Setelah berbincang cukup lama dengan Aldi di ruangannya, Nadira kini bisa bernafas lega. Kegugupan yang sedari tadi menguasai raga, kini berangsur-angsur memudar.
Sekali lagi ia mengedarkan pandangannya pada dinding-dinding kantor yang akan ditempatinya mulai esok hari. Ada perasaan tak dapat ia mengerti menggerogoti hati, ketika matanya menangkap setiap sudut ruangan dalam lobi. Ia menghampiri seorang gadis muda yang duduk di balik meja penerima tamu. Ia merasa harus melepaskan ketegangan yang mungkin masih bersisa dalam hati hingga membuatnya merasa tak nyaman.
"Permisi Mbak," sapa Nadira pada gadis muda yang masih asik berkutat dengan layar komputernya.
"Iya ... ada yang bisa saya bantu, Mbak?" tanya gadis tersebut.
"Saya boleh permisi ke toilet?" tanya Nadira.
"Oh iya ... Toiletnya ada di sebelah sana. Mbak tinggal melewati lorong itu, terus di ujung belok kiri."
Nadira mengikuti arah pandang yang ditunjuk oleh gadis itu. "Makasih yah, Mbak," ucap Nadira seraya mengulas senyum tulus.
Baru saja hendak melangkah menuju toilet, Jantung Nadira berdetak kencang. Irama jantungnya tiba-tiba memainkan simfoni dengan tempo nada yang cepat. Degupan jantung seolah bisa dapat tertangkap jelas oleh telinganya. Bergemuruh menghentakkan dada dengan sangat kencang.
"Mas Alex ... " lirih Nadira seraya menutup mulutnya dengan telapak tangan.
Mulutnya menganga tanpa bisa terkatup sempurna saat matanya menangkap sosok yang sudah lama tak dijumpai. Sosok tampan nan gagah yang terus memenuhi mimpi-mimpinya, entah sampai kapan.
Hatinya serasa di remas keras, ketika perempuan cantik yang nampak berkelas tertawa renyah disebelah Alex. Ia tak menyangka bahwa pemandangan seperti itu mampu membuat hatinya terluka bak ditusuk sembilu.
Dengan cepat Nadira membalikkan tubuhnya menghadap gadis yang sudah kembali disibukkan dengan deretan angka di layar komputer, saat Alex mengangkat kepala menoleh ke arahnya. Ia tak mau sampai laki-laki yang masih berstatus sebagai suaminya yang sah, mengetahui keberadaannya.
"Maaf, Mba. Boleh saya tanya lagi?" suara Nadira terdengar agak bergetar. Wajahnya yang sudah mulai cerah kini kembali memucat.
"Iya, Mbak. Ada apa?" tanya gadis itu lembut.
"Di dekat sini apa ada kantin atau semacamnya? Sepertinya magh saya kambuh," ucap Nadira asal, sekedar mencari alasan agar bisa menghindari bersitatap dengan lelaki yang sudah memasuki relung hati.
"Di deket-deket sini ga ada kantin sih, Mbak. Tapi kalau Mbak keluar nanti ambil kanan, di pojokan jalan ada tukang bakso. Mungkin bisa membantu mengganjal perut Mbak," jawab si Gadis seraya tersenyum Ramah.
Nadira masih menundukkan pandangan seraya menutup sebagian wajah dengan telapak tangan. Ia menyamarkannya dengan memijat dahi seperti seorang yang terlihat pusing menahan kesakitan.
"Untuk sementara, Mbak bisa makan ini dulu," tawar gadis itu seraya menyerahkan sebungkus roti manakala ia melihat Nadira pucat pasi.
"Eh, ga papa kok, Mbak. Nanti saya makan di luar saja," tolak Nadira halus.
"Ga apa-apa, Mbak, ambil aja. Saya biasa bawa roti, jaga-jaga kalau lagi malas keluar cari makan siang. Tapi hari ini ada teman yang mau mentraktir. Jadi roti ini juga ga akan ke makan," tawar Gadis itu lagi.
"Makasih, Mbak," jawab Nadira terharu akan kebaikan hati perempuan yang bahkan belum ia kenal sama sekali.
Ia jadi teringat akan dirinya yang dahulu. Begitu apatis pada lingkungan sekitar. Padahal akan sangat indah jika saling perduli antar sesama. Jangankan untuk perduli, ia bahkan tak segan membuli. Membuat Nadira tertunduk malu menyesali diri.
"Dimakan aja, Mbak. Mbak nya keliatan pucat banget."
"Eh iya," jawab Nadira seraya membuka bungkus roti dan langsung mengeluarkan isinya.
Jantungnya sudah bekerja dua kali lipat sejak tadi pagi, tentu saja hal itu membutuhkan tenaga ekstra. Tak ada salahnya menerima tawaran dari seseorang yang akan menjadi rekan kerja mulai esok hari. Nadira memakan roti itu seraya mencuri pandang pada Alex yang baru saja melewati meja penerima tamu.
Lelaki itu, berlalu begitu saja tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya. Alex sepertinya sama sekali tak menyadari keberadaanya. Atau memang ia tak pernah sepenting itu dalam kehidupan Alex? Hingga tak sedikitpun menyadari keberadaan dirinya? Pikir Nadira berkecamuk.
Mata Nadira mulai berkaca-kaca menatap Alex dengan perempuan itu dari kejauhan. Lelaki yang pernah mengisi harinya dengan keindahan rasa, seolah tak pernah kehilangan akan dirinya. Tak ada guratan kesedihan yang sama seperti selama ini yang berusaha Nadira sembunyikan. Lelaki itu bahkan terlihat semakin mempesona dan tampak bahagia menjalani hari-harinya.
Dihempaskannya pikiran yang mulai melantur dari dalam kepala, agar menjauh pergi dan tak lagi menghampiri. Ia menyegerakan memakan sisa roti dalam genggaman tangan. Kemudian meneguk air mineral yang disuguhkan oleh gadis baik hati di hadapannya.
"Mbak, sekali lagi terima kasih banyak." Nadira melempar senyum tulus pada gadis yang juga membalas senyumnya.
"Nadira," ucap Nadira seraya mengulurkan tangannya pada gadis yang langsung menyambut uluran tangannya.
"Rani," sambut gadis itu ramah.
"Mulai besok saya akan bekerja disini, Mbak. Jadi saya harap kita bisa berteman," ucap Nadira kemudian.
"Oh ya? Kalau begitu tidak usah sungkan. Ga usah panggil Mbak. Panggil nama saja, oke," senyum manis kembali disuguhkannya untuk Nadira.
"Kalau begitu saya permisi. Sampai ketemu besok pagi," ucap Nadira seraya berlalu dari hadapan Rani.
Gadis itu langsung ambil gerakan kaki seribu secepat kilat. Ia tak lagi perduli dengan keinginan untuk beranjak ke toilet. Dipikirannya hanyalah bagaimana caranya agar bisa cepat pergi dari sana.
Namun, pikiran tak dapat membohongi hati yang masih memikirkan sang suami. Bagaimana seorang Alex Dinata bisa berada disebuah kantor kecil seperti De' Advertising? lagi-lagi isi kepala Nadira berlarian saling berkejaran mencari jawaban atas pertanyaannya yang merasuki pikiran.
"Sepertinya tidak mungkin kalau BeTrust menjalin kerjasama dengan perusahaan sekecil ini. Apa mungkin Mas Alex ada hubungan khusus dengan perempuan tadi? Tapi siapa perempuan tadi?" gumam Nadira seraya melongok ke kiri dan kanan, memastikan tak ada lagi Alex disekitar gedung itu.
"Ya tuhan, kumohon jauhkan lah lelaki itu dari hidupku, agar aku bisa menjalani hari-hariku dengan lebih mudah," hela Nadira pasrah.
Akhir-akhir ini Nadira merasa seringkali melibatkan tuhan dalam harapnya. Apakah ia harus bersyukur atas kemalangan yang menimpa? Hingga ia menjadi perempuan yang mulai mencari keberadaan Sang Pencipta? Ah, lagi-lagi Nadira menepis pikirannya. Ia harus pulang segera. Bersiap menghadapi esok yang mungkin akan terasa lebih berat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 133 Episodes
Comments
beti
sepertinya menarik critanya,, aku mampir dulu thor..
2021-10-10
0
Mami keyffa
aku lanjut trus....bagus kayaknya
2021-09-15
0
Sukesi Suwandi
ini cerita alex yg sepupunya suami alea itu ya, sama sherly yg dimanfaatin bpk tirinya buat balas dendam ke keluarga dinata...
2021-09-12
0