Setengah berlari, Nadira membelokkan kaki melewati gang sempit, di area pemukiman padat penduduk di pinggiran Kota Jakarta. Senyum menggelayut di bibir sembari menyegerakan langkah melewati segerombolan anak-anak yang sedang asik bermain engklek, permainan tradisional melompat dengan satu kaki.
"Permisi," ucap Nadira tak enak hati sudah mengganggu dan mengehentikan permainan anak-anak itu.
"Iya, silahkan Kak," suara riuh anak-anak saling bersahutan mempersilahkan Nadira lewat.
Nadira menolehkan kembali kepalanya menyaksikan anak-anak yang sudah melanjutkan permainan mereka setelah ia berlalu dari sana. Gadis itu sempat tertegun menyaksikan anak-anak tertawa bahagia karena hal yang sederhana.
Pikirannya melayang pada masa kecilnya sendiri. Masa kecil yang harus ia lewati dengan berbagai tekanan untuk menjadi seorang anak sempurna dimata orang tuanya. Hal itu tak lain, hanya agar ia bisa dipamerkan pada rekan bisnis Ayahnya.
Nadira masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana ia berusaha menekan perasaannya, menerima segala perlakuan yang dipaksakan Sang Ibu agar bisa membuat Ayahnya bangga, hanya untuk mendapat perhatian dan kasih sayang lelaki yang dulu sempat ia puja sebagai Ayah terbaik di Dunia.
Namun, lamabat laun ia menyadari kasih sayang Ayahnya tidak pernah tulus diberikan untuknya. Ia hanya akan mendapat cinta jika berhasil menunjukkan suatu pencapaian. Dan sebaliknya, Ayahnya akan murka jika ia membuat suatu kesalahan atau tak menuruti aturan yang telah ditetapkan.
"Nad, kamu mau kemana?" suara lembut wanita paruh baya menelusup melalui gendang telinga, menarik Nadira dari lamunan panjangnya.
Nadira tersadar akan keberadaannya. Ia sudah melewati rumah petak tempat ia bernaung bersama Ibunya beberapa bulan belakangan.
"Eh kelewatan, Ma," cengir Nadira sembari memutar langkah menuju rumahnya.
"Kamu lagi mikirin apa? Kok sampe ling lung begitu?" tanya Shinta sembari terus mengekori anaknya masuk ke dalam rumah.
"Ga mikirin apa-apa kok, Ma," jawab Nadira asal seraya melepas tas yang dikenakannya dan menggantungnya.
Gadis itu lantas membuka lemari yang isinya tak seberapa, seraya menyambar asal sebuah baju di sana.
"Mama itu udah dari tadi perhatiin kamu. Kamu itu melamun. Sampai-sampai ga sadar kamu jalan ngelewatin Mama gitu aja. Padahal Mama dari tadi nungguin kamu di depan rumah," ucap Shinta seraya meninggikan suara lantaran sang anak sudah melengos ke kamar mandi.
Shinta menggelelngkan kepala, saat tak ada sahutan dari dalam kamar mandi.
"Apa dia ga diterima kerja ya?" gumam Shinta menebak apa yang mengganggu pikiran anaknya.
Sudah beberapa waktu belakangan putrinya itu terlihat gusar. Sudah lebih dari tujuh bulan gadis itu berusaha mencari pekerjaan. Namun, tak satupun kesempatan yang datang padanya selama ini. Membuat gadis itu mulai merasa frutrasi.
Tak berapa lama, derit pintu kamar mandi berbunyi diikuti sosok sang putri keluar dari sana sudah tampak segar.
"Kamu mau makan sekarang?" tawar Shinta.
"Nanti lah, Ma. Belum laper." Nadira menghempaskan tubuhnya di atas kasur busa yang terletak di sana.
Ia menyelonjorkan kaki yang mulai terasa pegal karena banyak berjalan. Gadis itu berusaha berhemat saat Ibunya memberi ongkos untuk memenuhi panggilan wawancara kerja tadi pagi. Meskipun ibunya sudah menyarankan agar putrinya menggunakan jasa ojek online, tapi Nadira lebih memilih berjalan kaki cukup jauh hingga ke sebuah jalan besar yang dilewati angkutan umum. Hanya demi menghemat jumlah uang yang hanya sedikit.
"Kamu pasti jalan kaki lagi yah?" ucap Ibunya yang turut merebahkan diri di samping Nadira.
Wanita yang masih nampak cantik di usia tuanya itu lantas meraih betis anaknya dan memberikan pijatan lembut disana.
"Maafkan Mama yah, Nad. Mama sudah membawa kamu pada kehidupan susah seperti ini. Mama memang tidak pernah bisa memberikan kebahagiaan untuk kamu. Bahkan memberikan kehidupan yang layakpun, Mama tidak mampu. Mama ... "
"Ma ... " potong Nadira cepat saat Mamanya mulai merutuki dirinya kembali. "Nadira bahagia sekarang, Ma. Mama tidak salah, Nadira yang memilih hidup seperti ini. Nadira lebih bahagia tinggal disini bersama Mama dari pada tinggal di istana tapi tak pernah merdeka."
"Tapi setidaknya, saat Mama membawamu keluar dari rumah, seharusnya Mama bisa memberikan yang lebih baik. Tapi Mama justru membawamu tinggal ditempat kumuh seperti ini," ucap Shinta dengan mata berkaca-kaca.
Bagaimana tidak hancur perasaannya setiap kali melihat kesusahan anaknya harus beradaptasi dengan tempat tinggal mereka yang baru. Tempat yang jauh dari kata layak untuk mendapatkan kenyamanan sebuah rumah. Bahkan kamar tidur anaknya dulu jauh lebih besar dari satu petak rumah yang saat ini mereka tinggali.
Satu petak rumah berisi satu ruangan yang dijadikan ruangan multifungsi, sebagai kamar, ruang tamu, ruang bersantai, bahkan ruang makan menjadi satu. Semua aktivitas sehari-hari mereka lakukan di dalam satu ruangan itu. Agak ke belakang, terdapat satu dapur kecil yang bahkan jika memasak rasanya wanita paruh baya itu tak leluasa untuk bergerak, serta satu kamar mandi yang sama kecilnya.
"Sudahlah, Ma. Mama jangan terus merasa bersalah. Aku bahagia dengan hidupku sekarang bagaimanapun keadaannya. Lagipula ini masih jauh lebih baik dari pada kita harus terkatung-katung di jalanan. Kita masih punya tempat untuk berteduh."
Shinta menyunggingkan senyum pada putrinya yang semakin hari nampak lebih dewasa menyikap persoalan. Keadaan mengikis kesombongan dalam diri seorang Sherly Nandira.
"Lagipula sekarang seharusnya kita berbahagia bukan bersedih. Aku akan mulai bekerja besok," ucap Nadira tak dapat menyembunyikan kebahagiaan yang terpancar di wajah.
"Benarkah? Mama ikut seneng. Selamat yah, Nad. Akhirnya usaha kamu tidak sia-sia. Kamu akhirnya dapat pekerjaan juga," ucap Shinta dengan binar mata tak kalah bahagia mendengar kabar yang dibawakan putrinya.
"Mulai bulan depan, kita sudah bisa menabung untuk membayar semua hutang kita pada Om Firman."
Shinta mengangguk pasti. Meskipun Firman berkali-kali mengatakan untuk tidak memikirkan semua bantuan yang telah dia berikan, bukan berarti ia dan putrinya mengabaikan segala kebaikan lelaki itu. Bagaimanapun mereka tetap harus membalas budi atas pertolongan yang diberikan oleh sahabat masa kecilnya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
Nuri Nur
masih nyimak
2022-06-23
0
Adhe Dhebo
lnjut
2021-08-02
0
Echa
ayo semangat nadira raihlah kebahagiaanmu
2021-08-02
0