, tapi karena berada di perkampungan dan minimnya fasilitas membuat pengunjung semakin lama meninggalkan bukit itu. Hanya Dini dan Andi yang sering mengunjungi bukit itu. Mereka memasang lampu lampu kecil di tepian tangga bukit itu. Di tempat itulah mereka sering menghabiskan waktu bersama, bercerita, bercanda dan tertawa bersama.
Sesampainya di puncak, Dini terkejut melihat Andi sudah berada di sana terlebih dahulu.
"Andi."
Andi menoleh,
"Kamu lama banget Din!"
"Iya maaf, tadi ada Anita ke rumah."
"Anita? tumben, kamu akhir-akhir ini deket ya sama dia."
"Enggak begitu deket kok, dia tadi nanyain rumah kamu, minta aku anter kesana, aku pikir kamu masih di rumah."
"Aku dari tadi disini Din, nungguin kamu nggak dateng-dateng."
Mereka duduk berdekatan di bawah pohon, ditemani bintang-bintang yang berkelip dalam gelapnya malam. Wajah Andi terlihat murung. Perasaan yang dianggapnya salah itu selalu mengganggunya. Perasaan yang seharusnya tidak merusak persahabatan mereka.
"Din, aku cape'," ucap Andi dengan wajah sendunya.
"Sini," Dini mensejajarkan kakinya dan meminta Andi untuk tidur di pahanya.
"Kamu ada apa masalah apa Ndi?" tanya Dini sambil memainkan rambut Andi.
"Aku mau keluar dari OSIS aja Din," jawab Andi asal.
"Kenapa? bukannya kamu dari dulu mau jadi ketua OSIS? kamu berbakat loh Ndi buat jadi pemimpin, selama ini semua kegiatan di sekolah lancar juga berkat usaha kamu sama anak-anak OSIS lainnya kan!"
"Iya, tapi sekarang rasanya bebanku banyak banget Din, kalau ada kesalahan dikit aja, semuanya nyalahin aku, seolah-olah cuma aku yang ngelakuin kesalahan itu, aku cape' Din," jawab Andi yang kemudian bangun dari posisi tidurnya.
Ia pun berdiri dan mengusap air matanya yang mulai menetes meninggalkan perih di hatinya. Ini sama sekali bukan tentang OSIS, tapi tentang perasaannya yang semakin gila pada Dini.
Dini langsung memeluk Andi dari belakang, berharap pelukannya bisa sedikit menenangkan Andi. Ia bingung, ia tak pernah melihat Andi seperti ini sebelumnya. Andi terlihat begitu kacau, ia putus asa akan apa yang dihadapinya.
Andi memegang erat tangan Dini yang melingkar di pinggangnya, takut kalau suatu saat nanti Dini akan meninggalkannya. Lama mereka terdiam. Andi kemudian berbalik dan memeluk Dini. Sangat menenangkan. Setidaknya ia masih bisa bersama Dini saat ini. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tak akan pernah menyatakan perasaannya itu. Ia akan menyimpannya sendiri. Meski semakin lama ia menyimpan semakin sakit juga yang ia rasakan.
"Kamu pikir-pikir dulu ya Ndi, jangan ambil keputusan apapun kalau keadaan kamu masih kayak gini."
"Iya Din."
"Mau pulang sekarang?"
"Enggak Din, biarin aku peluk kamu dulu ya!"
Dini tak menjawab, ia semakin erat memeluk Andi. Membiarkan Andi meluruhkan semua rasa yang menyakitkan baginya.
Di rumah Andi, Anita duduk dengan gelisah menunggu kepulangan Andi. Sudah lama ia duduk disana sendiri.
Karena sudah terlalu lama, Anitapun memutuskan untuk pulang, tak lupa ia berpamitan pada orangtua Andi.
Karena Anita baru pertama kali ke daerah itu, ia lupa jalan untuk keluar ke jalan raya dan sialnya lagi HP nya lowbatt, ia pun tak bisa lagi membuka GPS di hp nya. Anita berjalan tanpa arah, berharap akan ada seseorang yang bisa membantunya keluar ke jalan raya.
Setelah berjalan beberapa lama, ia menemukan sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi dengan tangga yang di kelilingi lampu warna warni yang indah.
"nggak nyangka ada tempat secantik ini disini"
Karena penasaran, Anita naik ke bukit itu dan betapa terkejutnya dia ketika melihat Andi dan Dini di atas puncak bukit.
"Andi, Dini!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 244 Episodes
Comments
MUKAYAH SUGINO
ceritanya bagus
2021-12-11
1
Diary Tika
mampir yaa kak hehe
2021-08-30
1
Bagus Effendik
jejak like dulu ya👍👍👍👍👍
2021-05-12
1