atu-satunya orang yang bernama Wahid di desa ini hanyalah aku. Orang-orang mengenalku sebagai tukang kayu. Kadangkala aku diundang untuk mengisi kultum, ceramah, atau membaca Alquran.
Di masjid. Pukul 15.36 WIB.
Aku meramaikan masjid dengan mendatangkan tawa anak-anak mengaji atau sekadar bersenda gurau. Tidak masalah. Yang penting masjid tidak terlihat lebih suram daripada hutan di selatan desa ini.
“Baris yang rapi. Ngaji satu-satu.”
Anak-anak yang belum mendapatkan giliran saling berdesak-desakan, mencandai satu sama lain. Setiap sore aku momong anak-anak tersebut demi melancarkan bacaan Alquran mereka. Mumpung masih anak-anak. Atiku welas, merasa trenyuh melihat mereka banyak yang belum mengenal huruf hijaiyah. Kebiasaan anak sekarang jika sudah beranjak usia remaja, kemauannya belajar Alquran malah semakin terkikis. Bukan semakin memahami pentingnya itu.
Gundul memegang empat anak dan Purnomo enam anak yang dua sisanya lari-lari mengelilingi beranda masjid. Sedangkan, aku masih fokus membantu bocah cilik bernama Bunga mengeja huruf-huruf bersambung.
“Yang panjang ada berapa huruf, Dek Bunga?”
Bunga fokus memperhatikan lamat-lamat lafaz ḍaraba. Huruf ḍad mad ṭabi’i yang dibaca dua harakat. Panjang sekadarnya tanpa disertai dengung. Artinya tidak boleh terlalu panjang hingga menyamai bacaan gunnah, iqlab, idgam bigunnah, ikhfa’ haqiqi, dan ikhfa’ syafawi. Tahsin pada bagian ini masih membuatnya bingung. Sebetulnya maklum. Bunga masih berumur empat tahun.
“Ra panjang apa pendek?”
“Ada garis tegaknya apa ndak?”
Dia menggeleng.
“Berarti panjang atau pendek?”
“Pendek.”
“Bener. Kalau pendek suaranya tidak boleh diseret. Tegas. Diingat itu!”
Bunga mengejanya sekali lagi dengan nada yang patah-patah. Setelah dia mengucapkan dengan benar, aku menyuruhnya mengucapkan dengan nada bersambung supaya tidak biasa memotong napas sembarangan.
Mengaji sore bubar setengah lima.
“Kau tak pulang, Hid?” Gundul membenahi pecinya.
“Kau duluan saja.”
Gundul dan Purnomo meninggalkan.
“Ah.”
Aku merebahkan diri di beranda yang sudah sepi. Hanya aku sendirian. Tempat tinggalku selain di rumah ialah di masjid. Beberapa tahun terakhir desa ini mengalami kemajuan setelah masjid menjadi lebih ramai. Ada aku, Gundul, Hafiz, dan Purnomo, serta perempuan di antara kami yaitu Rumi. Kami memiliki satu niat yang sama yang kemudian terbentuklah agenda kami untuk ikut memajukan desa ini.
Sayangnya kontribusi itu sudah tidak sebesar dulu. Rumi sudah dimantu oleh putra kyai yang kemudian harus mengalah ikut suami di pesantren sekarang dia berada. Hafiz pun ditarik oleh keluarga istrinya sebab istri merupakan putri tunggal. Tinggal aku, Gundul, dan Purnomo yang masih hidup di usia matang, tapi masih lajang.
Lantas aku beringsut pergi. Sebaiknya aku menemui Gundul dan Purnomo.
Menyeduh kopi hitam di sore hari memang ritual paling nikmat. Ya sembari meramu masa depan. Siapa di antara kami yang kelak berhasil mendapatkan hati Nona Sekar. Namun, faktanya Gundul dan Purnomo adalah dua orang yang menyerah lebih dulu sebelum genderang perang dibunyikan. Lihat saja dua orang itu sedang bersusah hati sambil menyeduh kopi hitam.
"Aku heran. Kenapa gadis bernama Sekar itu susah didapat? Terbuat dari apa dia?" Puntung rokoknya akhirnya menyala kembali.
Gergaji yang kupakai memotong kayu jati ini terlalu keras membuat bising, sehingga membuat Purnomo membalas kata dengan suara lebih nyaring.
"Nasib kita sama. Kita terlalu pengecut. Berhenti saat kapal masih mulai berlayar." Sesruput kopi mengalir hangat di tenggorokan.
"Halah. Itu, kan, kau. Aku sebenarnya tidak begitu."
"Kau pintar berdalih, Ndul." Aku menyambung.
Aku lelah. Aku bergabung bersama mereka. Kopiku sudah dingin. Hanya kopi tanpa rokok. Kuteguk sampai habis. Tinggal bersisa ampasnya saja. Thing, suara gelas menyenggol lepek. Aku siap mengobrol dengan mereka sampai sore untuk membahas bagaimana caraku untuk membuat hati Nona Sekar tertambat padaku dan soal KKN yang akan masuk di desa ini pada bulan Agustus mendatang. Kemarin lusa Pak Rete berbincang denganku agar aku turut mengusulkan sesuatu untuknya. Barangkali memang aku, Gundul, dan Purnomo sudah mendapatkan kepercayaan.
"Menurut pengakuan orang-orang yang sudah gagal melamar, mereka beralasan tidak berani menemui Juragan. Waktu aku mendekati Neng Sekar, dia bilang Ayahnya yang akan memutuskan soal diterimanya atau tidak."
Purnomo menyahut, "Nah, betul katamu. Aku juga begitu. Hid, kamu harus mencoba. Bersiap-siaplah gagal seperti aku." Tawanya meledak.
Aku membatin saja, "Mereka tidak tahu rupanya." Sedikit tersenyum.
"Heh, kenapa kau tersenyum sendiri, Hid?" Gundul yang bertanya.
Purnomo menatap Gundul. "Dia itu pasti sudah melambung tinggi bisa memperistri Sekar." Lagi-lagi dia menertawakan aku dibalik ketidaktahuannya.
"Aku sudah pernah angkat bicara langsung pada Juragan walaupun sudah lama sekali," batinku.
Sore-sore itu aku menolong juragan yang kehujanan. Tidak bisa pulang karena Nona Sekar tidak kunjung membawakan payung. Aku mengantarkan juragan sampai ke rumah dengan satu payung agar nanti langsung bisa kubawa pulang. Jadi, tidak merepotkan orang untuk mengembalikannya.
Entah sedang tersambar petir atau bagaimana. Aku nekad berkata pada juragan kalau aku menyukai putrinya. Bahkan, sebelum Nona Sekar mengetahui perasaanku. Jika aku bercerita pada mereka, mereka pasti akan mengira aku sedang bercanda. Lebih-lebih adu mulut pagi itu, yang masih membuatku tidak tenang hingga sekarang. Ah, biarkan saja mereka beranggapan aku belum berusaha apa-apa.
"Apa menurut kalian anak Juragan itu bukan perempuan baik-baik?"
"Dia wanita suci. Sekalipun aku belum pernah melihat dia pergi bersama seorang lelaki. Dia menjaga diri dari maksiat. Hanya saja... Kalian tahu pasti apa lanjutannya."
Purnomo melanjutkan, "Sikapnya dengan orang lain. Dia belum berubah. Dia tidak peduli dengan laki-laki manapun."
Ibarat bunga, Nona Sekar dinanti-nanti kapan mekarnya. Keindahannya akan memancar ke semua sisi.
"Heh, heh, itu!" Purnomo menepuk paha Gundul agar menoleh ke arah dagunya menunjuk.
"Putra Juragan yang kedua?" tanyaku.
"Iya," jawab Purnomo tanpa menoleh.
"Beda dengan dulu. Sekarang makin cantik," celoteh Si Pur.
"Matamu itu." Gundul ganti memukul lebih keras.
"Dia tidak pulang setelah tiga tahun apa berapa?"
"Lima tahun."
"Ngawur. Empat tahun, Ndul. Lawong dulu dia berangkat sekolah ke kota ketika Mamak meninggal. Mamak sudah mendaki empat."
"Iya bener kata Purnomo. Dia katanya juga sekolah intensif." Aku juga ingat itu.
"Opo kui, Hid?" tanya Purnomo polos.
"Tanya sama orangnya kalau lewat lagi, ya!" Aku balik menertawakannya.
Sepuluh menit setelah itu, Nona Zura, kalau tidak salah namanya itu, lewat lagi membawa kantong kresek. Purnomo bergegas membututi. Dia tidak sadar kalau yang dilakukannya itu membuatku tertawa. Dia tidak mencandai kata-kataku rupanya.
"Assalamu'alaikum, Zura?"
Nona Zura langsung menoleh menyertakan jawaban salam.
"Ada apa, ya?"
"Sudah rampung sekolahnya?"
"Iya tinggal wisuda."
Dia tampak buru-buru.
"Sekolah intensif itu apa?"
"Oh. Seperti sekolah bahasa yang aku harus lakukan sebelum masuk SMA. Sekolah itu khusus mendalami bahasa agar aku lebih mudah berinteraksi dalam pembelajaran sekolah yang semuanya menggunakan bahasa inggris."
"Terima kasih."
"Iya sama-sama." Nona Zura menepiskan senyum.
Sungguh besar perbedaan sikap dan watak Nona Sekar dan Nona Zura, meski keduanya sama-sama putra kandung juragan. Bisa dikatakan dia lebih mewarisi watak dari ibunya.
"Aku sudah tahu jawabannya, Hid."
"Edan kau."
Aku dan Gundul saling menatap sambil tertawa.
"Oh, iya, kapan kamu akan menyelesaikan pintu itu?"
"Kira-kira dua hari lagi, Ndul."
Gundul memesan pintu kayu jati untuk mengganti pintu samping rumahnya.
"Sepertinya aku akan merantau," kataku kemudian.
"Ngomong opo? Jangan." Gundul menunjukkan ekspresi ketidaksukannya.
"Lah?"
"Taklukkan dulu Neng Sekar, Hid."
Purnomo berdecak, "Bukan cuma soal itu. Kau itu pemuda yang dibutuhkan di sini. Kenapa kau malah punya niatan pergi?"
"Aku butuh dana banyak untuk mempersunting putri Juragan itu. Barangkali diterima." Aku terkekeh dengan sedikit menggeliat. Bunyi krek. Tulang-tulang ini sudah lama tidak tersentuh dukun.
"Sebaik-baik perempuan adalah yang sedikit maharnya. Lagipula desa kita ini tidak punya adat mematok mahar per sekian. Aku ndak setuju kamu berangkat. Titik."
Sambil menggerakkan kepala ke kanan kiri, aku merespons, "Nanti aku pikirkan lagi lah." Purnomo kembali berdecak, sedangkan Gundul mendesis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
🌻Ruby Kejora
sampai sini dulu ya thor.
like blk novel q
cinta rasa civid-19
the thunder's love
2021-02-03
2