Lanjutan Part 2

"Maksudku tidak Kakak respons."

"Ouh." Dia menggelembungkan pipinya.

"Ayah, Ibu? Ada yang datang."

Begitu sampai pintu, Zura melempar kopernya, langsung menghamburkan diri ke sofa. Ibu membuka selambu, sekat ruang tengah dan ruang tamu. Semringahnya wajah ibu yang sudah empat tahun memendam rindu pada putri bungsunya.

"Zura? Cah Ayune Ibuk." Bahkan tidak sepertiku. Ibu cepat mengenali meski wajah dan tampilan Zura lebih modern.

Mereka melepas rindu dengan saling berpelukan.

"Ada yang mau aku kenalkan pada Bapak dan Ibu." Dia gembira memberitahukan kabar itu.

"Siapa yang datang?" sahut ayahanda dari belakang. Muncul beberapa menit kemudian.

"Ayah mau ke mana?" Ibu bertanya karena melihat tampilan ayah rambut klimis disemprot minyak wangi dan menyematkan kacamata di tengah baju hemnya.

"Ada urusan sebentar."

"Ayah?" Zura memanggil dengan nada kecewa.

"Loh kapan datang, Nduk?"

Zura mendekat, menyalimi.

"Baru saja. Ayah jangan ke mana-mana dulu. Ada yang datang bersamaku."

Bibir ayah segera mengatup. Dia melirikku. Lantas kembali membuka senyum. Ayahanda menurut, lalu duduk.

Tak berselang lama, pria pujaan Zura melangkah masuk. Dia mendekati bingkai pintu, lalu mengucapkan salam.

Hanya Zura dan ibu yang menjawab dengan keras, sedangkan ayahanda diam. Atau, mungkin menjawabnya dalam hati sepertiku. Ekspresi yang diharapkan Zura dari ayahanda tidak tercapai.

"Ayah keluar dulu." Ayahanda memasang kacamatanya.

Zura cemberut. Dia lupa mempersilakan duduk. Akhirnya ibu yang berkata demikian.

"Kamu siapanya Azura?"

Zura menukas kata Nanda yang hendak keluar dari mulut, "Teman kampus. Juga di komunitas." Mulutnya hampir mencomel.

Kukira dia sudah meninggalkan kebiasaan itu dengan mengganti kebiasaan baru. Rupanya dia tetap Azura yang dulu. Azura yang sejak dulu menganggap kakaknya ini sebagai teman.

"Mas, Zu buatkan minum dulu." Zura bangkit dengan keluh kesah.

"Saya Nanda Ibu, Teteh. Kami kenal ketika Zura masuk di komunitas pecinta alam yang saya naungi."

"Pantes Azura sekarang hitam. Ya, kan, Sekar?"

Aku mengangguki.

Alhasil, Nanda harus menceritakan alur pertemuan mereka. Sepenggal kisah saat perjalanan mendaki di Gunung Merbabu, Mahameru, jalan-jalan di wilayah bromo. Dia juga mengaku pernah mengajak Zura belajar langsung dengan alam. Bahkan, mengamen membaur dengan anak-anak jalanan. Lalu, mengajak mereka gabung bisnis yang saat ini Nanda kutati.

Ibu kelihatannya sangat menikmati cerita itu. Beberapa kali ibu melontarkan pertanyaan untuk menanggapi atau pertanyaan lain untuk menggali ceritanya lebih dalam.

"Saya ada sedikit oleh-oleh untuk Ibu dan Teteh Sekar."

Ada selendang dan jilbab yang dikeluarkan Nanda dari tas kulitnya.

"Ibu tidak pernah mendapat hadiah seperti ini sebelumnya. Terima kasih." Ibu mencobakan selendang itu di kepalanya. Sesekali meminta pendapat apakah itu terlihat bagus. Dan, aku mengiyakannya.

"Jilbabnya untuk Teteh. Semuanya kain tenun khas Kalimantan. Kemarin waktu ada sarasehan pecinta alam tahun lalu, saya membelinya. Tapi, untuk selendangnya itu sebagai cindermata."

"Diundang?"

"Iya, Bu. Jadi pembicara ketiga."

Zura datang membawa nampan. Ada segelas secang dan tiga teh panas.

"Secang untuk siapa, Cah Ayu?"

"Itu Mas Nanda." Dia menggerakkan dagunya sembari meletakkan masing-masing gelas.

"Kalau Nanda suka secang nanti Ibu bawakan remoah-rempahnya. Bisa diseduh di rumah. Jangan ditolak. Anggap sebagai ganti oleh-oleh ini. Ya?"

Nanda tersenyum. "Terima kasih, Bu. Saya terima dengan senang hati."

Karena merasa cukup berbincang dengan ibu, Nanda beralih menatapku, "Teteh kegiatannya apa di rumah?"

"Tidak ada."

"Selama kenal dengan Zura, dia sering menceritakan soal Teteh pada saya. Katanya, Teteh itu teman. Kok bisa begitu, ya?"

"Aku dan Zura hanya selisih dua tahun. Perawakan juga tidak beda jauh. Sepintas seperti anak kembar."

Ibu membenarkan itu. Lalu, meminta izin ke dapur.

"Mas, tadi barang-barangku masih di mobil?" tanyanya sambil memegang ponsel. Sejurus bertumpu kaki.

Aku memperhatikan gaya Zura kadang sudah semacam model. Aura kecantikannya memancar dari sini. Jika dia hanya menampakkan diamnya, orang akan tahu dia perempuan yang bersahaja, pintar, dan bak pesona. Apalagi, dia pun tidak sudah segendut empat tahun lalu. Tubuhnya ramping dan molek.

"Iya masih."

"Ya sudah aku ambil, ya. Mana kunci mobilnya?" Telapak tangannya menengadah.

Senyap beberapa menit.

Aku sengaja membiarkan dia mencari bahan obrolan. Aku segan terlalu banyak bicara dengannya.

"Ayah Teteh ada keperluan penting?"

Aku menganggukkan kepala pelan-pelan. Pasti dia heran dengan sikap ayah tidak peduli dengannya.

"Jika kamu serius dengan Zura, perjuangankan dia dengan cara apapun. Suatu saat, perjalanan cintamu bisa saja penuh duri. Kalau kamu lengah sedikit saja, darahmu akan bercucuran."

"Maksud Teteh?" Nanda mulai serius menatapku.

Zura datang. Megap-megap membawa kopernya yang lebih besar.

"Berat. Huh."

Zura memandang kami bergantian. "Muka serius begitu?"

"Tidak, Zu."

Nanda merebahkan badannya. Tapi, pandangannya mencari mataku. Aku sedang menoleh pada Zura agar dia langsung meletakkan kopernya di kamarku.

"Kamarku masih berantakan?"

"Iya. Kamu, kan, tidak bilang kalau pulang, Zu."

Dia menurut.

Masih pada sikap yang sama. Nanda mencoba mencari maksud dari tatapanku sedang bicara.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!