Damian sampai di rumahnya tepat saat langit senja mulai menumpahkan warna jingga keemasan di balik pepohonan tinggi yang mengelilingi mansion itu. Mobil hitamnya berhenti di pelataran luas dengan air mancur megah di tengahnya. Sementara itu, beberapa mobil mewah lain juga terparkir dengan rapi.
Ia turun dengan langkah berwibawa, jasnya masih rapi meski hari hampir usai. Kepala pelayan rumahnya, Jane, sudah menunggu di depan pintu masuk. Wanita setengah baya itu menunduk hormat.
“Tuan, selamat datang.”
Damian hanya mengangguk tipis, sebelum akhirnya melangkah masuk. Aroma bunga dari taman bercampur dengan wangi kayu mahal dari interior rumah, seolah menegaskan betapa megahnya bangunan itu. Jane mengikuti dari belakang dalam diam, seakan sudah terbiasa dengan kebisuan tuannya.
Saat tiba di depan tangga, Damian berhenti. Matanya meneliti seisi rumah, mencari keberadaan seseorang.
“Anak itu belum pulang?” tanyanya dengan suara berat.
Jane menunduk dalam, “Belum, Tuan.”
Wajah Damian mengeras, rahangnya mengatup, “Ck. Sulit sekali mengaturnya!”
“Saya akan segera menghubungi Tuan Muda,” tawar Jane cepat.
Damian mengangkat tangan, “Tidak perlu. Aku akan memblokir semua kartunya. Dia akan pulang sendiri.”
Jane terdiam, menunduk patuh, “Baik, Tuan.”
Tanpa menunggu lagi, Damian menaiki tangga dengan langkah yang membawa beban pikiran berat.
Sementara itu, di tempat lain, Elena sedang duduk di depan cermin minimalis kamarnya. Rambut panjangnya yang masih basah ia keringkan perlahan dengan handuk putih. Gerakan tangannya tenang, namun dalam benaknya ia sibuk memikirkan langkah selanjutnya. Ingatannya kembali memutar saat pertemuannya dengan Damian siang tadi.
Tentu saja hal itu bukan karena kebetulan, karena memang ia sendiri yang merencanakan semuanya. Paku-paku di jalan, Theo yang berpura-pura menolong, dan kepercayaan diri yang terlatih. Semua itu adalah bagian dari skenario yang ia buat.
Elena menatap bayangannya sendiri di cermin, lalu menarik sudut bibirnya, membentuk senyum tipis. Damian Evans, pria itu ternyata benar-benar mudah percaya pada orang asing.
Kata-katanya siang tadi sebagian jujur dan sebagian lagi bohong. Ia tentu berbohong tentang wawancara kerja, karena ia sama sekali belum melamar pekerjaan di mana pun sejak lulus dari perguruan tinggi. Tapi soal keluarganya, itu nyata. Ia memang sendiri. Tidak ada ayah, tidak ada ibu, dan tidak ada pelukan keluarga yang menanti. Yang tersisa hanyalah rumah sederhana peninggalan kakeknya. Dan karena harta warisan kakeknya yang tidak seberapa itu, ia mampu bertahan sampai hari ini.
Elena menghela napas panjang. Dari balik tatapan matanya di cermin, terlihat jelas ada dua sosok dalam dirinya. Remaja rapuh yang dulu dihina, dan wanita baru yang kini siap memainkan perannya.
Elena berdiri dari kursi di depan meja rias, menatap pantulan dirinya sekali lagi, lalu beranjak. Kakinya melangkah tenang menyusuri koridor pendek hingga berhenti di depan sebuah pintu kayu polos di samping kamarnya. Di atas meja kecil tergeletak sebuah kunci perak, yang sudah berkali-kali ia genggam dalam ritual rahasia ini.
Dengan satu tarikan napas, ia memutarnya di lubang kunci. Pintu berderit pelan, dan aroma khas kertas, tinta, serta debu lama langsung menyergap indra penciumannya. Cahaya redup lampu meja menyapu ruangan yang tidak luas itu, memperlihatkan dinding penuh kertas, foto, peta, catatan, hingga potongan berita koran yang tersusun kacau namun terhubung benang merah.
Inilah markas kecilnya. Tempat rahasia di mana dendamnya berakar, tumbuh, dan dirawat. Semua informasi tentang keluarga Evans tersimpan di sini. Dari artikel mengenai kesuksesan Evans Corporation, foto Damian dalam berbagai acara bisnis, hingga potret Sean Evans setelah lulus SMA yang tersenyum angkuh di samping ayahnya. Senyum yang selalu menghantui tidur malam Elena.
Matanya berkilat dingin saat jarinya menyusuri garis benang merah yang menghubungkan foto Sean dengan Damian.
“Semuanya akan berjalan sesuai rencana,” gumamnya lirih.
Di ruangan inilah Elena kembali mengingat, sejak lulus SMA, ia sudah mulai mengumpulkan informasi. Dan sekarang, saat semua kepingan mulai terhubung, langkah pertama sudah ia jalankan siang tadi, yakni bertemu Damian Evans.
Beberapa hari sebelum pertemuan tadi, Elena sudah lebih dulu mendengar kabar. Sebagai lulusan bisnis, ia terbiasa mengikuti arus informasi di sekitarnya, apalagi terkait perkembangan kawasan tempat tinggalnya. Isu mengenai pembangunan sebuah pusat perbelanjaan modern mulai beredar, yang berhasil membuatnya penasaran. Ia mendatangi pemilik tanah di ujung jalan panjang itu, berpura-pura sebagai warga yang ingin tahu lebih banyak.
Dan di sanalah ia mendapat kepastian, bahwa Evans Corporation yang akan mengelolanya. Bahkan kata pemiliknya, CEO-nya sendiri yang akan datang hari ini untuk melakukan observasi.
Elena tentu tersenyum penuh kepuasan. Damian Evans merupakan nama yang sudah lama ada dalam catatannya. Ayah dari pria yang menghancurkan masa remajanya. Dan sekarang, tanpa ia perlu mengundang, targetnya datang sendiri ke tempatnya.
Ia bahkan sengaja menyiapkan diri, memilih pakaian kantor terbaik, merapikan rambut panjangnya, dan memastikan tampilan dirinya berkelas. Cukup untuk membuat pria berusia matang itu tidak melepaskan pandangan darinya. Semua hal disusun rapi, karena ia tahu, kesempatan ini terlalu berharga untuk dilewatkan.
Dan ketika akhirnya Damian benar-benar menawarinya kesempatan melamar pekerjaan di perusahaannya, Elena nyaris tidak bisa menahan senyum kemenangannya. Dunia benar-benar menyiapkan panggung untuknya.
Di hadapan papan penuh catatan itu, Elena berdiri lama. Matanya menatap lurus ke arah foto Sean yang terpampang di tengah, dengan senyum congkak khasnya. Hatinya kembali berdenyut getir, teringat luka-luka lama yang ia simpan rapat.
Ia tahu betul, kesombongan Sean lahir dari latar belakangnya. Dari kemewahan, perusahaan bernilai miliaran, dan dari nama besar ayahnya. Sean tidak akan pernah menjadi pengganggu yang arogan seandainya Damian bukan ayahnya. Cara Damian membesarkan anaknya, kekayaan yang diwariskan begitu saja, membuat Sean merasa dirinya kebal hukum, bebas merundung siapa pun tanpa konsekuensi.
Elena menarik napas panjang, lalu tersenyum tipis, senyum yang sama sekali tidak hangat.
“Hanya ayahmu sendiri yang bisa menghancurkan kecongkakanmu, Sean.”
Itulah ide gilanya. Balas dendam tidak akan ia tunjukan dengan melukai Sean secara langsung. Tidak. Itu terlalu mudah. Terlalu biasa. Ia ingin sesuatu yang lebih manis dan lebih menyakitkan.
Ia akan mendekati Damian. Membuat pria itu jatuh dalam pesonanya, hingga pria itu tidak bisa melepaskan diri. Lalu, di hadapan Sean, Elena akan berdiri bukan sebagai korban yang dulu ia rundung, melainkan hadir sebagai ibu tirinya. Wanita yang lebih berkuasa, yang bisa menundukkan kepala Sean dengan satu tatapan.
Sebuah senyum puas terbentuk di bibirnya, “Kau akan berlutut di kakiku, Sean. Dan itu akan menjadi kemenangan terindahku.”
Jemarinya kemudian meraih sebuah kartu nama yang sejak tadi tergeletak di sana. Ia menatapnya lama, seolah ingin mengukir nama itu dalam-dalam di pikirannya. Bibirnya melengkung, senyum tipis yang menyimpan terlalu banyak rencana.
Perlahan, ia mengambil pin logam, lalu menempelkan kartu itu tepat di papan dinding, di antara foto Sean yang tersenyum congkak dan artikel lama tentang kejayaan Evans Corporation. Kini, benang merah yang membentang di papan itu menemukan simpul barunya.
Matanya berkilat penuh tekad. Ia tahu, sejak hari ini, permainan sudah dimulai. Dan Damian Evans, tanpa sadar baru saja melangkah masuk ke dalam perangkap yang sudah ia siapkan dengan sabar selama bertahun-tahun.
......................
Bulan sudah menggantung di langit ketika Damian selesai membersihkan diri. Uap tipis masih menempel di kaca kamar mandi yang luas dan berlapis marmer. Ia berdiri di depan cermin besar, gerakan tangannya teratur saat menyikat gigi, kemudian membasuh wajah dengan air dingin.
Pantulan dirinya menatap balik, wajah tegas yang jarang ia beri waktu untuk beristirahat. Cahaya temaram dari lampu tersembunyi di balik cermin menyoroti garis rahangnya yang kaku, seolah mengingatkan betapa berat beban yang harus ia hadapi hari ini. Damian menarik napas panjang, mengusap wajah dengan handuk putih yang tergantung rapi di samping wastafel.
Tangannya menempel di permukaan kaca, mengusapnya perlahan untuk menyingkirkan kabut tipis dari uap kamar mandi. Pandangan matanya menatap wajahnya sendiri dengan jeli, menelusuri setiap garis yang terbentuk dari usia dan beban tanggung jawabnya selama ini. Namun pikirannya tidak bisa lepas dari satu bayangan.
Wanita itu.
Elena.
Tanpa sadar, bibirnya berdenyut menahan senyum yang tiba-tiba muncul. Sudah lama ia tidak merasakan ketertarikan seperti ini pada seorang wanita, dan rasanya aneh sekaligus menyenangkan. Bahkan Damian, yang biasanya rapi dengan logika dan kontrol diri, merasa bingung bagaimana mendeskripsikan perasaan yang tiba-tiba membuncah ini.
Ia menggeleng pelan, berusaha menghempas ingatan itu. Perasaan liar ini salah, wanita itu terlalu muda untuknya.
Dengan langkah mantap, Damian pun meninggalkan kamar mandi. Ia kemudian melangkah masuk ke walk in closet. Ruangan luas itu dipenuhi deretan jas, kemeja, dan sepatu yang tersusun rapi di rak kaca.
Tangan Damian bergerak untuk memilih pakaian santai untuk malam hari. Gerakannya tenang, seolah sudah terbiasa dengan rutinitas ini, sebelum akhirnya ia menarik satu set pakaian yang menurutnya paling nyaman untuk dikenakan.
Baru saja selesai mengenakan pakaiannya, ia dengan cepat menoleh saat mendengar suara pintu kamarnya yang dibuka secara paksa. Tentu ia tahu siapa pelakunya. Karena itu, ia keluar dengan langkah santai.
Begitu keluar, matanya langsung jatuh pada sosok Sean yang berdiri di dekat pintu dengan ekspresi penuh amarah. Rahang putranya mengeras, matanya menyala penuh tuduhan.
“Jadi ini yang kau lakukan, Ayah?” suara Sean terdengar tajam, nyaris seperti tudingan yang dilemparkan begitu saja tanpa kendali.
Damian tidak langsung menjawab. Ia hanya berdiri tegak, tatapannya tenang meski dalam hatinya ia sudah menduga ke arah mana pembicaraan ini akan berakhir.
“Kau masuk ke kamar ayahmu tanpa izin, hanya untuk melontarkan kalimat itu?”
“Izin?” Sean menatap ayahnya tajam, “Lalu kenapa Ayah tidak meminta izinku sebelum memblokir kartuku?!”
“Untuk apa aku harus meminta izinmu?” Damian balas dengan nada dingin, “Uang itu milikku. Aku berhak mengaturnya untukmu.”
Rahang Sean menegang, matanya terlihat penuh amarah, “Aku sudah dewasa, Ayah. Aku bisa mengatur semuanya sendiri, bahkan perusahaan sekalipun.”
Alis Damian menaut, jelas tidak percaya dengan omongan putranya, “Kau hanya tahu cara menghambur-hamburkan uang. Lalu sekarang berani bicara ingin mengurus perusahaan? Kau mau menjadikan perusahaanku apa dengan kelakuan seperti itu?”
“Ayah!”
“Apa?!”
Tangan Sean mengepal keras, menahan dorongan emosinya. Sementara Damian menatap lurus padanya.
“Kau tidak pulang selama dua hari. Tentu aku khawatir dengan keadaanmu. Karena itu aku memblokir kartumu, supaya kau ingat rumah. Aku masih ayahmu. Aku masih peduli padamu.”
Tatapan Sean meredup, tapi tidak juga luluh. Ia memilih berbalik, meninggalkan kamar dengan langkah kasar.
“Perbaiki kelakuanmu dulu, jika kau benar-benar ingin menggantikanku,” ucap Damian tajam sebelum pintu benar-benar tertutup.
Sepeninggal Sean, Damian terduduk di tepi ranjang, menahan napas berat. Dadanya terasa sesak, bukan karena lelah fisik, melainkan beban pikiran yang terus menumpuk. Putranya itu, semakin bertambah usia, semakin sulit diatur.
Apakah semua ini salahnya? Apakah kasih sayang yang ia berikan justru melahirkan sifat manja dan arogan? Atau justru ketegasannya selama ini kurang? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, menghantam sisi rapuh yang jarang ia tunjukkan pada siapa pun.
Damian menghela napas panjang, lalu bangkit. Ia berjalan ke arah sofa di dekat jendela, lalu menyalakan laptop, mencoba menyingkirkan keruwetan pikirannya. Malam ini ia harus menyiapkan hasil observasi untuk rapat dewan direksi esok hari. Tanggung jawab yang tidak bisa ia tinggalkan meski hatinya remuk oleh masalah pribadi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments