Damian membuka pintu ruangannya, dan membukanya dengan lebar, kemudian berdiri sedikit ke samping, memberi isyarat agar Elena melangkah lebih dulu.
Elena melangkah masuk dengan anggun, sedangkan matanya segera menyapu seluruh ruangan. Jendela-jendela besar yang mengelilingi dinding menampilkan pemandangan kota dari ketinggian, membuat ruangan terasa luas sekaligus megah. Sebuah meja kerja besar berdiri kokoh di sisi kiri, sementara area duduk dengan sofa kulit modern menambah kesan hangat di tengah kemewahan yang dingin.
Damian menutup pintu di belakang mereka, lalu berjalan tanpa tergesa menuju sofa.
“Mari,” ucap Damian sambil menunjuk sofa.
Elena mengangguk sopan, lalu mengambil tempat di salah satu sofa. Ia duduk dengan postur tegak, masih sesekali melirik sekeliling ruangan, seolah ingin merekam setiap detailnya. Damian kemudian duduk di sofa yang berhadapan dengannya, menyandarkan tubuh dengan tenang, sedangkan pandangannya fokus pada wanita di depannya.
“Aku tidak melihat sekretarismu,” ucap Elena sambil menatap Damian.
Damian mengangkat sudut bibirnya, sebuah senyum tipis yang penuh keyakinan. Ia mengangguk pelan.
“Benar, aku sudah lama tidak memilikinya. Semua kulakukan sendiri.”
Elena membelalakkan mata kecilnya, tampak takjub.
“Wah… Om memang hebat.”
“Tapi sekarang aku punya.”
Elena mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, terlihat penasaran.
“Om sudah mendapat sekretaris baru?”
Damian mengangguk sekali, lalu menatapnya lurus.
“Kau.”
Elena spontan menunjuk dirinya sendiri, “Aku?”
“Kau ingin pekerjaan, dan aku membutuhkan sekretaris. Bukankah akan saling menguntungkan?” jawab Damian tenang.
Elena berusaha menjaga wajahnya tetap datar, meski dalam hatinya ada gelombang kecil kebahagiaan yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Saling menguntungkan? Lebih tepatnya, aku yang diuntungkan,” batin Elena.
Ia kemudian menatap Damian lagi, “Aku baru saja lulus, tapi sudah menjadi sekretaris dari orang hebat. Kurasa itu—”
“Kau tidak percaya diri?” Damian menyela, suaranya terdengar menantang.
Elena menggeleng cepat, “Bukan begitu. Tapi… Om yakin padaku?”
Damian mengangguk mantap, “Bekerjalah untukku.”
Senyum malu-malu akhirnya muncul di wajah Elena, “Kalau begitu… aku menerima pekerjaan ini.”
“Kau boleh bekerja besok. Aku akan mengurus administrasi posisimu di sini.”
“Terima kasih, Om,” ucapnya.
Damian mengangguk kecil, “Aku juga berterima kasih, karena kemarin kau menolongku.”
Elena tersenyum tipis, menunduk sejenak, “Pertolongan kemarin bahkan tidak sebanding dengan apa yang Om tawarkan padaku hari ini.”
Suasana sejenak terasa hening, sampai akhirnya Elena berdiri dari sofa.
“Baiklah, aku akan pergi. Om bisa melanjutkan pekerjaan Om,” ucap Elena sambil merapikan tasnya.
Damian pun ikut berdiri, berniat mengantarnya keluar.
Namun, sebelum sempat melangkah pergi, tangannya kembali merogoh isi tas, mencari sesuatu. Gerakannya agak terburu, membuat Damian menatap heran.
“Apa yang kau cari?” tanyanya.
Elena menoleh, wajahnya tampak ragu, “Itu… kartu bus.”
“Kartu bus?” alis Damian menaut, “Untuk apa? Kau tidak membawa mobilmu?”
Elena menarik napas kasar, lalu menatap Damian dengan senyum kecut, “Sebenarnya aku malu mengatakannya.”
“Ada apa? Katakan saja.”
“Kemarin, setelah aku memutuskan untuk datang ke perusahaan Om, aku menjual mobilku untuk pindah ke apartemen. Kupikir, bisa menghemat waktu untuk bekerja di sini.”
Damian terdiam, wajahnya berubah menampakkan raut iba. Mendengar itu, ia merasa ada sesuatu yang menusuk hatinya.
“Kau seharusnya mengatakan hal itu padaku. Aku bisa membantumu,” ujarnya.
Elena langsung menggeleng pelan, “Kalau aku mengatakannya pada Om, apa Om akan memberikanku apartemen? Atas dasar apa Om melakukannya? Kita bahkan tidak sedekat itu.”
Damian tidak sanggup menjawab, hanya menatapnya dengan sorot mata yang sulit dibaca.
“Lagipula,” lanjut Elena pelan, “Aku juga khawatir tidak bisa mengganti bantuan Om di kemudian hari. Memberiku pekerjaan saja sudah cukup membuatku bersyukur.”
Damian menatap Elena cukup lama, seakan mencoba membaca apa yang sebenarnya ada di balik kata-katanya barusan. Ada sesuatu di sana, antara kemandirian dan kepahitan yang sengaja disembunyikan di balik senyuman tipisnya.
“Elena…” suara Damian terdengar lebih rendah dari biasanya, “Kau tidak perlu menanggung itu semua sendirian.”
Elena hanya menggeleng pelan, “Aku sudah membuat keputusan. Lagi pula, aku ingin membuktikan pada Om bahwa aku bisa mengurus diriku sendiri.”
Damian menautkan alisnya, rasa ingin melindungi wanita itu muncul begitu saja.
“Kalau begitu, biarkan aku setidaknya memastikan bahwa kau bisa pulang dengan nyaman hari ini. Aku akan mengantarmu.”
Elena tertawa singkat, kemudian mengangguk, “Om benar-benar membuatku tidak bisa menolak.”
Damian ikut tersenyum, lalu melangkah terlebih dahulu untuk membukakan pintu.
Sementara itu, Elena tersenyum puas, memancing pria itu memang sangat mudah.
Mereka berjalan beriringan, menuruni lantai demi lantai menggunakan lift. Tatapan orang-orang langsung tertuju pada keduanya. Pegawai yang biasanya menunduk sopan, kini melirik dengan rasa penasaran. Siapa wanita yang bisa berjalan sejajar dengan Damian, pria yang selalu menjaga jarak dari semua orang?
Bisikan-bisikan samar terdengar, tapi Elena justru menikmatinya. Ada kepuasan tersendiri saat semua mata menilai dirinya. Senyum tipis terukir di bibirnya, seolah sorotan itu adalah panggung kecil yang mendukung rencananya.
Tanpa menoleh pada siapapun, Damian tetap melangkah tenang hingga mencapai basement. Sesampainya di area parkir, suasana hening, hanya suara derap langkah mereka yang terdengar. Damian mengambil alih langkah, lalu mendahului Elena. Dengan sikap sopan tapi tegas, ia membukakan pintu depan mobilnya.
“Terima kasih,” ucap Elena lembut sambil masuk dan duduk tenang.
Damian menutup pintu, lalu memutari mobil. Begitu duduk di sisi kemudi, ia menyalakan mesin. Mobil perlahan bergerak, dan meninggalkan area itu.
Elena melirik ke arah Damian yang tengah fokus menatap jalanan di depan, “Sudah makan siang, Om?”
Damian menoleh sebentar, lalu menggeleng pelan, “Belum sempat. Kau ingin makan sesuatu?”
Elena berpura-pura berpikir sejenak, ujung bibirnya sedikit terangkat, “Mmm… sebenarnya aku jarang membeli makanan di luar. Aku lebih sering memasak sendiri.”
Alis Damian sedikit terangkat, terlihat tertarik, “Oh ya? Kupikir wanita sepertimu selalu menjauhi dapur.”
Elena terkekeh kecil, menoleh sambil menatapnya penuh arti, “Sepertiku?” Ia mengulang, lalu mengangkat dagu dengan percaya diri, “Aku berbeda dengan wanita lainnya, Om.”
Tatapan Elena begitu lekat, membuat Damian untuk sesaat kehilangan fokus. Ada sesuatu yang memikat dalam cara wanita itu menatapnya, tidak hanya sekadar tatapan biasa, tapi seolah menguji batas kendalinya. Ia berdehem, cepat-cepat mengalihkan pandangan kembali ke jalanan.
Elena tersenyum samar, puas melihat reaksi singkat itu. Ia pun ikut menghadap ke depan, namun tetap menjaga atmosfer percakapan agar tetap hidup.
“Om ingin merasakan masakanku?” tanyanya dengan nada tenang.
“Bolehkah?” Damian akhirnya bertanya, nada suaranya terdengar menyimpan rasa penasaran.
“Tentu saja boleh. Kebetulan pagi ini aku sudah mengisi kulkas, ada banyak bahan makanan di sana.”
Damian melirik sekilas, “Kau ternyata sudah mempersiapkan segalanya.”
Elena kembali menatapnya, kali ini dengan senyum yang lebih halus, namun penuh arti.
“Tentu saja,” ucap Elena singkat.
Damian menghentikan mobilnya di basement gedung apartemen Elena, lalu memarkirkannya dengan rapi. Mereka berdua keluar, berjalan berdampingan menuju lift. Suasana di antara mereka terasa tenang, meski Damian sesekali melirik Elena yang tampak percaya diri dengan langkahnya. Begitu lift berhenti di lantai unit Elena, mereka keluar.
Elena berhenti di depan pintu apartemennya, menunduk sebentar untuk memasukkan password pada panel digital. Damian dengan sikap sopannya, segera memalingkan wajah, tidak ingin terlihat seperti mengintip sesuatu yang sifatnya pribadi.
Suara khas kunci elektronik terdengar saat pintu terbuka. Elena mendorong pintu itu perlahan, lalu menoleh pada Damian dengan senyum kecil.
“Ayo, Om.”
Damian masih berdiri di tempat, tampak ragu, “Apa tidak apa-apa seorang pria dewasa berkunjung ke apartemen wanita?”
Elena masih memegang gagang pintu, matanya menatap Damian sambil terkekeh ringan, “Kita hanya makan, Om. Tidak melakukan hal lain. Apa yang Om pikirkan?”
Damian langsung tersentak oleh celetukan itu. Ia buru-buru berdehem, wajahnya menegang, “Tentu aku tidak memikirkan apa pun. Baiklah, ayo masuk.”
Elena tersenyum samar, ia melangkah masuk terlebih dahulu, lalu memberi ruang untuk Damian, seolah-olah apartemen itu sudah siap menyambut kedatangan pria itu.
Begitu pintu tertutup, Elena langsung menunduk, melepas high heels yang sejak tadi dipakainya, lalu menggantinya dengan sandal rumah sederhana yang sudah tertata rapi di rak kecil dekat pintu.
Ia menoleh ke arah Damian, “Om juga, silakan lepas sepatunya. Pakai sandal rumah saja.”
Damian mengangguk, lalu melepas sepatunya dengan gerakan tenang, dan mengenakan sandal rumah yang sudah disiapkan Elena.
Elena berjalan santai menuju sofa, meletakkan tasnya di salah satu sisi. Sedangkan Damian tidak langsung menyusul, ia tetap berdiri tegak, matanya menyapu setiap sudut ruang apartemen. Ruang tamu modern dengan sofa abu-abu panjang, televisi besar di dinding, hingga meja makan dengan lampu gantung di atasnya, semuanya ia amati dengan seksama.
Elena meliriknya sambil tersenyum tipis, menikmati bagaimana pria itu terlihat canggung saat berada di ruang pribadinya. Ia kemudian berbalik, melangkah ringan menuju dapur. Suara air mengalir terdengar ketika Elena mencuci tangannya di wastafel.
“Om ingin makan apa?” tanyanya sambil berdiri di depan kulkas, tangannya sudah siap menarik gagang pintu.
Damian menoleh pelan, “Terserah kau saja,” jawabnya singkat.
“Baiklah,” ucap Elena, lalu menarik pintu kulkas.
Udara dingin seketika menyeruak keluar, menyingkap aneka bahan makanan segar yang sudah ia persiapkan sejak pagi. Setelah berpikir sejenak, ia akhirnya memutuskan untuk membuat pasta creamy mushroom.
Tangannya terlihat lincah meraih beberapa bahan, seperti susu cair, keju parut, jamur kancing segar, dan smoked beef. Dari laci kulkas, ia juga mengambil seikat parsley untuk taburan terakhir.
Elena menutup pintu kulkas, lalu melirik Damian yang masih setia berdiri di tempatnya.
“Om... duduklah di sofa. Aku tidak nyaman kalau Om berdiri seperti patung di sana.”
“Ah, ya... baiklah.” Ia berdeham kecil lalu beranjak ke sofa, mendaratkan tubuhnya disana.
Elena tersenyum tipis sebelum kembali ke aktivitasnya. Ia menyalakan kompor, menuangkan sedikit minyak zaitun ke dalam wajan. Aroma harum segera tercium begitu potongan bawang putih ia tumis hingga kecokelatan. Setelah itu, jamur kancing yang sudah ia iris tipis dimasukkan, mengeluarkan aroma gurih yang khas.
Di sela-sela mengaduk tumisan, Elena menambahkan potongan smoked beef. Setelahnya, ia menuang susu cair dan menaburkan keju parut, membiarkan adonan itu meleleh perlahan, berubah menjadi saus putih kental.
Suara air mendidih dari panci di sampingnya menandakan spageti yang direbus sudah hampir matang. Dengan gerakan terlatih, Elena meniriskan pasta, lalu mencampurnya dengan saus creamy jamur yang masih mengepul hangat.
Dapur mungil itu kini terasa hidup, penuh dengan aroma masakan yang memanjakan indra penciuman. Elena sempat melirik ke arah sofa, Damian duduk tenang dengan mata yang mengikuti setiap gerakannya. Pria itu terlihat takjub dengan kemampuan memasaknya.
Setelah saus creamy mushroom benar-benar meresap pada pasta, Elena menurunkannya dari kompor. Dengan hati-hati ia menata spageti di atas dua piring putih lebar, memutarnya dengan garpu agar berbentuk gulungan rapi seperti sajian restoran. Saus sisa ia tuangkan perlahan di atas pasta, membiarkan cairan putih kental itu melapisi dengan lembut. Potongan jamur dan smoked beef ia tata sedemikian rupa, lalu ditaburi keju parut dan daun parsley cincang sebagai sentuhan terakhir.
Ia menaruh piring itu di meja makan, tepat di bawah cahaya lampu gantung yang membuat hidangan tampak semakin menggiurkan. Setelah memastikan semuanya tampak sempurna, Elena melepas apron tipis yang tadi ia pakai, lalu menatap Damian.
“Om,” panggil Elena lembut sambil berdiri di samping meja makan, “Makanannya sudah siap.”
Damian menoleh, menatap Elena sejenak, lalu mengangguk pelan dan bangkit dari duduknya. Ia menarik kursi perlahan, lalu duduk berhadapan dengan Elena. Meja makan terasa sederhana, tapi cara Elena menyajikan hidangan membuatnya seakan berada di restoran bintang lima. Ia bahkan terus mengamati hasil karya Elena di atas piring itu sampai tidak berkedip.
Elena tersenyum kecil, mendorong piring ke arah Damian, “Silakan dicoba, Om. Kuharap rasanya sesuai dengan selera Om.”
Damian menatap piring itu sejenak, lalu mengalihkan pandangannya pada Elena, “Kau bahkan menatanya seperti ini, seperti seorang chef profesional.”
Elena terkekeh, menyilangkan tangan di atas meja, “Aku suka memasak. Makanan bukan hanya soal rasa, tapi juga suasana. Kalau hanya asal kenyang, semua orang bisa melakukannya.”
Damian mengangguk setuju. Ia pun mengambil garpu, memutar pasta itu perlahan, lalu mencicipinya. Ia terdiam sejenak, membiarkan rasa creamy dan gurih jamur memenuhi lidahnya. Setelah menelan, Damian menatap Elena lebih lama.
Dan Elena dengan wajah berbinar menunggu reaksi Damian.
“Jujur saja, ini jauh lebih enak daripada yang kusangka,” ucap Damian.
Elena tersenyum puas, lalu mulai menikmati pasta di hadapannya, “Om sebaiknya percaya padaku mulai sekarang. Aku tidak pernah main-main dalam hal seperti ini.”
Damian menaruh garpu sejenak, menatap Elena dalam-dalam, “Kau membuatku sulit untuk tidak mempercayaimu.”
Elena mengangkat alisnya, lalu tersenyum tipis, “Bagus kalau begitu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments