03. Jejak Pertama di Perusahaan

Elena berdiri tegak di depan sebuah gedung pencakar langit. Kepalanya mendongak, meneliti jajaran lantai yang menjulang tinggi seolah sedang menantang langit. Sudah lama ia hanya bisa mengamati bangunan megah ini dari luar, namun baru kali ini ia benar-benar memiliki kesempatan untuk masuk. Perlahan, ia menurunkan pandangan, menarik napas dalam, lalu melangkah menyeberangi zebra cross menuju pelataran gedung.

Langkahnya terdengar mantap, irama ketukan high heels yang ia kenakan bergema pelan. Blus putih yang elegan berpadu dengan celana hitam yang pas di tubuhnya, menegaskan citra wanita yang percaya diri dan berkelas. Dengan lenggak yang terukur, Elena berjalan layaknya model yang membuat setiap mata menoleh ke arahnya.

Ia melewati revolving door yang bergerak otomatis, lalu melangkah masuk dengan anggun. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah berada di balik dinding kaca, dan benar-benar masuk ke dalam lobi gedung pencakar langit itu.

Udara sejuk langsung menyapu wajahnya, aroma elegan dari pengharum ruangan bercampur samar dengan wangi kopi yang terbawa dari sebuah kafe kecil di sudut. Pandangannya terangkat ke langit-langit tinggi yang megah, di mana lampu kristal bergemerlap, memantulkan cahaya ke lantai marmer mengilap yang nyaris sempurna memantulkan bayangannya sendiri.

Lobi itu dipenuhi suara langkah karyawan bersetelan rapi, beberapa diantara mereka sedang bercakap singkat di telepon, hingga beberapa diantaranya bergerak cepat sambil membawa berkas tebal. Dan semua itu terdengar harmonis di telinganya.

Dengan langkah mantap, Elena mendekati meja resepsionis yang dijaga dua perempuan bersetelan formal. Senyum tipis menghiasi bibirnya, seolah ia sudah terbiasa berada di tempat semewah ini.

“Permisi, saya ingin menanyakan soal lamaran pekerjaan,” ucapnya tenang.

Pegawai resepsionis menatap layar komputer, lalu kembali menoleh padanya dengan ekspresi netral.

“Mohon maaf, Nona. Saat ini perusahaan tidak membuka lowongan pekerjaan.”

Dahi Elena berkerut. Kata-kata itu terasa janggal di telinganya. Bukankah Damian sudah memberinya janji? Bukankah pria itu sendiri yang seolah menyiapkan kursi khusus untuknya? Apa dia lupa?

Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, “Saya datang bukan karena lowongan terbuka. CEO perusahaan ini yang secara langsung menawarkan pekerjaan kepada saya,” suaranya ditekankan agar terdengar meyakinkan.

Kedua pegawai resepsionis itu saling bertukar pandang, lalu menatapnya lagi dengan raut skeptis. Senyum sopan masih melekat di wajah mereka, tapi jelas ketidakpercayaan tergambar dari sorot mata.

“Maaf, Nona. Kalau begitu, sebaiknya Anda meninggalkan area lobi. Tanpa janji resmi, kami tidak bisa mengizinkan Anda masuk lebih jauh.”

Elena menarik napas panjang, lalu menghembuskannya pelan. Rasa jengkel bercampur kekecewaan berputar di dadanya. Dengan gerakan elegan, ia meraih ponsel dari tasnya. Jemarinya lincah menggulir kontak hingga menemukan nama Damian di sana.

Beberapa kali Elena menekan tombol panggil, tapi suara dari ponselnya tetap sama yaitu nomor tujuan tidak aktif. Helaan napasnya berubah menjadi hentakan kecil dari hak tinggi sepatunya ke lantai marmer, menyalurkan kekesalan yang sulit ia bendung. Tatapannya sempat melirik sekilas ke arah meja resepsionis. Benar saja, raut wajah mereka jelas menggambarkan dugaan bahwa ia hanya berbohong. Dari cara mereka menatap, Elena tahu mereka ingin segera menyingkirkannya.

Namun ia bukan tipe seseorang yang mundur begitu saja. Ia menegakkan bahunya, lalu memberikan anggukan sopan pada kedua resepsionis itu sebelum akhirnya melangkah menjauh. Dengan langkah penuh percaya diri, ia menuju ke kafe bergaya modern yang berada di sudut lobi.

Ia memesan satu cappuccino, lalu membawa gelasnya menuju meja kaca kecil di dekat jendela besar bangunan itu. Ia duduk dengan anggun, meletakkan tas di kursi samping, dan segera mengetik pesan singkat kepada Damian bahwa ia sedang menunggu pria itu di lobi. Pesan terkirim, lalu ia meletakkan ponselnya di atas meja.

Elena meraih kopinya, dan menyeruputnya perlahan. Sedangkan pandangannya berkeliling, mengamati orang-orang yang sibuk berlalu-lalang di depannya.

......................

Di ruang rapat,

Damian menekan tombol kecil di tangannya, layar presentasi di ujung ruangan perlahan meredup dan akhirnya padam. Sejenak, cahaya alami dari dinding kaca yang menjulang tinggi di sisi kanan ruangan menjadi satu-satunya penerang utama. Ia bersandar ke kursi utamanya, kursi dengan sandaran lebih tinggi daripada yang lain, menandakan posisi dominannya di meja itu.

Tatapannya menyapu tajam ke sekeliling ruangan, dari satu wajah ke wajah lain, seolah ingin menembus isi kepala masing-masing anggota dewan.

“Baiklah,” suaranya dalam dan terukur, “Silakan angkat tangan bagi yang setuju dengan pembangunan ini.”

Namun, alih-alih segera menjawab, beberapa anggota justru saling menoleh, berbisik dengan suara rendah yang menciptakan riuh samar. Suasana rapat yang semula tegang berubah menjadi seperti pasar kecil, penuh gumaman dan spekulasi.

Brak!

Telapak tangan Damian menghantam permukaan meja panjang itu, keras dan tiba-tiba, membuat botol-botol air mineral di depannya bergetar. Semua kepala sontak terangkat, percakapan yang tadi terdengar langsung lenyap.

“Kalian berada di sini untuk mengambil keputusan, bukan untuk bergosip,” ucap Damian dengan suara yang menggelegar.

Keheningan semakin menyelimuti ruangan. Bahkan detak jarum jam di dinding terdengar lebih jelas daripada napas mereka yang tertahan.

“Ekhem.”

Suara berat Alan Bailey memecah ketegangan. Hanya satu dehemannya saja sudah cukup membuat semua orang di meja panjang itu menoleh dengan segan.

Alan menatap Damian dengan pandangan tenang, “Tentu saja kami setuju. Tidak ada yang perlu diperdebatkan. Kalau memang tujuannya untuk keuntungan perusahaan, kami akan mendukung penuh. Benar, bukan?” Ia melirik ke arah para anggota dewan lain.

Seperti tersihir, mereka saling pandang lalu mengangguk bersamaan. Tidak ada bantahan, tidak ada keraguan.

Damian menatap pemandangan itu dengan senyum tipis. Namun di balik senyumnya, ada rasa getir. Siapa sebenarnya yang mereka dengarkan? Dirinya sebagai CEO, atau Alan, paman dari pihak ibunya, sebagai sosok dewan senior yang dihormati?

“Mereka semua sudah setuju, Damian. Lanjutkan saja pekerjaanmu,” ucap Alan dengan mantap.

Damian merunduk sedikit, tubuhnya condong ke depan, lalu menatap pamannya dengan tajam. Senyum khasnya kembali muncul, kali ini lebih dingin.

“Terima kasih, Paman. Karena kau telah membantuku.”

Alan balas tersenyum lebar, “Tidak masalah.”

Para anggota dewan lain pun ikut tersenyum menyaksikan interaksi keduanya, seolah lega karena ketegangan rapat telah reda.

“Baiklah, rapat dibubarkan,” ujar Damian akhirnya.

Satu per satu kursi berderit, anggota dewan berdiri dan meninggalkan ruangan. Tidak lama, ruang rapat besar itu kembali sepi. Damian mengulurkan tangan, meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja. Dengan satu tekanan lama, ia menghidupkan perangkat itu. Sudah menjadi kebiasaannya, bahwa saat rapat, ponsel harus mati, demi menjaga fokus penuh.

Namun tidak semua orang keluar. Alan masih duduk tenang di kursinya, seolah menunggu momen ini.

“Damian.”

Damian mendongak, menatap pamannya.

“Kurasa ada hal yang harus kukatakan.”

Damian memberi isyarat dengan tangannya, mempersilakan Alan melanjutkan.

“Semalam, Sean menghubungiku. Dia mengadu karena kau memblokir kartunya. Dia itu sama seperti cucuku sendiri, dan menurutku… tindakanmu terlalu keras.”

Damian menghela napas panjang, wajahnya tetap tenang meski suaranya terdengar dingin.

“Dia putraku, Paman. Aku tahu cara mendidiknya.”

Alan menunduk, mengangguk singkat, “Kau benar. Aku yang terlalu ikut campur.”

Damian tidak menjawab, hanya kembali menatap ponselnya. Alisnya tiba-tiba berkerut, begitu melihat beberapa panggilan tidak terjawab dari nomor asing.

“Damian—”

“Sebentar, Paman. Ada pesan penting,” potong Damian sambil membuka satu pesan yang masuk.

Matanya menyipit, ekspresinya berubah sesaat. Ada keterkejutan yang jelas, meski cepat ia sembunyikan agar tidak terbaca Alan.

Damian segera bangkit dari kursinya, “Kalau Paman masih ada yang ingin dibicarakan, kita lanjutkan lain waktu. Aku harus pergi sekarang.”

“Tapi—”

Alan terlambat. Damian sudah melangkah keluar, meninggalkan pintu yang masih bergoyang tertutup di belakangnya.

Alan menghela napas panjang, “Baiklah… lain kali saja,” gumamnya lirih, lalu ikut keluar dari ruangan.

Di lantai dasar, pintu lift terbuka dengan bunyi denting halus. Damian keluar dengan langkah lebar, wajahnya serius. Beberapa karyawan yang berpapasan langsung menunduk memberi hormat, tapi ia sama sekali tidak menggubris mereka. Pandangannya lurus ke depan, fokus pada tujuannya.

Setelah melewati turnstile gate lobby, ia berhenti sejenak. Matanya menyapu sekeliling, mencari sosok yang mengirimi pesan. Tidak ingin membuang waktu, ia langsung menuju meja resepsionis.

“Ada wanita yang mencariku?”

Pegawai resepsionis dengan cepat berdiri saat melihat atasannya muncul. Mereka saling berpandangan, sebelum salah satunya mengangguk takut.

“Sepertinya ada, Tuan. Dia menunggu di sana.” Jemari pegawai itu menunjuk ke arah kafe di sudut lobi.

Damian tidak menunggu penjelasan lebih lanjut. Ia segera berbalik, langkahnya mantap menuju kafe. Dan di sana, tepat seperti dugaannya, duduk seorang wanita muda dengan sikap penuh percaya diri.

Wanita itu terlihat begitu tenang ketika memainkan ponselnya. Kakinya disilangkan anggun, sepatu hak tingginya mengayun kecil di udara. Cahaya lampu lobi jatuh di wajahnya, yang membuatnya tampak semakin berkelas.

“Elena?”

Suara berat itu membuat Elena menoleh dari ponselnya. Begitu melihat sosok Damian berdiri beberapa langkah darinya, ia langsung bangkit dengan senyum ramah.

“Om Damian.”

Ada kelegaan yang jelas terpancar dari wajah pria itu, “Kau lama menunggu? Maaf, aku baru selesai rapat.”

Elena cepat-cepat menggeleng, senyumnya masih terpasang, “Tidak, Om. Pengangguran sepertiku tentu punya banyak waktu luang.”

Ucapan ringan itu justru membuat dada Damian sedikit teriris. Ia teringat bagaimana Elena harus kehilangan kesempatan wawancara kemarin hanya karena menolongnya.

“Mari ke ruanganku,” ajaknya.

Namun Elena malah menyilangkan tangan di depan dada, pandangannya penuh curiga, “Om ingin membawaku ke ruangan Om? Sepertinya… itu tidak pantas. Aku hanya ingin melamar pekerjaan. Bukankah seharusnya aku dikenalkan dulu ke bagian HR?”

Damian menghela napas, menahan diri agar tidak terburu-buru, “Tidak, kau berbeda.”

Kening Elena berkerut samar, “Aku berbeda? Apa yang berbeda?”

“Kau masuk lewat jalur undanganku,” jawab Damian, “Aku punya posisi yang cocok untukmu. Mari kita bicarakan di atas.” Ia pun melangkah mendahului.

Elena menurunkan tangannya perlahan. Senyum licik merekah di bibirnya. Dengan gerakan santai, ia meraih tasnya lalu mengikuti Damian. Saat melewati meja resepsionis, ia sempat menunduk sopan, seperti hendak menunjukkan kedekatannya dengan atasan mereka. Bahkan dari sudut matanya, Elena bisa menangkap bisik-bisik kagum yang muncul di belakangnya. Tepat seperti yang ia inginkan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!