Pagi yang cerah, mentari dengan gagahnya bertengger di ujung timur singgasananya. Namun Dini masih belum terbangun dari tidurnya. Selimutnya masih terlihat rapi menutup seluruh badannya.
"Dini, ayo bangun sayang, udah siang lo!"
"Jam berapa Bu? ibu kok belum berangkat?" tanya Dini yang masih enggan untuk beranjak dari tidurnya.
"Jam setengah tujuh, ini ibu mau berangkat, kamu buruan mandi ya!"
Dini terperanjat, ia segera menanggalkan selimutnya, karena terburu-buru tanpa sengaja ia menjatuhkan kotak dengan pita merah yang semalam ia dapat dari ibunya.
"Din, ibu berangkat ya, sarapannya udah ibu siapin di atas meja," ucap ibu dari balik pintu kamar mandi.
"Iya Bu, hati-hati," jawab Dini dengan suara yang tak begitu jelas karena ia masih menggosok gigi.
Selesai mandi dan memakai seragam, Dini segera keluar dari rumah. Di depan sudah ada Andi yang menunggunya.
"Tunggu ya, aku telat bangun tadi," ucap Dini sambil mengikat tali sepatunya dengan berdiri, karena terburu-buru ia pun terjatuh.
"Aduuhhh."
Melihat Dini yang terjatuh, Andi segera membantunya berdiri dan mendudukkannya di kursi.
"Kamu sarapan dulu aja, aku bawa sepeda ayah kok jadi nggak bakal telat," ucap Andi sambil mengikat tali sepatu Dini.
"Ayah kamu libur?"
"Iya, lagi libur."
Setelah selesai sarapan dan mencuci piringnya, Dini dan Andi segera berangkat ke sekolah menggunakan sepeda motor milik ayah Andi.
Dini dan Andi biasa ke sekolah dengan berjalan kaki, oleh sebab itu mereka harus berangkat lebih pagi agar bisa sampai tepat waktu di sekolah.
Hanya ketika ayah Andi libur, Andi bisa memakai sepeda motor milik ayahnya, karena jika tidak sudah pasti sepeda motor satu-satunya itu akan dipakai ayahnya untuk bekerja di sebuah pabrik yang agak jauh dari rumah mereka.
Sesampainya di sekolah, Andi segera memarkirkan motornya setelah menurunkan Dini di depan gerbang sekolah. Dini menunggu Andi di lorong dekat dengan loker para murid.
"Din, aku ke ruangan OSIS dulu ya, kamu ke kelas duluan aja!" ucap Andi yang terlihat terburu-buru.
"Oh, oke," jawab Dini dengan jari yang membentuk huruf O.
Sebelum masuk ke kelas, Dini berniat mengambil bukunya yang memang sengaja ia tinggalkan di loker setiap hari. Ketika ia membuka lokernya, ia melihat selembar kertas berwarna merah diatas bukunya. Ia yakin itu bukan miliknya. Ketika ia mengambil kertas itu betapa terkejut nya ia karena kertas itu berisi sebuah ancaman kepadanya.
"Jangan macem-macem atau beasiswa kamu bakal dicabut"
Dini bergidik membacanya, karena panik dan takut ia segera merobek kertas itu dan membuangnya ke tempat sampah di dekat loker.
Dini tidak tahu siapa yang menulis ancaman itu kepadanya. Ia merasa tidak punya musuh di sekolah.
Ia memang tidak banyak bergaul dengan teman-temannya. Ia lebih suka menghabiskan waktu dengan membaca buku di perpustakaan.
Meski begitu, ia tak pernah punya masalah dengan siapapun. Walaupun teman-temannya juga tak pernah dekat dengannya, tapi mereka juga tak pernah melakukan hal-hal buruk pada Dini.
Mereka hanya menganggap Dini orang yang aneh, karena ia sangat jarang berbicara dan sangat suka menyendiri. Hanya ketika bersama Andi ia bisa sangat berbeda, banyak bicara dan begitu ceria.
Bel masuk berbunyi, Dini segera berjalan ke kelasnya, mencoba melupakan apa yang ia lihat di lokernya tadi.
Di dalam kelas, Dini berusaha keras agar bisa fokus dengan materi yang disampaikan gurunya.
Beberapa kali ia sempat melamun, memikirkan tentang apa yang ia lihat di lokernya tadi. Ia tak habis pikir, apa yang telah ia lakukan sehingga membuat seseorang mengancamnya seperti itu.
Bagi Dini, beasiswa itu adalah separuh hidupnya, itu adalah satu-satunya harapan Dini dan ibunya, tak hanya untuk masa depan Dini, tapi juga untuk ibunya.
Dini menghela napas panjang, ia berusaha tenang dan melupakan apa yang membuatnya resah.
Bel istirahat berbunyi, Dini segera berjalan ke arah perpustakaan disusul Andi dibelakangnya.
"Din, kamu lagi ada masalah?" tanya Andi tiba-tiba.
"Ee, enggak," jawab Dini gugup. Ia tak mau memberi tahu Andi tentang ancaman itu. Untuk masalah ini, Dini berniat untuk mencari tahunya sendiri.
Ia tak mau membebani Andi, karena ia tau Andi sudah cukup sibuk dengan posisinya sebagai ketua OSIS di sekolahnya saat ini.
"Kamu dari tadi banyak ngelamun Din, ayo lah cerita."
"Bukan ngelamun Ndi, tapi ngantuk, hahaha," jawab Dini asal.
"Ya udah, aku rapat OSIS dulu ya."
"Iyaaa."
Dini berjalan mondar mandir di lorong buku-buku di perpustakaan. Ia mencari sebuah buku yang sudah beberapa hari ini ia baca.
Hampir semua bagian rak buku ia lihat dengan teliti tapi ia tidak bisa menemukan apa yang ia cari.
"pasti sudah ada yang meminjamnya," batin Dini.
Memang seharusnya ia meminjam buku itu agar ia bisa membacanya kapanpun ia mau. Tapi ia tidak memiliki cukup uang untuk meminjamnya.
Baginya, menabung uangnya lebih penting jika ia bisa membaca buku-buku itu dengan gratis, meski dengan resiko seperti ini, harus berhenti membaca karena bukunya yang sudah dipinjam murid lain.
Itu bukan masalah bagi Dini, karena ia bisa membacanya lagi ketika buku itu sudah dikembalikan.
Ketika Dini masih mencari-cari buku, pandangannya tertuju pada tumpukan buku yang berada di atas meja panjang di sudut perpustakaan.
Ya, buku-buku itu memang sengaja ditumpuk karena baru dikembalikan oleh peminjamnya dan mungkin si penjaga perpustakaan belum sempat menatanya kembali di tempat yang seharusnya.
Buku dengan gambar pohon di sampulnya itu begitu menarik perhatian Dini. Tertulis "Hidup Sekali, Berarti, Lalu Mati" di sampulnya. Buku karya Ahmad Rifa'i Rif'an itu pun diambil oleh Dini. Ketika akan membacanya tiba-tiba pikirannya kembali pada selembar kertas ancaman yang ia temukan tadi pagi.
"Jangan ngelamun aja," ucap Andi yang tiba-tiba datang dan memukul pelan punggung Dini dengan buku yang ia bawa.
"Eh, Andi, katanya kamu rapat."
"Nggak jadi, kamu mikirin apa sih dari tadi di kelas ngelamun terus."
"Mikirin kamu hahaha," jawab Dini sambil berlalu meninggalkan Andi.
Andi hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Dini. Merekapun kembali ke kelas. Ketika berjalan di lorong hendak melewati loker, dari jauh Dini melihat seseorang membuka lokernya dan menaruh sesuatu di dalamnya. Dini segera berlari meninggalkan Andi.
"Heeiii," teriak Dini pada Anita, seseorang yang telah menaruh sesuatu di lokernya.
Anitapun menoleh dan dengan gugup segera pergi meninggalkan loker Dini. Dini terus mengejarnya hingga ia berhasil menarik tangan Anita.
"Kamu mau naruh apa di lokerku?" tanya Dini penuh intimidasi.
Belum sempat Anita menjawab, dengan paksa Dini mengambil amplop merah yang dipegang Anita. Dini segera membuka amplop itu meski Anita melarangnya. Ternyata isi amplop itu adalah.......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 244 Episodes
Comments
MUKAYAH SUGINO
anita suka andhi
2021-12-11
1
Bagus Effendik
detail ya penggambaran situasi dan sekitar bagus aku suka
2021-05-12
1
Astirai
nyimak thorrrr... lanjut...
baca jg bukalah hatimu untukku ya....
2021-04-22
1