Ombak tampak berayun mengikis pasir putih pantai tempatku duduk menikmati keindahan mentari pagi yang muncul di ufuk timur lautan. Aku termangu memandangi sinar matahari yang tampak masih malu-malu menyoroti wajahku. Dan tiba-tiba saja terdengar suara teriakan dari sahabatku yang membuat aku terpaksa mengalihkan pandanganku dari indahnya sunrise.
"AISYAH!"
"Ada apa Vi?" tanyaku sambil menatap Avila yang tersenyum, memamerkan gigi kelincinya kepadaku.
"Kamu ngapain sendirian di sini?" cecarnya sembari duduk di sebelahku.
"Emang kenapa kalo aku sendirian disini?" tanyaku balik.
"Ya gak kenapa-napa sih, aku cuma khawatir kamu tersesat aja," jawab Avila yang membuatku menggelengkan kepala.
"Aku ini udah dewasa, Avi. Jadi jangan khawatirkan aku seperti anak kecil begitu dong," peringatku.
"Iya iya, maaf deh Syah," ucap Avila.
"Heum," gumamku menanggapi.
"Eh Syah, semuanya pada nungguin kamu tuh, balik ke Villa yuk?" ajaknya lalu menarik tanganku untuk berdiri dan ikut dengannya.
"Nungguin aku? Memangnya ada apa?" tanyaku penasaran.
"Biasa, ada mayoran keberhasilan tim, dan pokoknya kali ini, kamu wajib ikut," ungkap Avi yang menjawab rasa penasaranku.
"Ooh, pedahal aku masih mau di pantai,"
gumamku lesu dan pelan tapi masih bisa di dengar oleh Avila.
"Syah, jangan nutup diri lagi, oke? Gak baik loh kamu nolak terus tiap tim kita ada acara," nasehat Avi sambil menatapku dan tak lupa menyunggingkan senyuman manisnya.
Aku balas tersenyum kaku dan mengangguk pertanda aku mendengarkan nasehatnya.
"Nah gitu, dong! baru ini sahabatku yang pemberani," kata Avi senang.
Aku menoleh, tersenyum kepadanya seraya menggenggam erat tangan kanannya dengan tangan kiri ku.
"Makasih ya, Avi," lirihku yang di balas senyuman tulus dari Avila.
Beruntungnya aku memiliki sahabat seprofesi denganku seperti Avila yang dapat memahami keadaanku dengan baik. Avila selalu menjadi tameng ku dimana pun aku menginjakkan kaki, dia sudah seperti ibu kedua bagiku yang selalu merepotkan nya karena mentalku yang lemah ini.
°°°°°
Sesampainya di Villa tempat aku, Avila dan semua anggota tim fotografer lainnya menginap, aku disambut ramah oleh semua orang yang sedang berbeque-an dihalaman belakang Villa. Mereka banyak yang menatapku dengan senyuman hangat, sebab baru pertama kali aku mau ikut dalam perayaan berbeque seperti ini.
"Aisyah! Sini! Dagingnya udah mateng nih, enak lho," teriak Robbie memanggilku seraya menunjukkan daging hasil panggangan nya.
"Ayok ke tempat Robbie, kita serbu daging panggangan nya sampe dia sendiri gak kebagian!" seru Avila, membuat Robbie melotot tak terima.
"Eh, cewek rakus tapi kurus, gua itu nawarin Aisyah ya, bukan nawarin lo!" protes Robbie seraya menatap Avila dengan kesal, tapi entah kenapa menurutku itu lucu.
"Eh, pelit amat lo asem jawa! Aisyah juga gak bakal mau makan daging panggangan lo itu kalo gak sama gue, iyakan Syah?"
Aku hanya mengangguk dan lantas tersenyum geli saat melihat Robbie dan Avila saling menatap sengit satu sama lain. Mereka memang begitu, setiap kali bertemu pasti sudah seperti Tom and Jerry yang tak pernah mau akur.
"Ah, bodoh amatlah sama lo, mau ikut makan atau gak, terserah! yang penting mah Aisyah harus makan daging panggangan gue ini," pungkas Robbie yang sepertinya lelah berdebat dengan Avila.
Cowok berkulit sawo matang itu memilih menyiapkan dua piring berisi ayam dan daging sapi panggang untuk aku dan Avila nikmati.
"Nah gitu dong, bersikaplah adil, kalo begini kan gue juga ikut enak."
"Ya udah yok Syah, kita santap hasil panggangannya asem jawa ini," ajak Avila sambil mengatai Robbie dan membawaku duduk disampingnya untuk menyantap daging panggang yang terlihat sangat lezat itu.
"Gimana Syah? rasanya enak apa enggak?" tanya Robbie yang memilih duduk di hadapanku.
"Masya Allah, enak banget, Rob. Makasih ya," jawabku seraya tersenyum simpul.
"Syukurlah, iya sama sama, Syah," ucap Robbie seraya tersenyum lebar,
lalu melanjutkan sesi makannya.
"Kamu gak mau bilang makasih ke Robbie, Vi?" pancingku sambil menatap Avila.
Dan ternyata Avila menoleh balik kepadaku seraya mengangkat sebelah alisnya.
"Emang perlu banget ya, Syah? Dosa kalo misalnya aku gak bilang makasih ke dia?" Avila malah balik menanyaiku.
Aku lihat Robbie menatap bengis ke arah Avila yang memasang wajah tanpa dosa dihadapannya. Aku spontan meringis, menyesali pertanyaanku kepada Avila soal 'bilang makasih' tadi. Aku kira Avila dan Robbie bisa akur dalam waktu sebentar saja, rupanya mereka benar-benar tidak bisa seperti itu.
"Gak dosa sih, Vi. Tapi kan sebagai rasa terimakasih, kita harus bilang makasih ke Robbie," jawabku seraya mengambil tissue untuk mengelap bibirku yang terkena saus.
"Udahlah Syah, jangan paksa si kurker alias si kurus kering itu bilang makasih ke gue, dia mah dari dulu emang gak punya akhlak." cetus Robbie yang sedikit menyinggung perasaanku sebagai sahabatnya Avila.
"Makasih atas pujiannya ya, asem jawa gak laku, eugrh," ucap Avila seraya bersendawa tanpa malu.
Lalu ia bangkit dari duduknya dan menarik ku ikut bersamanya, meninggalkan Robbie yang tengah menatapnya dengan geram.
Aku hanya bisa meringis dan menatap Robbie dengan tak enak hati.
°°°°
"Gedeg banget aku tuh sama si asem jawa! Dia itu selalu menatap aku seolah aku tuh kecoa yang wajib dia racunin. Liat aja tadi, dia baik banget sama kamu, tapi dengan seenak jidatnya dia ngatain aku. Gak habis pikir deh aku sama dia, ternyata ada ya Mak lambe versi cowok!" gerutu Avila mengungkapkan kekesalannya terhadap Robbie kepadaku.
Aku mengusap lengannya dan tersenyum lembut. "Mungkin dia seperti itu karena mau cari perhatian sama kamu, dia mungkin suka sama kamu," tutur ku yang langsung mendapat rollingan matanya.
"It's impossible, Syah," ucapnya tak setuju denganku.
"Oke, oke, ya udah sekarang jangan terlalu dipikirin, ntar malah kamu loh yang jatuh cinta sama dia," godaku mencandainya.
"Ishh, amit-amit deh. Kalo sampe aku jatuh cinta sama dia? aku pasti udah gila," elak Avila yang membuat aku tertawa.
"Jangan terlalu benci, Vi. Nanti kamu bisa jatuh cinta sebucin-bucin nya, lho," peringatku yang dibalas pelototon Avila.
"Jangan nakutin aku, Syah! Aku gak mau bucin sama orang yang menyebalkan kaya si asem jawa itu!" jerit Avila prustasi. Kemudian dia melangkah pergi meninggalkan aku sendirian di Balkon Villa.
Jangan dulu salah paham, Avila tidak marah kepadaku, kok. Dari dulu dia memang lebih memilih pergi dari hadapanku ketika dia mulai merasa kesal dengan candaan ku seperti sekarang ini.
Avila memang tidak pernah marah kepadaku, itu karena dia benar benar menyayangiku seperti saudarinya sendiri. Dia pernah bilang kalau dia akan marah kepadaku jika aku kembali menangisi sosok yang sampai kini selalu aku bawa di dalam do'a ku, yakni Devano Altair.
To be continued ❤️
Jangan lupa untuk :
-LIKE 👍
-KOMEN 📝
-TEKAN BINTANG LIMA ⭐⭐⭐⭐⭐
-VOTE CERITA INI ❤️
-DAN FOLLOW PROFILKU 🙏😊👍
Bye bye bye...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 82 Episodes
Comments
amalia gati subagio
syah petualang cupu???
2022-09-23
0
manda_
bagus
2022-09-22
1
FUZEIN
Okay.....novel indonesia memang buat saya ketagih nak baca.....kerana selalu baca...faham banyak dah ni bahasanya❤️
2022-09-22
1