Damian masuk ke dalam rumah, begitu malam sudah datang. Tadi, setelah mengantar Elena, ia kembali ke kantor dan menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda. Namun, baru saja beberapa langkah dari pintu utama, pandangannya langsung terkunci pada seseorang di ruang tamu.
Disana, Sean sedang asyik memainkan game di ponsel sambil merokok. Bahkan abu rokok jatuh berceceran dan mengotori sofa ruang tamu.
“Ekhem.”
Sean tersentak. Ia buru-buru menoleh, lalu bangkit dari posisi tidurnya. Dengan panik ia menjatuhkan rokok itu ke lantai dan menginjaknya. Wajahnya berusaha tenang, tapi jelas tergesa. Ia memalingkan pandangan, tidak berani menatap mata ayahnya yang kini terlihat begitu tajam.
Damian berjalan mendekat dengan langkah mantap. Udara di ruangan itu juga berubah tegang. Satu tangannya diselipkan ke dalam saku celana, sorot matanya dingin menyorot ke arah putranya.
“Jadi ini yang kau lakukan saat aku tidak ada di rumah?” suaranya rendah, tapi mengandung ketegasan yang membuat Sean semakin gelisah.
Sean menelan ludah, ponselnya masih menyala di tangan, menampilkan layar permainan. Ia buru-buru menutupnya, namun Damian sudah sempat melihat.
“Bukan begitu, Ayah. Aku hanya…” Sean terdiam, karena tidak menemukan alasan yang tepat.
Damian melirik puntung rokok yang masih berasap tipis di lantai, lalu kembali menatap anaknya dengan tatapan menusuk.
Sean masih diam dengan kepala yang setengah menunduk. Tangannya mengepal, ada rasa takut, tapi juga perlawanan yang berusaha ia tahan.
Damian menghela napas dalam, “Kau bisa bermain di luar sana, tapi jangan pernah kau ulangi lagi kebiasaan ini di dalam rumahku,” tegas Damian.
Setelah mengucapkan itu, Damian melangkah pergi. Pekerjaan dikantor sudah membuat kepalanya berdenyut, dan ia tidak ingin menambah masalah dengan putranya malam ini.
“Ini juga rumahku, jadi aku berhak melakukan apa pun yang kumau. Padahal Ayah juga melakukan hal-hal seperti ini, lalu kenapa aku yang dilarang?” ucap Sean dengan lantang.
Damian seketika berhenti. Ucapan putranya seperti duri yang menusuk langsung ke jantungnya. Perlahan ia menoleh, sorot matanya semakin tajam saat menatap Sean.
“Kau memang sulit diatur,” ucap Damian frustrasi, “Apa kau tidak bisa melihat bahwa aku berusaha mendidikmu? Aku ingin kau berubah menjadi pria yang lebih baik.”
“Ayahmu ini tidak selamanya hidup di dunia. Tentu saja aku mengkhawatirkan keadaanmu jika aku tiada. Apa kau tidak bisa merasakannya?” lanjut Damian dengan suara yang melembut sedikit, tapi tetap sarat emosi.
Sean terdiam. Ada guratan rasa goyah di matanya, namun dengan cepat ia memalingkan wajah, seolah menolak untuk menunjukkan kelemahan. Tangannya mengepal semakin kuat, menandakan amarah dan gengsi sedang bertarung di dalam dirinya.
Damian menarik napas panjang, berusaha menetralkan emosinya. Ia mendongak, menatap langit-langit untuk mencari sedikit ketenangan, lalu menunduk kembali, dan tatapannya jatuh pada lantai.
“Sudah malam. Jangan membuat keributan,” ucap Damian akhirnya.
Ia pun melangkah menuju tangga, meninggalkan Sean yang masih berdiri di tengah-tengah ruang tamu.
Sepeninggal ayahnya, Sean langsung melempar ponselnya ke atas sofa dengan kasar. Benda itu membentur bantalan sofa, sebelum tubuhnya sendiri akhirnya terhempas menyusul, jatuh pasrah ke sofa seakan semua energi di dalam dirinya sudah terkuras habis.
Dari balik sudut ruangan, Jane yang sedari tadi bersembunyi sambil mendengarkan pertengkaran mereka, tidak tahan lagi hanya menjadi penonton. Wajahnya menegang oleh rasa khawatir. Ia segera melangkah cepat menghampiri Sean. Begitu sampai di sampingnya, wanita paruh baya itu duduk, lalu perlahan menyentuh bahu Sean dengan lembut.
“Tuan muda, kau tidak apa-apa?” tanyanya dengan penuh kepedulian.
Sean menoleh perlahan, menatap kepala pelayan yang sudah merawatnya sejak ia kecil, sosok yang hampir ia anggap seperti ibunya sendiri. Ia menggeleng pelan, senyumnya hambar.
“Sudah biasa dia memarahiku seperti itu.”
Jane menghela napas, menepuk bahu Sean dengan penuh kasih, “Tuan besar memang keras, sering kali kata-katanya terdengar kasar. Tapi percayalah, ia selalu mementingkanmu, selalu memikirkan masa depanmu. Jadi, jangan terlalu diambil hati.”
Sean hanya diam.
Jane tersenyum menenangkan, lalu berdiri dan menarik lembut lengan Sean, berusaha mengalihkan perhatiannya.
“Ayo, Bibi sudah menyiapkan makan malam kesukaanmu. Kita makan malam bersama, ya?”
Sean mendesah pelan, tapi akhirnya menurut. Ia bangkit dari sofa, lalu mengikuti langkah Jane menuju meja makan.
Sementara itu, Damian yang baru saja tiba di kamarnya langsung menutup pintu dengan kasar. Dengan gerakan tergesa, ia melepas jasnya, kemudian dasi yang menjerat lehernya, dan melemparkannya ke atas ranjang dengan asal.
Langkahnya goyah, tubuhnya seolah kehilangan tenaga setelah hari yang penuh tekanan. Ia duduk di tepi ranjang, menunduk dalam-dalam, lalu kedua tangannya meremas rambutnya sendiri.
Menjadi orang tua tunggal sejak kelahiran Sean sudah cukup menguras tenaga dan emosinya. Setiap hari, ia berusaha keras memerankan dua peran sekaligus, yakni sebagai ayah yang tegas dan sekaligus sosok pelindung yang penuh kasih. Namun, menghadapi Sean yang semakin sulit diatur seiring bertambahnya usia membuat Damian sering merasa gagal.
“Apakah ini hukuman untukku?” pikirnya dalam hati.
Entah karena kesalahan masa lalu, entah karena keputusan-keputusan yang ia ambil dulu, atau hanya karena takdir yang memang harus ia jalani. Ia tidak tahu. Yang jelas, beban itu semakin menumpuk, dan rasanya begitu menekan dirinya.
Drrt… drrt…
Damian menoleh pada ponselnya yang bergetar di atas ranjang. Ia meraih jas yang tadi dilempar asal, merogoh saku, dan menemukan benda itu. Layarnya menyala, menampilkan nomor yang tidak dikenal. Keningnya mengernyit, namun kemudian bibirnya terangkat tipis saat matanya menangkap tiga angka terakhir di deretan nomor itu. Ia belum menyimpannya, tapi ia tahu persis siapa pemiliknya.
Dengan satu gerakan, ia menggeser tombol hijau, lalu menempelkan ponsel ke telinganya.
“Selamat malam, Elena,” ucapnya, nada suaranya langsung berubah lebih hangat, seakan segala beban beberapa menit lalu menghilang.
“Om? Kenapa suaramu terdengar berbeda?” suara Elena terdengar jelas, penuh rasa ingin tahu.
Damian menegakkan tubuhnya, sedikit terkejut, “Apa begitu kentara?”
“Iya, sangat jelas. Apa ada masalah?”
Damian menghela napas panjang, hatinya bimbang antara menutup diri atau jujur pada wanita yang baru saja masuk ke dalam hidupnya. Akhirnya ia memilih jalan tengah.
“Ada sedikit masalah. Tidak serius… hanya pertengkaran biasa dengan putraku.”
Damian menjauhkan sedikit ponselnya saat ia tidak mendengar lagi suara Elena.
“Elena? Kau masih disana?”
“Om! Apa maksudmu?! Putra? Putra siapa? Putra Om? Om sudah menikah? Bahkan sudah punya anak?” suara Elena meninggi.
Damian terkekeh pelan. Reaksi polos itu terdengar begitu menggemaskan di telinganya. Untuk sesaat, rasa tegang di dadanya reda, tergantikan oleh hangatnya percakapan singkat dengan Elena.
“Aku memang sudah memiliki seorang putra, bahkan seusiamu,” ujar Damian tenang.
“Wow… aku sangat tidak menyangka ternyata Om sudah punya anak. Kupikir Om masih lajang, ditambah penampilan Om yang masih terlihat sangat muda.”
Damian terkekeh ringan, “Aku tidak semuda itu, gadis kecil.”
Elena ikut tertawa kecil, lalu tiba-tiba bertanya dengan nada usil.
“Lalu istri Om? Apa dia tidak marah malam-malam begini Om malah mengobrol dengan wanita lain?”
Damian tersenyum simpul, matanya setengah menyipit menatap lantai kamar.
“Rahasia.”
“OMMMM!” Elena terdengar merengek, seolah benar-benar memprotes.
Damian tidak kuasa menahan tawa, “Baiklah, baiklah. Aku akan memberitahumu saat kita bertemu nanti.”
“Janji ya, Om?”
“Iya, Elena.” Damian melunak, “Ada urusan apa kau menghubungiku malam-malam begini?”
“Aku tadi hanya ingin bertanya persiapan apa yang harus kulakukan besok.”
“Tidak ada persiapan khusus. Datang saja ke kantor.”
“Mmm baiklah, aku mengerti. Aku matikan dulu ya, Om. Selamat beristirahat… dan selamat bersenang-senang dengan istrimu.” Ucapan itu terdengar berbisik, namun berhasil membuat Damian tersenyum lebar.
“Kau juga selamat beristirahat,” balasnya lembut.
Nada sambungan terputus. Damian menurunkan ponselnya, menatap layar yang kini gelap beberapa saat. Ia membuka riwayat panggilan, lalu menyimpan nomor itu dengan nama kontak “Gadis Kecil.” Saat tulisan itu terpampang jelas di layar, senyum Damian kembali mengembang.
Di seberang sana, Elena meletakkan ponselnya di atas sofa. Ia kemudian memandang lampu-lampu gedung yang berkilau di kegelapan malam melalui jendela besar di depannya. Ujung bibirnya tertarik penuh arti. Ada kepuasan tersendiri setelah percakapan mereka berakhir.
“Rupanya mereka sering bertengkar,” gumamnya pelan, lalu melipat tangannya di depan dada.
“Ternyata tidak sulit memisahkan mereka. Sudah ada api, tinggal ditambah bahan bakar, dan boom... semuanya akan lenyap.”
Ia kemudian meraih gelas wine yang sudah ia siapkan di meja. Cairan merah di dalamnya berputar lembut ketika ia menggoyangkannya. Ia menatap warna merah itu sejenak, lalu mengangkat gelasnya setinggi mata.
“Ia bahkan tidak memiliki istri, jadi untuk apa memberitahuku saat bertemu nanti.”
Suara tawanya keluar lirih, terdengar penuh kepuasan. Ia mengangkat gelasnya seakan bersulang.
“Damian, Damian... kasihan sekali dirimu.”
Elena meneguk sedikit isinya, lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa. Senyum puas itu belum juga hilang dari wajahnya, seolah rencana liciknya baru saja mendapatkan jalan baru.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments