Lima~ Si pemilik senyum tengil

"Memalukan!" katanya benar-benar mematikan suhu udara siang itu. Tak ada ucapan--apa kabar, sehat nak? Atau pelukan hangat penuh kerinduan selayaknya diberikan oleh seorang ayah untuk putrinya.

"Pap." Mama sudah memperingatkan papa, namun alih-alih ingat dengan perjanjian mereka sebelumnya, dimana papa sudah berjanji akan berusaha mengontrol emosi seandainya Gala pulang, kenyataannya ia justru semakin meledak tak terkendali saat keduanya dihadapkan seperti sekarang.

Sepertinya, selamanya interaksi keruh mereka akan tetap seperti itu tanpa ada akhir dan penyelesaian. Tak ada yang benar-benar mau memperbaiki sikap dan mengalah diantara keduanya.

Kini raut wajah Jenggala tak bisa lebih malas lagi mendengar cercaan papa, seolah benar-benar sudah muak. Sudah dapat ia tebak akan begini jadinya jika ia pulang ke sini.

"Lala baru pulang pap." Kata Mama hati-hati, ia hampir meraih lengan baju papa, namun akhirnya ia hanya bisa meraih udara sebab sang suami kini sudah menghampiri Gala di kursi teras belakang, tidakkah sang suami mengerti, jika disini---yang penting putri mereka pulang? Bisakah ia tekan egonya untuk sang putri yang baru saja kembali ke dalam pelukan?

"Semakin sini semakin nakal saja kamu, tak terkontrol. Kesalahan bukan hanya ada di Yubi dan Dandi. Tapi anak ini memang harus benar-benar didisiplinkan dengan caraku!"

Gala menyengit berdiri, "cara yang bagaimana maksudnya? Cara serdadu medan perang atau cara aparat memperlakukan tero ris? Nyesel banget aku pulang ke sini." lantas ia mengalihkan pandangannya, muak melihat wajah papa, ia kira sekian lama ia tak pulang sedikitnya akan mereda pertengkaran yang acap kali terjadi diantara mereka, "harusnya aku tau resikonya." Pandangan Gala jatuh ke belakang papa, dimana wajah mama sudah muram dengan binar mata yang nyalang, gurat gurat kemarahan itu coba Gala hembuskan, demi melihat redup kesedihan mama.

"Stop please...bang!" lemah mama.

Gala berdecih, ia benci harus selalu mengalah. Kegusarannya tak bisa membuat Gala lebih muak lagi sejak tadi, saat mama membicarakan perjodohan kak Ayunda dan bang Aziz. Rasanya baru kemarin...lubang hatinya menganga, dan hari ini, lubang hati itu semakin dikorek-korek lagi lebih dalam bersama rasa kecewa yang teramat besar.

Gala tak ingat, kapan terakhir kali ia menangis. Sebab, syaraaff matanya sudah tak bisa lagi untuk menitikan air mata untuk rasa sakitnya.

Papa masih berkacak pinggang, "ya! Kamu memang seharusnya sudah tau resikonya." Tatap papa mondar mandir melihat lekat-lekat Gala dari atas hingga ujung kaki, "cukup menyusahkan dan merepotkan tanta dan om mu, Gala. Kali ini kau tak boleh lagi kembali ke Kota Karang, biar papa dan mama yang mendidikmu disini, kamu ambil S2 saja daripada harus berkutat dengan pekerjaan malammu itu. Dan tattoo itu, adalah langkah pertama proses berubahmu, hapus segera!" Telunjuknya merujuk pada tattoo Gala, mata tajamnya itu benar-benar menusuk, seolah ia sedang berhadapan dengan junior yang teramat berulah.

Namun alih-alih takut dan menurut, Gala justru membalas tatapan papa tak kalah tajam dengan luapan emosi, "papa ngga berhak atur hidup Gala lagi. Gala sudah besar. Lagipula, apa harus Gala ingatkan siapa yang paling punya andil untuk kekacauan ini?!" sengitnya pada papa, dimana kebencian itu muncul lagi dan lebih berkobar kali ini.

"Silahkan atur saja kak Ayunda, tapi tidak dengan Gala." Langkahnya meninggalkan papa, melewati mama yang telah mengusap air matanya dan berlalu masuk ke dalam kamar yang memang akan selalu jadi kamarnya, setelah sebelumnya tatap Gala seolah menekankan ketajaman mengingatkan papa kembali pada akar dari permasalahan pemberontakannya.

Blugh!

"Gala!"

Hufftt..."Astagfirullah." Irianto mengusap wajahnya kasar lalu menekan pangkal hidungnya kencang, berbalik ke arah sang istri yang membuang muka, "maaf."

Dan suara obrolan lemah tentang Gala mengisi kamar mama dan papa. Tentang perdebatan-perdebatan kecil keduanya, tentang suara keluhan kecewa mama serta isak tangisnya akan sikap keduanya yang membuat mama lelah, "papa ngga capek kah? Ngga lelah, kamu, pa? Hm?"

"Apa harus aku ingatkan jika ini..."

"Stop! Berhenti mengungkit masa lalu, saya sudah menyesal dan minta maaf. Apa tidak cukup, apa yang harus saya lakukan agar bisa menebus kesalahan itu, Hanin...katakan?"

Kabar kepulangan Gala memancing Ayunda untuk datang ke rumah mama, ada rasa lega dan senang meskipun tak beda dengan papa. Ayunda memuntahkan rasa kesalnya sejak datang di depan rumah.

"Hah, pulang juga akhirnya! Mau ketemu aja susahnya ampun-ampunan persis mau ketemu artis internasional, siapa sih kamu, La!" Ia turun dari motor maticnya dengan stelan baju safari khas tenaga pendidik, langkahnya tak bisa besar sebab yang dipakainya adalah rok span panjang. Sebelum mengajar, ia menyempatkan dirinya ke makko.

Naf su makannya benar-benar dibuat membumbung jauh ke awan sekarang, dengan papa saja ia masih perang dingin. Bahkan ketika pagi menjelang, papa benar-benar menggedor pintu kamarnya persis sedang menggerebek bandar narko ba dan menodongnya dengan kalimat-kalimat bernada ancaman sepaket sarkasmenya, hingga akhirnya membuat mama menjerit lelah saat keduanya terlibat pertengkaran lagi, sepagi itu.

Gala benar-benar lelah, sekalinya pulang justru mentalnya harus diserang bertubi-tubi begini oleh papa dan kak Ayunda.

"Nda, adikmu ini baru pulang." Terlihat gurat lelah dan prihatin mama, lebih pada---jangan ditambahi lagi. Mama cape, kasian adikmu, tolong hentikan.

Ayunda segera mengatupkan mulutnya menatap Gala yang membalas tatapnya malas, "udah selesai ngomelnya? Atau masih harus aku dengerin? Aku ngga akan mikir lagi buat ambil penerbangan pulang secepatnya kalo gini jadinya." Sendok di tangannya dijatuhkan hingga suara beradunya dengan piring berdenting keras, Gala mendekap kedua tangannya di dada.

"La," mama menggeleng seolah tak ingin Gala segera kembali ke Ku pang.

Oke, Ayunda menghela nafasnya namun saat pandangannya jatuh pada tatto Gala, refleksnya tak bisa tertahan untuk meledak lagi.

"Kamu pake tattoo?!!"

Selepas kepergian Ayunda, Gala membawa piring kotornya ke wastafel bersama dengan mama yang terpaksa harus bersiap pergi juga untuk mengajar pagi ini.

"La, biar mama yang cuci..." Gala menggeleng dengan senyum hangatnya pada mama seraya menaruh piring yang masih mengucurkan air di rak, "Gala biasa cuci piring sendiri kok ma. Mama biasa bawa motor atau dianter ajudan? Hari ini Gala yang anter, mau ngga?" tanya nya mengibaskan air dari tangan dan mengelapnya dengan ujung kaos sendiri.

Mama berdecak tersenyum diantara cantiknya jilbab yang dipakai, tangannya terulur meraih lap tangan, "kebiasaan. Anak muda sekarang males cuma sekedar ambil lap tangan sendiri. Ada yang matic. Beneran Lala mau anter mama ke sekolah, SIM?" tanya mama diangguki Gala, "punya kok. Yuk..kunci motornya dimana? Bentar aku siap-siap dulu." Ia melengos demi mengambil jaket.

Ada rasa bahagia tak terkira baik untuk Gala maupun mama. Ia sudah meraih helm begitupun mama. Jika biasanya ia akan pergi sendiri atau sekedar diantar oleh ajudan sang suami, maka khusus hari ini Gala mengantarnya.

Jalanan blok-blok mess dan perumahan dilewati, "wah, berasa lama banget ngga lewatin jalanan ini." Ujarnya, ada angin yang bersahutan menerpa suara Gala, dalam kurun waktu 2 tahun, makko tak banyak berubah. Hanya di beberapa bagian saja, mungkin.

Mama mengiyakan di belakang, sedikit mengangkat kaca helm mama merasai perasaan hangat ini, perasaan seperti---lengkap, "2 tahun kamu ninggalin makko. La, mama harap kamu mau kembali tinggal disini. Ngga ada salahnya tawaran papa kamu terima."

Senyum yang terurai mendadak luntur lagi dari wajah cantiknya, "papa bukan lagi ngasih tawaran, ma."

Ada lengu han berat dari nafas mama pagi itu, ini adalah---entah keberapa kalinya bujuk rayu mama ditolak Gala. Bahkan ia sampai lupa apa masalah besar yang mengawali kerenggangan hubungan dengan Gala.

"Jujur sama mama, apa yang bikin Gala ngga mau tinggal disini, apa yang bikin Gala ngga betah sama papa, selain dari sikap otoriter papa?"

"Cuma itu. Gala---"

Mama sudah merotasi bola matanya, selalu alasan otoriter nan keras sang suami dan cinta tanah kelahiran yang menjadi alasan putri bungsunya itu pergi.

"Cuma lebih betah di Kota Karang." Jawabnya singkat. Dan kini, ban motor sudah menggilas jalanan hingga ke gerbang serambi depan.

"Bu," hormat para penjaga ketika mama melintas, begitupun Gala yang sempat bersitatap dengan mereka.

"Om, mari..." pamit mama.

"Masih ingat jalanannya?" tanya mama saat keduanya sudah bertemu dengan jalan besar, Gala mengangguk di balik helmnya, "ingat." Matanya bolak-balik memperhatikan lalu lintas, mencari celah untuk menyatu diantara padatnya volume kendaraan pagi itu, "macet banget deh perasaan."

Mama terkekeh, "ibukota kalo jam pergi kantor ya jangan ditanya. Lala langsung pulang ke makko atau mau kemana dulu abis nganter mama?"

"Kayanya langsung pulang, ke Kota Karang..." Hehe Gala yang langsung ditepuk punggungnya oleh mama, "jangan ngaco! Baru juga pulang, masa udah balik lagi. Mama mau ajak Lala jalan-jalan dulu."

"Siap bos...asik, Lala ditraktir mama atau sebaliknya nih? Uang Lala dipake ongkos pesawat, ma." Hehe-nya lagi.

"Mama yang traktir Lala. Kalo gitu nanti Lala jemput mama lagi di sekolah."

"Oke." Lala baru saja akan membelokan stir motornya dan melaju saat ia berpapasan dengan para prajurit yang berbelok dari acara olahraga paginya.

"Bu," sapa mereka hormat.

"Berangkat mengajar, bu?" tanyanya tanpa mau menyeka garis wajah yang bersimbah keringat.

"Pagi. Iya..agak pagian biasa takut macet. Wah baru lari pagi ya? Eh, kenalkan...ini anak bungsu saya..."

Gala sedikit mengernyit sebab mama justru berlaku random mengenalkannya pada para prajurit bawahan papa itu.

Ada wajah-wajah yang sungkan dan segan diantara mereka saat Gala menjatuhkan tatapnya dari balik helm dengan senyum kaku, namun satu wajah yang sejak tadi menatapnya penuh meneliti dan itu ditunjukan oleh seorang perwira di paling samping. Senyum tengilnya sukses membuat Gala menaikan sebelah alis keki sesaat sebelum akhirnya ia menyatu dengan arus lalu lintas pagi itu.

Dih aneh... Gala berdecih.

.

.

.

.

.

Terpopuler

Comments

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

sabar gala
ini hanya perkara miskomunikasi
percayalah yg diinginkan org tua hanya kebaikan untuk anaknya... kalau bisa meraih dunia dan menghadang musibah bisa dilakukan , mungkin akan dilakukan org tua.
jika org tua gak ngerti apa mu, coba katakan sejujurnya apa yg kamu suka dan apa yg kamu benci... pasti akan ketemu jalan tengah nya tanpa menyakiti siapa pun

2025-10-01

0

rinnar🌺

rinnar🌺

jan dulu pulang gal, di makko ada calon jodoh kamu (mungkin)🤣🤣 iya kek nya emng gra2 masalah perjodohan antara kaka gala sma bang azis2 itu deh, trus mungkin emng antara gala dan bang azis ada sesuatu atau apalah entah aku tak tau😂😂🤭 wkakaa itu mah pasti si tengul Russel da soalnya kan yg rada2 mah kek nya cuma dia deh🤣🤣

2025-10-01

0

3@$2.

3@$2.

sabar ning gala,, setiap orang tua ingin yang terbaik untuk anaknya.
tapi ortu lupa kalo anak punya bakat dan kemampuan lain yang mungkin tidak disukai ortunya.
jangan balik ke Kupang dulu gala itu udah ada hilal jodohmu

2025-10-02

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!