Ayahanda menyuruh agar diperhatikan bila dia sedang berbicara. Sebab, Nona Sekar tengah melamun seorang diri di tangkai pohon akasia roboh.
"Apa yang kamu lamunkan, Sekar? Ayah bicara."
"Tidak ada. Ulangi lagi, maka akan aku dengarkan, Yah."
"Kuliahlah agar kamu tidak lagi merenungkan lamaran-lamaran tidak bermutu itu. Atau, ke luar kota untuk belajar berbisnis?"
"Zura kapan pulang?"
"Mungkin setelah selesai wisuda. Ayah belum bertanya lagi."
"Oh." Cukup mengangguk sekali.
"Yah?"
"Kenapa?"
"Bagaimana kalau Zura pulang membawa calon menantu untuk Ayah dan Ibu?"
Ayah terbahak lantang. "Tidak mungkin Zura pacaran. Adikmu itu masih baru lulus SMA."
"Sekolah Zura di sekolah itu terkenal bergengsi. Ayah seperti tidak mengenal bagaimana lingkungan kota bisa membawa dampak untuk anak-anak sepolos apapun."
Ekspresi ayahanda berubah. Mencoba merekam ulang ucapanku baru saja.
"Iya, kan, Yah?" Aku meminta jawaban.
Ayahanda malah berlalu tanpa ekspresi.
"Permisi, Nona?"
Aku berbalik arah. Mengerutkan dahi. Lalu, menarik selendang motif etnik sampai ke garis poni.
"Siapa?"
Perempuan di depanku masih berdiri senyum-senyum. Dia memakai celana jeans hingga separuh betis. Atasannya menjuntai hampir sepanjang itu. Memakai sepatu boots berwarna navy. Selaras dengan warna biru muda garis-garis pada pakaiannya. Rambutnya pendek sebahu dengan sedikit lengkungan, tapi terpangkas rapi dan rata. Juga sedikit berwarna merah di ujung-ujungnya. Jepit berwarna gold menghias di pelipis sebelah kiri. Ada benda etnik yang mengalung cantik di leher ngolan-olannya.
Ketika aku berhenti menatap sampai di wajah perempuan itu, dia buru-buru memeluk.
"Apa kabar?"
"Aku baik. Seperti inilah adanya. Seperti yang kamu lihat saat ini, Teh."
Aku sekali lagi memperhatikan wajah Zura. Ada goresan make-up di sana. Rona merah pipi dengan blush on dan contour efek tirus di pipi. Lipstik finishing glossy. Dan, lengkungan buku mata yang lebih menawan.
"Panggil kak seperti biasanya." Aku menarik tangannya agar duduk di sebelahku.
Kusentuh pipinya. "Kamu hitam, ya, sekarang?" Aku menggerakkannya ke kanan kiri.
"Aku rutin ikut olahraga dengan komunitas pecinta alam yang aku ikuti di sana." Dia mengangkat bahu dan tangannya. "Ya wajarlah kalau aku hitam," lanjutnya.
"Baru saja Kak Sekar berbincang dengan Ayah menanyakan kapan kamu pulang. Secepat ini?"
"Wisudaku diundur, sedangkan aku sudah rindu rumah. Ngapain di sana lama-lama. Beberapa barangku ada yang sudah kucicil tak bawa pulang."
"Mana? Cuma itu?" Aku menengok koper di sampingnya.
"Ada di mobil." Dia menunjuk arah selatan tempat parkir mobil grand avanza yang disebut.
"Kamu dengan?" Sembari aku mengulang perkataanku pada ayahanda tadi.
"Ehmm, dengan teman dari kota."
"Pacar?"
Dia berbisik, "Calon suami, Kak."
Aku memang tidak terlalu kaget mendengarnya, karena aku sudah was-was sebelumnya. Tapi, bagaimana dengan ayahanda?
"Ayah sudah tahu?"
"Belum. Nanti biar Mas Nanda yang bilang. Minimal kenalan dengan Ayah dan Ibu dulu."
"Ya sudah ajak dia ke sini! Kita ke dalam menemui Ayah dan Ibu."
Zura menarik ponselnya dari saku tas selempang kecil.
"Mas, ke sini. Mobil biar parkir di situ enggak apa-apa."
Sepertinya langsung diiyakan. Zura langsung menutup, mengembalikan ke dalam saku.
"Kalau aku nikah kamu harus nikah juga, Kak," ujarnya sambil berusaha menyeret koper.
"Tadi Ayahanda bicara sama Kakak. Menyuruh Kak Sekar kuliah."
"Kamu terima?"
"Ii..hh." Roda kopernya nyangkut di rerumputan yang hidup liar di halaman rumah.
Zura kembali menatapku.
"Tidak, Zu."
"Bener. Di rumah saja, Kak."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Mulyati Mulyati
Bayanganku sekar itu tunggi dan cantik...
2021-03-13
2