"Pagi, Mas!" sapa Maira yang saat itu baru saja sampai di meja makan.
Ia meletakkan tasnya dan menghambur memeluk lelaki yang sangat ia cintai dan hormati itu.
Ya, dialah Agam Hermawan, suami yang sangat ia kagumi karena wibawanya serta kecerdasannya.
"Pagi, Sayang!" balas Agam setelah menyambut pelukan hangat istrinya.
Ia menghirup aroma yang baru saja menyeruak dari tubuh istrinya yang sudah siap dengan pakaian kerjanya.
"Kenapa?" Alis Maira berkerut melihat ekspresi suaminya yang baru saja membuka matanya setelah menikmati aroma istrinya. Lelaki itu tampak tersenyum-senyum sendiri.
"Jika sekertaris bos secantik dan sewangi ini setiap hari, aku jadi khawatir kalau bos dikantormu akan jatuh hati padamu."
Agam meraih pinggang istrinya yang masih berdiri dihadapannya dan menariknya hingga istrinya terduduk di pangkuannya.
Terkadang ia begitu khawatir akan hal ini. Ya, Maira sangat cantik dimatanya. Jika mengingat wanita ini adalah idola di sekolah dan di kampus, kadang Agam merasakan kekhawatiran tersendiri di dalam hatinya.
Terlebih lagi sekarang istrinya adalah seorang sekertaris dari sebuah perusahaan dimana bosnya adalah pria yang terhitung masih sangat muda disana.
"Kamu bicara apa sih, Mas? Aku selama ini kerja secara profesional. Lagipula aku sudah punya suami, aku tahu batasan-batasan, Mas. Dan aku juga tidak berada di ruangan pak Hardi sepanjang hari. Aku punya ruangan sendiri, dan aku juga punya asisten di sana yang selalu bersamaku. Jadi aku terhitung cukup jarang juga berinteraksi hanya berdua dengan pak Hardi. Jika hanya urusan kecil, aku selalu mengandalkan asistenku. Saat menghadiri meeting atau hal lainnya, asistenku juga selalu ku ikut sertakan."
Maira mengerucutkan bibirnya. Hampir setiap pagi saat akan berangkat ke kantor, ia selalu dicemburui dan dikhawatirkan berlebihan oleh suaminya.
Ya, jujur saja ia senang awalnya. Karena ia melihat banyak cinta dari kekhawatiran suaminya. Tapi semakin kesini ia cukup lelah juga jika harus menjelaskan hal yang sama setiap harinya.
"Muah ...."
Satu kecupan pagi mendarat dengan singkat di bibir Maira yang masih mancung kedepan. Agam lalu membenamkan wajahnya di perpotongan leher istrinya dan memeluknya dengan erat.
"Maafkan aku. Aku hanya takut kehilangan mu, Sayang. Kau tahu dari dulu aku selalu takut akan hal itu. Sainganku terlalu banyak, kau sangat cantik dan berharga. Pintar dan juga memiliki sikap yang tegas, namun tidak mengurangi kelembutan mu sebagai wanita. Kau sangat istimewa di mataku, sejak dulu sampai hari ini."
Puas mengutarakan isi hatinya, lelaki itupun meleraikan pelukannya.
Agam menatap mata Maira dengan penuh arti. Selama ini, meski Maira tidak pernah macam-macam namun ketakutan itu selalu datang menghantuinya setiap waktu. Entah kenapa, ia sangat menggilai sosok istrinya itu.
"Harus berapa kali lagi, Maira jelaskan? Mas tahu betul, aku orang yang seperti apa, bukan?"
Maira menghela nafas panjang dan bangkit dari pangkuan suaminya. Ia lalu menarik kursi dan mendaratkan tubuhnya disana. Memulai aktifitas paginya dengan menyiapkan sarapan praktis dan sederhana.
Maira meraih kotak tempat dimana ia biasa menyimpan roti, mengambilnya selembar lalu mengoleskannya dengan selai nanas kesukaan suaminya kemudian mengambil selembar lagi dan menyatukannya dengan yang tadi. Ia lalu meletakkannya diatas piring suaminya.
Masih sibuk dengan aktifitasnya, Maira mengambil lagi selembar roti dan ia olesi dengan selai yang sama. Namun baru saja ia mengoleskan sepucuk selai diatas roti itu, suaminya memegang tangannya guna menghentikan aktifitas istrinya.
"Ada apa, Mas?" tanya Maira seraya mengerutkan dahinya karena heran.
"Cukup, Sayang! Aku makan satu tangkup ini saja."
"Kenapa? Mas, sakit?" Tangan Maira meletakkan roti yang tadi dipegangnya dan langsung menempelkan punggung tangannya pada dahi suaminya. Biasanya Agam akan minta dua bahkan kadang tiga tangkup roti isi selai, tapi kali ini pria itu bahkan tiba-tiba terlihat kurang bersemangat.
"Tidak panas," ujar Maira dengan ekspresi bingungnya.
"Siapa yang bilang sakit? Aku hanya sedang tidak berselera makan, Sayang."
"Ada apa sih, Mas? Tidak biasanya, Mas Agam seperti ini?"
Mendengar kecemasan istrinya, Agam pun menghela nafasnya lalu mulai menatap serius pada istrinya. Ia menggenggam tangan lembut dan lentik milik Maira.
"Sayang, apa tidak sebaiknya kau berhenti bekerja saja?" tanya Agam yang terdengar serius.
"Kenapa, Mas?" tanya Maira tidak mengerti.
"Bukankah saat ini kita sudah cukup mapan, Sayang? Apakah tidak sebaiknya kau fokus dirumah saja?"
Untuk sesaat Maira terdiam dan menunduk. Ia sadar, selama dua tahun ini ia tidak menjalankan perannya dengan baik sebagai seorang istri. Ia masih sibuk bekerja bahkan kadang hingga larut malam. Tapi semua ini kan juga untuk kebaikan mereka.
Sejak awal berkomitmen mereka berdua sudah sepakat akan membangun ekonomi keluarga kecil mereka baru fokus untuk program hamil dan lain-lain. Termasuk fokus pada semua urusan di dalam rumah.
"Mas ... aku pun juga berpikir demikian. Tapi kan, Mas tau sendiri tanggungan kita masih cukup banyak juga. Jika aku berhenti sekarang, maka bukan tidak mungkin tabungan kita juga akan terus berkurang bahkan mungkin akan habis. Rumah kita belum lunas, orang tua kita juga masih mengandalkan kita."
"Maafkan aku, Maira. Seharusnya akulah yang bertanggung jawab untuk semua ini."
Agam segera memeluk istrinya. Ia merasa sangat bersalah sekali karena telah mengatakan hal ini.
Tapi bukan tanpa alasan ia mengatakannya. Terkadang ia ingin sekali melihat istrinya memasak di dapur dan merasakan masakannya. Ia ingin sekali merasakan sarapan yang dimasak langsung oleh istrinya. Entah bagaimana rasanya mencium aroma wangi masakan saat matanya masih enggan terbuka di pagi hari.
Bagaimana rasanya saat ia pulang malam dan istrinya sudah menyiapkan makan malam di meja makan dengan penuh cinta. Menyiapkan air mandi dan mengobrol tentang hal romantis atau hal lain selain pekerjaan mereka.
Tapi Agam cukup tau diri, ia bukanlah orang kaya yang bisa memberikan fasilitas rumah dan lainnya pada istrinya.
Bahkan Maira lah yang berperan banyak dalam mewujudkan rumah impian mereka, karena di awal pernikahan justru wanita itulah yang lebih mapan dan lebih bagus karirnya dibandingkan dirinya.
"Kita hanya perlu bersabar sebentar lagi, Mas." Maira melepaskan pelukan suaminya.
Ia pun juga ingin sekali mengambil perannya sebagai istri yang baik, yang selalu ada dirumah dan selalu bisa menyambut suaminya saat pulang dari kantor. Ia ingin sekali bisa memanjakan suaminya dengan hidangan yang bisa ia buat setiap hari.
Tapi lagi-lagi ia harus bersabar, ia ingin masa depannya bersama anak-anaknya terjamin. Ia tidak ingin anak-anaknya akan mengalami hal yang pernah ia dan suaminya rasakan sejak dulu. Hidup dalam keterbatasan dan serba kesusahan. Bahkan untuk urusan pendidikan sekalipun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 69 Episodes
Comments
Melianvi
lanjut thor, lagi nyimak
2022-06-14
0
dibalik senja
masih nyimak
2021-12-09
0
Bunda Ayu
pasti agam nanti cari pelampiasan 😢😢😢
2021-08-25
0