"Hushh. Bicara yang elok-elok. Itu sama saja dengan nyumpahi," kata bapak membela.
"Pak, Mak, Wahid tidak memaksa. Apalagi berharap lebih.lebih. Wahid mau meneruskan kerjaan." Aku pun bangkit.
Pikirku menyertai langkah, "Apakah nanti aku akan sakit hati kalau dia menolak pinanganku?" batinku menyudahi. Tidak ada buah dari hanya menyandang angan.
"Lihat anakmu, Mak!" Bapak menunjuk dengan dagunya sesudah menyeruput.
"Anakmu itu gagah. Persis seperti waktu bapak muda dulu. Iya to? Bukan urusan tampan tidak tampan yang nanti bisa menaklukkan cintanya."
"Heleh Bapak ini ngelantur. Disiki kersone Pengeran." Emak mencebik, memperlihatkan gaya yang khas ketika mengejek kesahajaan bapak.
Bapak terbahak.
Keesokan harinya.
Buruh pemetik kopi sudah bergumul sejak fajar bercahaya di ufuk Timur. Nona membaur di antara mereka. Dia tidak segan ikut membantu para pekerja ayahnya. Dari gerak gerik tangannya saja sudah kelihatan lihai. Kulihat dia malah mengajari seseorang di sampingnya cara memetik buah kopi yang benar.
Angin pun mengayun kan ujung rambut bergelombangnya. Selendangnya hampir berkibar melucuti rambutnya yang hitam legam dan berkilau apabila tersentuh cahaya. Dua pun segera menarik, mengembalikan selendang ke bentuk semula.
"Aku memang belum melihatnya bertudung. Tapi, begitu saja dia sudah anggun. Jika diizinkan, aku ingin membawamu mengenal agama lebih jauh lagi." Orang disampingku menatap heran.
"Ndomblong nyawang anaknya juragan kopi pasti."
Tangan ini spontan memukul. Yang kupukul mengaduh.
"Dia itu gadis yang tidak pernah bisa bersikap manis dengan laki-laki."
"Siapa bilang, Ndul?" Kutertawakan dia.
"Ya aku lah yang bilang. Piye to? Kamu hebat, Hid, kalau bisa menaklukkan dia."
Berani mencintai Nona Sekar? Itu artinya dia sedang dihadapkan tantangan. Bila benar-benar mencintai, maka dia harus berani melangkahkan kaki lebih jauh. Bertemu dengan juragan. Gundul nenganggap bahwa semua lelaki, termasuk diriku, berhak mengutarakan perasaan itu dengan konsekuensi ditolak.
Dia memegang pundakku, berkata, "Nanti aku akan jadi orang pertama yang mengucapkan selamat padamu."
Sekali lagi aku menertawakannya, "Jangan bernazar kau. Sudah pergilah! Aku akan memetik kopi di seberang." Kuberi isyarat dengan dagu ke mana arah yang hendak kutuju.
Sebelum Gundul beringsut, Nona memperhatikan kami. Dia tidak berekspresi, tapi wajahnya seperti orang yang sedang mengancam. Dia layak mendapat sebutan perempuan kendali mata.
"Nah kau lihat, kan, bagaimana dia menatap kita? Sinis. Aku yakin. Sekalipun dia bukan anak juragan, dia akan tetap terlahir seperti itu. Wataknya berbeda dengan gadis-gadis desa ini. Bener, kan, kataku?" Di akhir kata dia setengah berbisik.
Aku beringsut pergi mendahului Gundul yang masih mengoceh.
"Oik, ke mana kau, Hid?" Setengah berteriak.
"Cari duit." Kujawab sekenanya.
Kepala pekerja mendongak. Bagi mereka yang tahu kedatangan juragan, ayah Nona. Buruh terpaksa patuh berdasarkan tingkatan kasta yang berbeda. Yang sangat menghormati, akan langsung menemui untuk menyapa juragan lebih dekat. Aku melakukan hal yang sama meskipun aku bukan buruhnya. Aku bertandang di lahan sendiri.
"Juragan ada perlu?" tanya Pakde Karso. Pakdeku salah satunya. Dia tidak mau menerima warisan dari mendiang keluarga sehingga harus tetap menjadi buruh harian. Untungnya pakde termasuk buruh kepercayaan juragan.
"Sekar suruh ke sini!"
Pakde berbisik kepada orang di sebelahnya supaya memanggilkan Nona di tengah ladang. Nona menoleh. Derap langkahnya pelan menghadap. "Ada apa, Ayah?" Hanya kepada ayahnya lah dia akan mengucap dengan kelembutan. Di sisi itulah, aku melihat sikap ketidakberdayaannya.
"Ada perlu. Kita pulang sekarang!" Juragan langsung menarik lengan Nona.
Hebatnya Nona Sekar selalu menampilkan kepatuhan dirinya di depan orang-orang. Hampir semua buruh dan warga kampung ini tahu sikap itu. Dia sosok yang masyhur dengan kepiwaiannya mengendalikan diri.
"Ada yang datang melamarmu, Sekar. Temui dia di ruang tamu!"
"Ayah ke mana?"
"Sudah temui saja dia dulu!"
Sekar mengangguk dengan setengah membungkuk.
Ada dua pasang sandal. Dia sudah bisa menebak siapa yang dimaksud ayahnya. Dia tidak canggung menghadapi lelaki asing itu. Dia berani datang menemui sendirian. Lantas dia masuk tanpa permisi, apalagi salam. Kemudian, duduk serupa putri raja yang datang menebar pesona dan citra keanggunan hingga yang menatap berseri-seri.
"Pantas saja bila Sekar ini banyak mengambil hati para lelaki. Kau cantik. Kenalkan aku mahasiswa Universitas Gajah Mada yang sengaja datang untuk mengenalmu secara langsung. Apa kaumau, Sekar?"
Mata Sekar tidak pergi dari wajah lelaki di hadapannya. Dia hanya diam beberapa detik dan tidak perlu menunggu lama untuk menjawabnya. Wajarlah. Dia bukan gadis yang pertama kali dilamar, apalagi kalau hanya perkenalan.
"Jika kamu sudah tahu namaku, itu artinya dia sudah mengenalku. Apalagi?” Tidak ada lemah gemulai dalam suara itu. Justru mantap dan kadang penuh duri.
Lelaki itu menggelar senyuman. "Oh, iya betul, Sekar. Ini kedatangan yang kedua kalinya."
Nona Sekar mengangguk sekali. Matanya tetap berpusara di tempat semula.
"Sekar, aku serius. Kalau kaumau, aku ingin menjadi suamimu. Hanya dengan cara itulah aku bisa mengenalmu lebih jauh. Tidak ada sekat dan jarak. Dan, agama pun akan lebih menghendakinya. Kesucianmu pun tidak akan ternoda."
"Bicaralah pada Ayah! Ayah yang akan memutuskan semuanya. "
"Tapi, Ayahmu memberikan hak itu padamu. Kau layak memperjuangkan esensi kewanitaanmu. Kau berhak memilih itu sendiri."
"Diamlah!" Nadanya tertahan.
Nona Sekar tidak akan menghabiskan tenaga untuk berceloteh lama dengan mahasiswa itu. Dia sudah hampir hafal dengan gaya bicara mahasiswa. Tiga orang yang datang sebelumnya pernah mengatakan hal sama.
"Sekar, mungkin kau sudah muak dengan lamaran pria. Tapi, barangkali aku akan mendapatkan kesempatan yang lain. Aku bisa pulang membawakan kabar gembira. Keluargaku menginginkan ini."
"Pergilah! Atau kau memilih menemui Ayahku? Terserah."
Pria itu melenguh. Putus asa.
"Aku akan datang lagi di lain waktu. Terima kasih sudah berkenan menemuiku dan adikku. “Assalamu'alaikum."
Nona Sekar menjawab lirih setelah lelaki itu menjauhkan diri beberapa langkah, "Wa'alaikumussalam."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments