Tatapan mata Arini fokus pada bill pembayaran tagihan administrasi rumah sakit untuk perawatan neneknya. Betapa banyak angka di belakang titik digit pertama, Arini bingung mencari uang darimana sebanyak itu. Melihat pun tidak pernah, apalagi memilikinya.
Apa dia harus menjual rumah mereka satu-satunya? tapi jika di jual dimana mereka akan tinggal setelah nenek keluar dari rumah sakit.
Yang di hadapi Arini sekarang hanyalah jalan buntu, tidak ada cara lain selain menjual rumah mereka. Dan Arini memutuskan untuk menelpon salah satu temannya yang kebetulan ayahnya adalah seorang makelar tanah.
Nutt... nuuuuttt.... nuuuuttt....
Panggilan keluar Arini sudah tersambung namun begitu lama teman Arini mengangkat telponnya.
"Hallo.." suara seorang wanita mengangkat panggilan Arini.
"Hai sil, ini aku Arini." begitu gembiranya Arini ketika panggilan suara Arini di jawab.
"Oh Arini, ada apa nih? kangen ya? Lo ganti nomor nggak bilang-bilang gue." dia Silvia teman dekat Arini waktu SMA, namun sekarang terpisah karena Silvia harus menempuh pendidikan di luar kota.
"Hehe kirain kamu udah nggak pakai nomor ini, tadi iseng, ehh.. ternyata nyambung."
"Ada apa rin, lo bukan tipe orang yang suka call kalo nggak ada hal penting." Silvia sepertinya tau jika Arini ada masalah sekarang.
"Emm.. gini sil, pakde Aryo masih suka jualin tanah nggak ya? Arini mau minta tolong." tanya Arini harap-harap cemas.
"Masih kok, btw ada apa rin? Lo mau jual tanah?" jawaban Silvi seperti angin pantai yang berhembus, begitu menyejukkan.
"Nenek masuk rumah sakit sil, harus operasi jantung."
"Ya Allah, kapan rin? sekarang udah operasi belum?" tanya silvi.
"Belum sil, mesti bayar separuh dulu agar nenek cepat ditangani." suara Arini terdengar begitu pilu menceritakan keadaan neneknya.
"Ya udah ntar aku ngomong sama bapak ya, ini silvi mau masuk kelas."
"Oh iya sil, belajar yang rajin ya, maaf ganggu waktu kamu, dan makasih untuk bantuannya." Arini menutup telponnya dan pergi untuk melihat keadaan neneknya.
Sudah tiga hari nenek Arini di rawat di ruang ICU, namun kondisinya malah semakin buruk tidak ada peningkatan, detak jantungnya makin melemah, Arini sangat takut jika sewaktu-waktu nenek meninggalkan dirinya sendiri di dunia ini. Hanya beliau satu-satunya keluarga yang Arini punya.
"Sus bagaimana nenek saya?" Arini bertanya pada suster yang baru saja keluar dari ruangan tempat neneknya di rawat.
"Sepertinya nenek anda harus cepat-cepat masuk ruang operasi mbak, jika tidak kemungkinan terburuk bisa terjadi." kata suster itu.
Arini hanya diam mendengar penjelasan suster tadi, kabar itu begitu menyayat hatinya.
Arini harus segera mencari jalan keluar sekarang.
°°°
Sudah seminggu sejak nenek dirawat, kini kabar gembira datang untuk Arini, kondisi neneknya sudah mulai stabil dan siap untuk naik ke meja operasi, Arini seperti mendapat angin dari surga. Dan untuk biaya administrasi Arini telah melunasinya.
"Makasih ya pakde sudah bantu Arini, tanpa bantuan pakde mungkin nenek akan lama untuk di tangani." Arini sedang berbicara dengan ayah Silvi lewat sambungan telepon.
"Iya dek, ama-sama, semoga nenek segera sembuh dan dapat berkumpul lagi denganmu ya nak."
"Amiin pakde, arini tutup dulu ya telponnya, Arini akan mengantar nenek untuk operasi." pamit Arini.
Arini menutup telponnya, dan segera bergegas ke ruang rawat neneknya.
Harapan Arini, semoga hari ini operasi nenek berjalan dengan lancar.
Sejak menemani neneknya di rumah sakit, Arini sudah absen dalam mengajar. Dia juga tampak tidak enak hati pada bu kepala karena sebenarnya sekolah mereka masih kekurangan tenaga pengajar, sedangkan Arini ingin selalu menjaga neneknya.
°°°
Menjelang sore Arini memutuskan untuk pergi ke sekolah tempat ia mengajar.
"Kau sudah pikirkan matang-matang rin?" tanya bu kepala sekolah.
"Aku tidak bisa meninggalkan nenek bu, tidak ada yang menjaganya selain aku." jawab Arini.
Bu kepala tampak menghela nafas panjang mendengar keputusan Arini yang mengundurkan diri dari mengajar.
Sebenarnya ia tak ingin mengizinkan Arini untuk berhenti, namun ia juga tak enak hati jika harus memaksa Arini untuk tetap mengajar, mengingat kondisi neneknya juga sedang tidak memungkinkan untuk sering-sering di tinggal.
"Baiklah jika kau sudah memutuskan begitu nak, semoga nenekmu cepat pulih, jika kau masih ingin mengajar disini, jangan sungkan untuk datang." bu kepala memeluk Arini, gadis malang yang sudah ia anggap seperti putrinya sendiri itu.
"Terimakasih untuk segalanya bu."
Sebelum ia pergi, Arini memutuskan untuk melihat-lihat gedung sekolah, ia masuk ke ruangan tempat ia mengajar. Banyak kenangan yang terukir dihatinya di tempat ini. Bagaimanapun tempat ini yang mengajarkan Arini segala hal, kesabaran, ikhlas dan disiplin.
°°°
Radit membangunkan Chika pagi-pagi, ia harus mengurus anaknya sendiri setelah suster yang mengurus Chika selama ini mengundurkan diri. Repot memang, tapi Radit mencoba sebaik mungkin untuk mengurusnya.
"Chika sayang bangun nak, kan hari ini sekolah." kata Radit lembut.
"Enngghhh..... Chika nggak mau sekolah, di sana nggak ada mama." sudah tiga hari sudah Chika merajuk tidak mau sekolah, sejak guru kesayangannya itu tidak datang mengajar Chika seperti kehilangan lagi semangat hidupnya.
"Gimana mau jadi dokter dong, orang Chika males sekolah."
Tapi tetap Chika tak bergeming sedikitpun, walau di bujuk dengan cara apapun ia tetap tak mau pergi ke sekolah.
"Dia tetap tak mau pergi?" tanya Rena pada Radit yang kelihatan lesu.
"Iya begitulah Chika." jawab Radit pasrah.
"Arini memang sumber semangat Chika saat ini, sayangnya aku lupa minta kontak HP nya." Rena menepuk jidatnya kesal.
"Nanti aku datang ke sekolah chika."
"Untuk apa?"
"Tentu saja untuk mengetahui keberadaan guru itu."
"Ah baiklah, semoga kau dapat kabar baik tentangnya."
Radit bergegas pergi ke sekolah tempat Arini mengajar, namun sayang tidak ada seorangpun berada di sana. Radit tampak memandangi sekolah itu begitu lama, berharap akan menemukan jawaban dari segala pertanyaan dalam otaknya itu.
"Maaf pak, sepertinya bapak mencari sesuatu?" tanya seorang ibu-ibu.
"Ah benar bu, saya tengah mencari seseorang." jawab Radit.
"Kalau boleh saya tahu anda mencari siapa? kebetulan saya sudah berjualan disini cukup lama." kata ibu tersebut.
"Saya tengah mencari tahu tentang salah satu guru di sekolah itu, namanya Arini, apa ibu kenal?"
"Tentu saja pak, mbak Arini semua orang di dekat sini juga kenal."
"Apa ibu tahu dimana dia sekarang?"
"Tadi pagi dia datang kemari, tapi kata bu kepala Arini tadi datang untuk berhenti mengajar disini."
"Kenapa bu?" Radit terlihat terkejut mendengar itu.
"Neneknya sedang di rawat di rumah sakit, jadi dia harus menjaganya."
Radit tak bisa berkata-kata lagi, pikirannya kacau, bagaimana cara dia menemukan gadis itu, dan bagaimana jika Chika tahu Arini sudah tidak mengajar di sekolah itu lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 63 Episodes
Comments
Aiur Skies
"saya"
2023-05-21
0
Eni Rahayu
certanya bagus mampir ah...
2020-12-09
1
Siti Junaeni
terus berjuang radit temukan arini
2020-11-15
2