1. Berita Buruk

"Kak Aldan kenapa, Bun!" Ira menangis di pelukan Sena.

Belum lama, Ira mendengar berita di televisi bahwa pesawat Singapore Airlines mengalami hilang kontak dan hilang di Samudra India. Hal itu membuat Ira dan Sena sama-sama merasa terkejut. Terlebih lagi Regha maupun Aldan sama-sama menaiki pesawat Singapore Airlines walaupun berbeda pesawat.

Kring...

Ponsel Ira berdering, ia langsung melepaskan pelukan Sena dan mengambil ponselnya.

Abang is calling...

"Siapa?" tanya Sena bingung dengan ekspresi Ira yang bingung melihat Caller ID.

"Abang, Bun!" ucap Ira histeris.

Kemudian Ira langsung menekan tombol hijau untuk mengangkat panggilan tersebut.

"Abang! Abang nggak kenapa-napa kan? Abang ada yang sakit?" ucap Ira langsung.

"Abang nggak kenapa-napa kok. Emangnya kenapa? Kok lo khawatir banget? For your information aja, gue lagi di Singapore. Beberapa menit lagi gue bakal berangkat ke Inggris."

Ira lega mendengar jawaban Regha. Terlebih lagi jika abangnya itu selamat dari kecelakaan itu. Dan Regha bukanlah salah satu penumpang di maskapai itu.'

"Enggak papa kok, Bang. Yaudah lo hati-hati ya."

Kemudian panggilan itu berakhir. Ada sedikit senyum dari bibir Ira. Mengingat Regha selamat.

"Abang, bukan korban pesawat itu, Bun!"

Tangis Ira dan Sena sama-sama pecah. Mereka berdua menangis dalam bahagia. Anggota keluarga mereka masih utuh.

"Tapi," ucap Ira memelan dalam pelukan Sena.

"Kak Aldan, Bun."

Ira kembali menangis, semua pikiran tentang Aldan kembali hadi dalam pikirannya. Segala kemungkinan juga perlahan mulai merasuk ke dalam pikiran Ira.

"Kak Aldan!" pekik Ira sambil menetralkan nafasnya yang tak beraturan.

"Hai, what's wrong?" ucap Martin.

Ira menengok ke samping dan benar, Martin bersamanya.

"Are you okay?" tanya Martin lagi.

Ira mengangguk, ia membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan. Napasnya masih belum bisa normal. Mimpi yang sama lagi dengan hari-hari sebelumnya kembali hadir lagi kali ini. bayang-bayang kematian Aldan kembali menyeruak ke dalam pikirannya.

Ira mengangguk menanggapi pertanyaan Martin. Tak lama, mereka berdua sampai di sebuah halaman sekolah. Martin membawa masuk mobil itu dan memarkirkan mobilnya.

"C'mon."

Martin mengajak Ira keluar dan berjalan menuju dalam sekolah itu. Martin menggandengan tangan Ira, mungkin ini sudah menjadi hal lumrah di sini. Sedangkan bagi Ira, ini sangat meresahkan.

"It's your room, babe."

Ira sebenarnya risih dengan perlakuan Marti padanya. Namun, hanya dia yang ia kenal di sini. Setidaknya dia belum melakukan apapun kepada Ira.

Setelah itu Martin membukakan sebuah kamar kepada Ira, tidak begitu luas, namanya juga asrama. Tetapi, lumayan lah untuk dia beristirahat.

Setelah Martin memberikan kunci kamar padanya dan pergi meninggalkan kamar Ira, Ira menutupnya.

"Selamat datang, kehidupan baru!"

...✈️✈️✈️✈️...

5 Bulan Kemudian

"Hai, Ra."

Ira menghentikan langkahnya. Ia sudah tahu siapa yang memanggilnya.

"Kenapa lagi sih, Ar?" balas Ira.

Siapa lagi kalau bukan Martin. Kejadian lima bulan yang lalu membuat Ira semakin dekat dengan Martin. Mungkin bisa dikatakan sebuah hubungan persahabatan. Selama lima bulan itu pula, Martin berusaha dengan keras mencoba belajar bahasa Indonesia.

"Aku mau ajak kamu, main."

"Aku lagi kerja, Ar. Nanti kita lanjutin."

Ira kembali melangkahkan kakinya masuk ke dalam dapur sebuah kafe. Kemudian, Ira melanjutkan tugasnya kembali.

Ira memang bekerja di Jerman. Part time lah, paling tidak ia bisa menambah uang jajannya di sini. Walau sebnarnya, uang dari ayah dan bundanya sangat berlebih. Namun, karena Ira ingin menambah pengalaman kerja dan juga mengisi waktu luangnya, jadinya di sinilah ia berada. Di sebuah kafe milik keluarga Martin. Mereka berdua memang tidur di asrama, namun karena kebijakan asrama ini tidak terlalu ketat, hal itu membuat siswa asrama bisa bekerja di luar.

Tiga jam kemudian, saatnya Ira untuk pulang. Setelah ia mengganti pakaiannya, ia berjalan menuju meja Martin. Selama itu pula Martin dengan setia duduk di mejanya sambil melakukan pekerjaannya.

Martin adalah seorang penulis di Jerman. Namanya lumayan terkenal di kalangan anak muda. Berkat novelnya berjudul "Me and Sexy Evil" membuat namanya kemudian dikenal banyak orang.

"Mau kemana? Kenapa kamu masih menungguku?" tanya Ira.

Martin menyelesaikan tulisannya terlebih dahulu. Namun, sebelum itu ia tidak lupa menyimpan file itu dan memasukkan notebook itu ke dalam tas miliknya.

"Mau kemana?"

"Kamu malah balik tanya ke aku. Harusnya aku yang tanya ke kamu. Jawab dulu pertanyaanku. Jangan memberikan pertanyaan diatas pertanyaanku, aku tidak menyukainya."

Yah, Martin sudah mulai lancar berbahasa Indonesia, Ira yang mengajarinya. Sekaligus Ira juga sudah mahir berbahasa Jerman, karena tuntutan pekerjaan pastinya.

"Kita pergi ke taman?" tanya Martin.

"Taman mana?" tanya Ira.

"Sudah ikuti aku saja."

Seperti biasa Martin menggandeng tangan Ira, membawanya masuk ke dalam mobilnya, kemudian ia menjalankannya. Memecah jalanan kota Jerman yang lenggang.

Ira sudah biasa seperti ini, membuka kaca mobil dan mengeluarkan tangannya. Ia sanagt suka udara dingin di sini. Ia hanya ingin melepaskan secuil rasa rindunya kepada seseorang yang pernah hilang dari hidupnya.

"Dimana kita ini?" tanya Ira.

"Kurpark."

"Kamu yakin ini mengasyikkan? Karena aku tidak yakin."

"Yakinlah, aku tidak akan mengecewakanmu."

Martin memparkirkan mobilnya dan turun bersama Ira. Mereka berdua berjalan beriringan, diantara beberapa pengunjung di sana.

Ira menikmati pemandangan yang ada di sana. Rasanya ia ingin sekali berada di sini selama yang ia bisa. Ia ingin menjelajahi Jerman lebih lama lagi.

Mereka berdua terus melangkah di samping Danau di Kurpark. Canda dan tawa mengiringi langkah mereka berdua.

"Martin."

Mereka berdua berhenti di sebuah bangku yang menghadap ke arah danau. Kemudian mereka berdua duduk di sana, dan menikmati udara sore dan juga pemandangan indah sore hari di Kurpark.

"Apa?" tanya Martin.

"You have a girlfriend?"

Martin tertawa, Ira yakin dengan pasti bahwa pertanyaannya bukanlah sebuah guyonan. Tapi, kenapa Martin tertawa.

"Tidak, Ira. Aku tidak mempunyai pacar. Aku sedang menunggu seseorang, hingga seseorang itu sadar aku menunggunya."

Ira mengangguk dengan pernyataan Martin. Bukan maksud Ira untuk mulai membuka hatinya karena kepergian Aldan. Namun, ia sadar bahwa tak selamanya ia harus seperti ini.

Kepergian memang berat, namun baginya, tetap diam saat seseorang meninggalkannya adalah hal bodoh yang ia lakukan.

Bukan berarti dia harus tetap diam saat Aldan meninggalkannya. Dia hanya menikmati masa-masa dimana semuanya berakhir. Menikmati masa kesendiriannya tanpa seorang pendamping.

"Ira."

"Hmm?" gumam Ira sambil menatap ke arah Martin.

"Menurutmu, apa rasanya menunggu tanpa kita tahu, jika orang yang kita tunggu, ternyata mempunyai orang lain?"

Ira memalingkan wajahnya. Pertanyaan yang cukup berat baginya. Gue juga pernah, Ar. Bedanya, gue mencintai orang, yang ternyata masih mencintai orang lain. Di sana, gue seperti peran pengganti saat peran utama lagi nggak ada. Dan gue emang nggak ada artinya, sebagai peran pengganti.

Pandangan Ira terhenti pada sebuah titik. Pada dua siluet seseorang yang sedang berdiri di samping danau. Tangan keduanya tergenggam. Tawa mereka berdua berderai. Ira dapat melihatnya dengan jelas.

"You okay?"

Ira menggeleng. Yang dia lihat pasti salah. Matanya pasti sedang membohongi dirinya. Ia menolak keras dengan apa yang ia lihat.

"Kak Aldan," lirihnya pelan.

...✈️✈️✈️✈️...

Author Note

Hai :) Karena beberapa pertimbangan aku percepat deh jadwal update ku. Makanya kalian jangan lupa vote sana komen ceritaku biar aku makin semangat nulisnya.

Oh iya, follow instagram @aldanstory

See you next part, baby

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!