4. Dia atau Bukan?

Ira menatap mata orang itu, mata pria yang sama dengan mata enam bulan yang lalu. Lekuk wajah yang sama pula dengan enam bulan yang lalu. Raut wajah yang terasa tidak asing bagi Ira. Semuanya sama persis dengan beberapa bulan yang lalu.

"Kak Aldan?" tanya Ira.

Ira langsung menyambut uluran tangan Aldan, ia berdiri dan langsung memeluk tubuh Aldan. Sebuah moment yang sangat Ira inginkan. Tangisannya pecah, air mata miliknya dengan bangganya melesat turun membasahi pipinya, bergeriliya melewati pipi dan bermuara ke bagian bawah wajahnya.

"Entschuldigung, du kennst mich?" ucap pria yang Ira peluk. (Maaf, kamu mengenalku?)

Ira melepaskan pelukannya, ia pandangi kedua bola mata pria didepannya ini. bola mata yang sangat Ira rindukan, sepasang bola mata yang sangat ingin Ira tatap saat ini.

"Jangan bercanda, Kak! Nggak usah bohong, nggak usah drama! Aku tahu kamu Kak Aldan. Nggak usah bohong kayak gini, Kak!" ucap Ira sambil menangis.

"Aber kannst du deutsch sprechen?" ucap pria itu tidak mengerti ucapan Ira. (Bisakah anda berbahasa Jerman?)

"Du, Aldan?" tanya Ira.

Pria didepannya itu mengeleng cepat, ia singkirkan tangan Ira yang masih memegang kedua lengannya. Bagi Ira, sentuhan tangannya pada kulit pria didepannya ini sama persis dengan sentuhan Ira pada Aldan. Ada perasaan yang mengatakan bahwa pria didepannya ini adalah Aldan.

"Nein, ich bin Arlan. Du liegest falsch." (Bukan, aku Arlan. Kamu salah orang)

Pria itu sedikit tersenyum pada Ira, bahkan ada sedikit suara di sana, pria yang mengaku namanya Arlan ini tertawa. Tertawa karena kebodohan Ira yang mengira bahwa dirinya adalah Aldan.

"Aber ich bin sicher, du bist Aldan!" Ira masih kukuh dengan pendiriannya. Ia merasa bahwa pria didepannya ini adalah Aldan.

"Du liegest falsch," ucap laki-laki tadi yang bernama Arlan kemudian pergi meninggalkan Ira sendirian.

Regha yang dari tadi hanya menyimak dengan rasa tidak percayapun mendekati Ira dan langsung memeluknya. Ira langsung membalas pelukan Regha dengan erat. Ia tumpahkan tangisannya pada bahu Regha. Kini Regha tau, seberapa besar pengarus Aldan bagi diri Ira.

"Abang lihat kan? Aldan masih hidup!" ucap Ira disela tangisannya.

Regha hanya dapat menggeleng, ia mengiyakan ucapan Ira, ia percaya dengan ucapan Ira sekarang.

"Gue percaya sekarang, gue percaya karena gue lihat dengan mata kepala gue sendiri, dan bodohnya karena gue sebelumnya nggak percaya sama lo tanpa bukti begitu aja, Dek. Tapi lo harus inget, dia bernama Arlan. Mungkin hanya wajah mereka yang sama, bukan berarti dia itu Aldan."

Ira masih menangis, ia lepaskan pelukan Regha padanya. Rasa sesak di dalam hatinya masih membesar. Sangat teramat besar. Ia sangat yakin jika orang yang mengaku namanya Arlan ini adalah Aldan.

"Tapi bukan hanya wajahnya, Bang! Sorot matanya, cara dia ngomong, sentuhannya! Semuanya sama persis, Bang. Sama persis kayak Aldan gue!" sanggah Ira.

"Lo harus coba ikhlasin Aldan, Dek. Bisa aja dia bener-bener Arlan, orang yang mirip sama Aldan, tapi beda orang."

"Selamanya gue nggak akan bisa percaya kalau orang itu namanya Arlan!"

...🔥🔥🔥...

"Kamu kenapa?" tanya Martin.

Ira menggeleng, kedua orang tua Ira dan Regha sudah pergi terlebih dahulu. Mereka kembali he hotel, sedangkan Martin membawa Ira kembali ke kafe.

"Jangan bohong sama aku, dari tadi kamu diem. What happen?"

Ira kembali menggeleng, ia minum sedikit caramel cappuchino hangat miliknya, ada sedikit harapan di manisnya minuman itu, Ira menganggap harapan itu adalah kembalinya Aldan ke pelukannya.

"Aku nggak kenapa-napa kok, Ar. Cuman capek aja," jawab Ira memberikan respon atas pertanyaan Martin padanya.

Gantian Martin sekarang yang menggangguk. Ia paham, kondisi saat ini tidak dapat memberikan kejelasan tentang masalah yang Ira hadapi.

Ira kembali menyesap cappuccino, tiba-tiba bahunya tersampir sebuah jaket begitu saja. Sejenak Ira terpaku saat melihat jaket yang ada di bahunya, pikirannya kembali menerawang jauh.

"Kak Gilbran?!" ucap Ira sambil berdiri dan berbalik badan.

Benar saja, Gilbran berada tepat di depan Ira. Laki-laki yang sama dengan yang memberikan pelukan saat Aldan pergi. Gilbran yang ada pada saat-saat Ira berkabung. Gilbran juga yang ada di hari-hari setelah Aldan pergi. Hingga akhirnya Ira pergi ke luar negeri dan meninggalkan Gilbran sendirian di Jakarta.

"Ada apa? Kaget?" balas Gilbran sambil merentangkan tangannya.

Ira langsung memeluk tubuh Gilbran dan merengkuhnya erat. Ia merindukan pelukan ini, pelukan yang sama dengan pelukan Aldan. Pelukan yang menenangkan.

"Kangen banget, Kak! Gimana lo di Indo, Kak?" tanya Ira lalu melepaskan pelukannya.

Ada sorot rasa kecewa pada mata Gilbran saat Ira melepaskan pelukannya. Namun, ia tutupi dengan sebuah senyum hangat. Senyuman yang mampu membuat Ira sedikit bahagia saat Aldan tidak ada di sampingnya.

"Baik-baik aja. Sama kaya yang lo lihat. Nggak ada perubahan kan?"

"Kurusan, Kak."

"Gimana nggak kurus, orang nggak ada lagi yang ngingetin makan. Biasanya kan lo yang ingetin gue," balas Gilbran.

Baik Ira maupun Gilbran sama-sama tertawa karena celotehan Gilbran. Gilbran Pandu Putra, seorang pria nakal yang berada di sekolah Ira dulu. Pria yang menurut orang-orang, adalah pria yang layak untuk dijauhi. Tapi bagi Ira, dialah pria yang sesungguhnya. Layaknya Aldan, ayahnya, dan juga Regha.

Gilbran selalu melindungi Ira, ia juga selalu ada di saat Ira butuh pelukan untuk menangis saat dirinya mengingat sosok Aldan. Bagi Ira, Gilbran adalah sosok kakak lain yang ia miliki.

"Dia siapa, Ra?" ucap Martin yang sudah berada di belakang Ira.

"Oh, kenalkan. Nama gue Gilbran."

"Gue?" ucap Martin kesusahan.

"Eh, Kak. Gilbran ini orang Jerman, dia nggak tertalu bisa bahasa Indo. Dia kalau ngomong pakainya aku-kamu. Jadi dia nggak tahu gue-lo. Eumm, Martin, kenalin ini kakak kelas aku di Indonesia dulu, namanya Gilbran."

Martin baru mengerti ucapan Gilbran, kemudian ia menjulurkan tangannya dan menjabat tangan Gilbran.

"Dan kak, dia namanya Martin, dia temen aku di Jerman. Kalau gitu aku pergi dulu ya, Ar, kak. Mau ke dalam dulu."

Ira tidak memperhatikan lagi setelahnya, ia pergi begitusaja meninggalkan Gilbran dan juga Martin yang masih berjabatan tangan.

"Hai," ucap Martin.

"Juga."

"Wanna Play?" tanya Martin.

"Sure," balas Gilbran.

Kemudian Martin mengambil tas miliknya kemudian berjalan mendahului Gilbran yang mengikuti Martin dibelakangnya. Mereka berdua pergi meninggalkan kafe tersebut dengan tergesa-gesa.

🔥🔥🔥

...A/n...

Nah loh! Ada apa ini sebenarnya hahaha.

Ayo tebak apa yang bakal terjadi selanjutnya. Apakah orang tadi itu bener bener Aldan? Atau Arlan?

Lalu, apa yang bakal Ira alami selanjutnya? Hahahaha see you guys!

Terpopuler

Comments

Aluna marvel alaskar aldebaran

Aluna marvel alaskar aldebaran

wanna playy astaghfirullah menagia kuu

2021-02-20

0

Avia Gustin

Avia Gustin

mgkin aldan tp msik amnesia kali

2020-12-08

0

ju warni

ju warni

knp ira ga bilang ke arlan soal gelang di tangan arlan itu ira yg kasih.

2020-12-08

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!