Rasa Seperti Mimpi
Hampir satu jam merenungi nasib, akhirnya dengan langkah berat, aku berjalan menuju kamar mandi. Pembantu rumah sudah mengantarkan pakaian dan handuk kepadaku sesuai arahan Tante Hana.
Kuguyurkan air ke sekujur tubuh berbaur dengan bulir kristal yang tumpah. Aku memang belum sempat diperlakukan hal yang tak senonoh, hanya saja kejadian kak Alea yang tega mengantarkanku ke club malam itu membuat trauma mendalam. Bahkan dia tak sadar yang diantar menuju kesana adalah perempuan yang telah dianggapnya sebagai adik sendiri.
Adik? hah, semua hanya kepura-puraan kak Alea saja selama ini. Mana ada kakak yang tega menjebak adiknya. Kami memang tak sedarah, tapi setidaknya hati nuraninya tak mati hanya karena iming-iming rupiah.
Puas dengan guyuran shower membasuh sekujur tubuh, akhirnya aku meraih handuk, mengeringkan semua sisa-sisa kotoran yang melekat. Kotorannya mungkin bisa dibersihkan, tapi tidak dengan kejadiannya. Masih membekas dan sulit untuk dihilangkan saat itu juga.
Setelah rapi dengan pakaian yang dipinjamkan Tante Hana beserta kerudungnya, aku pun melangkah keluar menuruni anak tangga. Rupanya Tante Hana telah menungguku dari tadi. Kasihan sekali, harus repot karena masalahku.
"Anna, kamu sudah rapi. Mari bergabung dengan kami," ucapnya lembut dan menepuk kursi di sampingnya.
Aku menunduk lalu melangkah mendekati Tante Hana yang asyik menyantap hidangan pagi. Di hadapannya ada seorang laki-laki yang tak menggubris kehadiranku.
Mungkin itu anaknya, batinku.
Saat aku duduk, laki-laki yang seusia denganku berdiri dari tempat duduknya. Melangkah ke arah Tante Hana.
"Mah, aku kuliah dulu ya," ucapnya meraih punggung tangan ibunya. Sama sekali tak melirikku yang menatapnya. Berharap ada izin bisa tinggal disini sementara waktu.
"Hati-hati, sayang," Tante Hana mengecup puncak kepala anaknya.
Lalu laki-laki yang belum kuketahui namanya berlalu pergi bersama mobilnya.
"Dia Dirga, keponakan Tante." Tante Hana mengenalkan padaku yang menebak rasa penasaranku.
"Keponakan? Tapi, mengapa dia memanggil dengan sebutan mamah?" tanyaku penasaran.
"Dirga itu anak dari adik tante. Ibunya masih ada, hanya saja ekonomi kami berbeda. Dirga punya banyak kakak, dia anak bungsu. Ibunya sudah tidak sanggup membiayai segala kebutuhannya saat dia lahir. Jadi, Tante Hana berinisiatif membantu meringankan beban adik tante dengan merawat Dirga dari kecil. Dirga sudah menganggap Tante sebagai mamah kandungnya sendiri. Sementara dengan ibu kandungnya dia tak terlalu dekat karena merasa dibuang oleh keluarganya sendiri." Tante Hana menjelaskan detail sosok yang kulihat barusan.
"Beruntung sekali dia bisa dirawat oleh Tante Hana. Tante sangat baik kepada semua orang," ucapku kagum menatap kedua mata Tante Hana yang dibalas dengan senyuman.
"Bagaimana kondisimu, Ann? oh ya, tante punya rumah sewaan. Kalau kamu mau, bisa menyewa sama tante aja jadi gak perlu balik ke kostmu lagi."
"Kondisiku sudah mendingan, Tan. Tapi sepertinya Anna harus balik ke kost nantinya untuk mengambil barang disana."
"Tante dari dulu pengen punya anak perempuan. Baru sehari kamu di sini, tante merasa punya anak lagi."
Aku tersenyum.
"Oh iya, perkenalkan suami tante namanya Om Beni. Panggil saja Om Ben."
Om Ben menatap Anna, tapi tatapannya merasa bersalah seperti teringat kejadian semalam. Mungkin Om Ben menyesal telah membohongi istri sebaik Tante Hana.
Om Ben berdiri dari kursinya lalu kemudian mengecup kening istrinya, "Papah kerja dulu."
Om Beni mengangguk tanda berpamitan juga ke arahku.
Tinggallah kami berdua yang menyantap roti bakar dan segelas susu hangat di meja makan.
---
Dua hari sudah aku tinggal di rumah ini. Saat mau ke dapur, aku berpapasan dengan Dirga. Iya, kemarin tante Hana sudah mengenalkan nama anaknya. Dia tak menatapku sama sekali.
Selama disini, Tante Hana mengajak bercerita banyak hal. Tante Hana seperti menemukan teman bercerita. Mungkin ini alasan Om Beni mencari hiburan di luar. Bahkan istrinya saja kesepian. Mereka sama-sama kesepian.
Aku berusaha membalas kebaikan keluarga ini. Tanpa disuruh aku membantu apa yang bisa dibantu. Membantu Mbak Yanti sebagai kepala pembantu di rumah tante Hana.
Setelah itu menemani tante Hana ke super market membeli bahan belanjaan. Menemani Tante Hana shopping juga. Baru kali ini melihat orang belanja tanpa melihat harga. Menurutku harga yang dibeli Tante Hana fantastis.
Bagi tante Hana, belanja adalah hiburan. Dia melampiaskan kejenuhan dengan menyenangkan dirinya sendiri.
Kami semakin akrab tapi aku tidak bisa berlama-lama di sini. Aku harus kembali ke kehidupanku, kuliahku. Bahkan sudah berapa hari aku tidak masuk kerja karena berada di rumah orang.
Rasanya mustahil ada orang mau menerima tanpa mau tahu asal usulku. Apakah Tante Hana seorang malaikat berwujud manusia? Nggak, tante Hana memang orang yang sangat baik.
---
Om Beni memberikan isyarat untuk menemuinya di teras rumah. Sepertinya ada hal yang ingin dibicarakan. Tante Hana sedang jalan bersama Dirga.
Di rumah ada Mbak Yanti dan pembantu lainnya. Mungkin ini yang membuat Pak Beni mau berbicara hanya berdua karena Tante Hana tidak ada di rumah.
Dari kemarin Om Beni sangat pendiam. Entah merasa bersalah atau bagaimana aku pun tak tahu. Raut wajahnya serius seperti ada yang dipikirkan.
"Aku mau bicara hal penting, Ann." Om Beni membuka pembicaraan saat kami sudah duduk di teras rumah.
"Iya, Om."
"Mungkin kamu sudah tahu apa yang sedang kupikirkan. Aku bahkan tidak pernah melihat istriku sebahagia ini saat kedatanganmu di rumah ini,"
"Aku tahu kamu tidak mungkin tinggal berlama-lama disini, 'kan? Kamu kuliah, kamu bekerja, dan kamu harus selesaikan tugasmu sesegera mungkin karena orangtua mu pasti menunggu di kampung sana."
"Tapi, aku bisa meminta tolong satu hal denganmu?"
Aku masih diam. Rasa seperti disidang dosen saat berhadapan dengan Om Beni. Aku tak tahu harus memberi jawaban apa.
"Meminta tolong apa, Om?"
Om Beni memperbaiki duduknya.
"Tante Hana dari dulu ingin punya anak perempuan. Om sangat sibuk bahkan untuk ngobrol berdua saja tidak sempat. Om mau kamu menemani tante Hana beberapa minggu, bisakah?"
"Maksudnya aku tinggal lebih lama lagi disini, Om?"
"Iya, kira-kira begitu. Kamu boleh kesini lagi jika misal sudah keluar dari rumah ini. Om butuh waktu untuk introspeksi diri. Om mau minta maaf dengan tante Hana, dan Om harap jangan pernah membocorkan kejadian yang sebenarnya."
Aku mengangguk. Mungkin dengan cara ini aku bisa menebus kebaikan Tante Hana dan Om Beni.
---
Pertengkaran kecil terdengar mendengungkan telinga. Aku yang sedang menyelesaikan tugas kuliah, seketika berhenti menulis. Rasa penasaran menarikku keluar dari kamar dan mencari sumber suara.
Saat berada di pinggiran railing dekat anak tangga. Aku menyaksikan Om Beni, Tante Hana dan Dirga tengah berdiskusi di ruang keluarga.
"Aku tidak mengenalnya, Mah. Bagaimana bisa aku menikah dengannya. Mamah carikan saja dia laki-laki yang lain. Toh, dia bukan siapa-siapa di rumah ini. Hanya perempuan yang mamah dan papah temukan di pinggir jalan," protes Dirga.
"Tolong bantu dia, Dirga. Seperti mamah yang telah menolongmu dari ibu kandungmu sendiri," ucap Tante Hana lembut.
"Mamah menyesal telah membesarkanku?" suara Dirga mulai serak menahan tangis. Menatap Tante Hana dalam-dalam.
"Bukan begitu, Dirga sayang. Mamah terlanjur sayang dengan Anna. Kamu tahu kan Mamah tidak bisa mengandung. Mamah bertahun-tahun tak memiliki anak. Mamah dan Anna sudah akrab, Mamah nyaman dengannya. Dia tidak punya keluarga di kota besar ini. Sementara jika dia terusan tinggal disini, khawatir akan terjadi fitnah, sayang."
"Carikan dia rumah kost-an, Mah. Dengan begitu, dia bisa tenang dan bisa melanjutkan hidupnya." Dirga terus menolak permintaan Tante Hana.
"Mamah menyukai sifatnya, Nak. Mamah meski baru mengenalnya, mamah mulai menyayanginya. Dia perempuan yang baik. Kamu tahu kan, Mamah tak ada anak selain kamu. Mamah tak memiliki anak kandung setelah divonis dokter tak akan memiliki keturunan seumur hidup Mamah. Mamah mau dia tinggal disini, bergabung menjadi keluarga besar kita, menjadi anak Mamah juga. Menjadi istri kamu, Dirga," bujuk Tante Hana.
"Tapi mah ... " Dirga menentang. Entah mau menolak atau menuruti kemauan mamahnya dia sendiri masih belum bisa memutuskan.
"Oke Mah, ini semua demi Mamah. Dirga akan menikahinya. Tapi, dengan satu syarat," Dirga mengajukan syarat kepada orangtua angkatnya.
Om Beni dan Tante Hana saling bertatapan.
"Apa sayang," ucap Tante Hana dengan suara lembutnya.
"Kami menikah hanya karena status, bukan sebagai suami istri seperti orang yang telah menikah. Jadi dia bebas tetap melanjutkan kuliah, begitupun dengan Dirga. Tak ada satu kamar, dia tinggal disini hanya sebagai pendatang yang berubah status, jadi jangan memintanya untuk ikut campur segala urusan Dirga. Dan Dirga mau ada pernyataan di atas kertas supaya ketika melanggar, Dirga ada hak meninggalkannya."
Tante Hana menghela nafas lalu menatap suaminya. Om Beni memberi anggukan kepada istrinya tanda setuju dengan permintaan Dirga.
"Baiklah sayang, jika itu permintaanmu. Kamu sudah cukup dewasa memutuskan apa yang menjadi hak kamu. Mamah akan mengurus surat pernyataannya," ucap Tante Hana menyetujui segala kesepakatan anak angkatnya.
Sementara aku yang mendengar semua pembicaraan mereka hanya bisa pasrah. Hidupku sudah terlanjur terjebak di dalam keluarga tante Hana.
Jika menolak permintaan Tante Hana, dimana hati nuraniku? Merekalah yang telah menolongku. Tante Hana memang sudah sangat dekat denganku. Bahkan aku merasa seperti diasuh seorang ibu kandung sendiri.
~~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments