Sepulangnya dari kantor, Maira terus memikirkan ucapan sahabatnya. Tidak tahu kenapa, tak terpikir juga olehnya untuk mencari pembantu selama ini. Mengingat selama ini juga rumah baik-baik saja meski jarang-jarang dibersihkan. Toh mereka juga hanya tinggal berdua saja. Rasanya tidak perlu menyewa asisten rumah tangga.
Namun begitu, tanpa Maira sadari kesibukannya kini semakin bertambah. Belum lagi urusan rumah yang menjadi tanggung jawabnya. Tidak terasa waktunya semakin banyak tersita untuk pekerjaannya. Wajar jika suaminya merasa sedikit terabaikan saat ini.
Di tengah perjalanan saat ia berada di dalam taxi yang ia tumpangi, Maira terus mencari informasi tentang penyedia jasa asisten rumah tangga. Baik dari media sosial maupun dari web resmi yang ia temui di laman pencarian.
Ada beberapa nama PT yang cukup menarik perhatiannya, dan memang terlihat seperti penyedia layanan yang profesional. Maira tertarik melihatnya. Ia yakin jika mengambil dari sebuah jasa penyedia ART, pasti orangnya sudah terlatih dan profesional.
Baiklah, nanti aku ngomong dulu sama mas Agam. Mudah-mudahan dia setuju untuk menyewa pembantu, gumam Maira sesaat sebelum taxi yang ia tumpangi berhenti di depan gerbang rumahnya.
"Sudah sampai, Neng." Sopir taxi itu menoleh setelah menghentikan mobilnya dengan sempurna.
"Iya, Pak. Terimakasih, ya." Maira memberikan selembar uang pada pengemudi yang kebetulan memang sudah langganan baginya. Ya, sopir taxi ini memang selalu standby di dekat area perkantoran tempatnya bekerja.
"Sama-sama, Neng. Kalau perlu bantuan, Bapak siap membantu." Sopir yang memiliki nama pak Didin itu berbasa-basi.
Tapi tiba-tiba Maira teringat akan niatnya tentang mencari seorang asisten rumah tangga. Ia lalu menghentikan aktifitasnya yang hendak membuka pintu mobil. Terlihat berfikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk mencoba bertanya pada pengemudi taksi itu.
"Oh iya ... Maira ingat, Pak. Gini, Maira lagi berniat buat cari asisten rumah tangga. Belum pasti sih, cuma kalau Pak Didin tau tempat penyedia jasa layanan kayak gitu, tolong kabari Maira ya, Pak!" pintanya dengan tatapan yang sedikit berharap.
"Oh ... pembantu? Neng butuh berapa? Bapak punya banyak kenalan orang baik, Neng. Kebetulan juga, anak dari teman Bapak dikampung ada yang sedang nyari kerjaan. Cuma Bapak bilang, suruh sabar. Di kota besar kayak gini, susah juga nyari majikan yang baik dan nggak semena-mena sama orang kecil. Biar nggak kejadian kayak di TV-TV itu, Neng. Kasian kalau lihat ada pembantu dipukuli atau dilecehkan sama majikan." Pak Didin menjelaskan dengan sopan dan terlihat prihatin pada kalimat terakhirnya.
Sementara Maira terlihat manggut-manggut mendengarnya. Ia sedikit mempertimbangkan. Pak Didin adalah orang yang baik dan jujur, Maira pun beranggapan jika orang-orang disekitar pak Didin pasti juga demikian. Apalagi berasal dari kampung, biasanya orangnya rajin, sopan dan bisa diandalkan.
"Ya udah, gini aja deh, Pak. Maira kan belum bilang sama suami Maira tentang hal ini. Dengan kata lain, ini baru niatan Maira aja. Nanti kalau suami Maira udah setuju, Maira kabarin Pak Didin aja, gimana?" tanya Maira memberi tawaran.
"Baiklah, Neng kalau gitu. Bapak sih terserah sama Neng Maira aja. Kan Eneng yang butuh. Tapi Bapak jamin kok, Neng. Anak teman Bapak ini adalah gadis yang baik dan rajin sekali. Anaknya juga sopan, Neng. Bapak bilang gini karena Bapak udah kenal dekat dengan keluarganya, sama anaknya juga." Pak Didin mengangguk menyetujui tawaran dari penumpangnya sekaligus memberi sedikit penjelasan untuk meyakinkannya.
Maira terlihat tersenyum dan merasa yakin.
"Ya sudah, Pak. Terimakasih banyak, ya. Semoga aja mas Agam setuju, dan ini bisa jadi jalan rezeki buat anak temennya Pak Didin." Maira mengulas senyumnya sebelum akhirnya turun dari mobil taxi yang mengantarnya itu.
"Sama-sama, Neng. Oh ya kembaliannya belum diambil, ini!" seru Pak Didin seraya menunjukkan uang kembalian yang belum sempat diambil oleh penumpangnya yang sudah terlihat mulai menjauh dan membuka gerbang rumahnya.
Sementara orang yang dimaksud kini sedang menoleh dan tersenyum. "Ambil aja, Pak! Buat tambah-tambah."
Pak Didin pun mengangguk sopan dan menangkupkan kedua tangannya sebagai tanda terimakasih sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya untuk menjemput penumpang selanjutnya.
Maira pun kemudian masuk ke dalam rumahnya. Ia membersihkan dirinya dikamar mandi, lalu turun dan memeriksa isi kulkas.
Ia berniat membuat sesuatu untuk menyambut suaminya pulang dari kantor malam ini. Jarang-jarang ia bisa pulang lebih awal seperti ini, jadi ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.
Ya ampun, kenapa nggak ada apa-apa sih? Apa aku seburuk ini jadi seorang istri, sampai isi kulkas habis aja aku nggak ingat. Menepuk keningnya.
Maira menutup pintu kulkas dan menengok jam dinding yang tergantung di dapur.
Masih jam segini, mas Agam pulangnya juga masih lama. Apa aku pergi ke supermarket aja, ya? gumamnya.
Ia lalu naik ke atas dan mengambil ponsel serta dompetnya. Dengan segera ia menekan nomor tukang ojek yang biasa mangkal di depan komplek perumahannya.
Sembari menunggu ojek itu datang menjemput, Maira bergegas mencuci beras dan memasukkannya ke dalam magic com.
Pulang dari kantor nanti suaminya pasti lapar, jadi ia memutuskan untuk masak makanan berat untuk makan malam hari ini.
Tak berselang lama ada panggilan masuk di ponselnya, yang ternyata adalah tukang ojek yang ia pesan tadi.
Maira tak menjawabnya tapi langsung bergegas keluar rumah. Rumah yang tidak terlalu besar ini tidak memerlukan waktu yang lama bagi penghuninya untuk keluar dari dalamnya.
"Ke supermarket, ya Bang!" perintahnya setelah memakai helm dan naik ke atas motor tukang ojek itu.
Tidak perlu berbasa-basi, tukang ojek itu langsung meluncur menuju tempat yang dimaksud. Tempat yang sebenarnya tidak begitu jauh dari komplek perumahan Maira.
Hanya butuh waktu kurang dari sepuluh menit untuk sampai disana.
"Tunggu ya, Bang!" pinta Maira setelah sampai. Ia bergegas melepas helm dan segera masuk ke dalam supermarket. Memilih beberapa sayuran dan mengambil beberapa daging dan ayam yang sudah dikemas. Ia juga membeli beberapa bumbu yang diperlukan. Termasuk bumbu instan juga. Ya, ia memang bisa masak tapi juga bukanlah orang yang pandai betul berkutat di dapur, jadi bumbu instan pasti akan sangat membantu dan memudahkannya.
Setelah membayar di kasir, Maira pun keluar dengan menenteng dua kantong plastik belanjaan. Ia tersenyum dan masih bersemangat untuk segera pulang dan mengeksekusi belanjaan yang baru saja ia beli. Melupakan rasa lelahnya setelah bekerja demi suami tercintanya.
Sepanjang perjalanan pulang, ia tak hentinya mengulas senyumnya. Membayangkan menyiapkan makan malam yang bisa dibilang spesial karena ia jarang sekali bisa menyiapkannya. Senyumnya semakin mengembang tatkala bayangan suaminya yang tersenyum tengah melintas jelas dimatanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
kinanti
mantan pembokat mampir nih thor
2021-10-02
0
mommynya_bill
huft..knpa diulang😐
2021-09-03
0
Nonik Susilawati
Hati" klu m mencari pembantu u Rt jnganfan yg madih muda nt kamy kena batunya ... xari yg usia tenfah tua yg sydah biasa jadu PRT
2021-08-01
3