Bab 5

Moon yang melihat perubahan sikap Ben, tak kuasa menahan rasa heran di dalam hati.

"Aneh sekali… minuman ini kadar alkoholnya sangat tinggi. Biasanya, Ben pasti melarang Viona menyentuh setetes pun. Tapi kenapa malam ini dia justru memaksa Viona menghabiskannya? Enam gelas pula… Apa sebenarnya yang dia pikirkan?" batin Moon, menatap Ben penuh tanda tanya.

"Ben, jangan bercanda," suara Viona dengan nada lembut, mencoba membela diri. "Kau tahu aku tidak bisa menyentuh minuman keras. Karena itu aku meminta Moon ikut denganku."

Ben menoleh, tatapannya dingin dan penuh tekanan.

"Menemani klien bukan tugas seorang sekretaris kecil," ujarnya tegas. "Kau adalah manajer perusahaan, urusan proyek ada di tanganmu. Sudah seharusnya kau yang melayani Tuan Yin. Minumlah, agar beliau bisa segera pulang dan beristirahat."

Viona menggertakkan giginya, wajahnya memucat. Ucapannya ditelan mentah-mentah tanpa bisa membantah.

"Justin," Ben beralih, suaranya berubah dingin seperti perintah militer. "Antar Sekretaris Moon pulang. Di sini tidak ada urusannya lagi. Setelah semua selesai, jemput Viona, lalu antar dia pulang."

"Baik, Tuan!" jawab Justin cepat.

Moon terkejut, tapi sebelum sempat berkata apa-apa, Justin sudah menggiringnya keluar ruangan. Ia hanya bisa menoleh sekali lagi, melihat sekilas tatapan Ben yang penuh rahasia.

Ben menatap kepergian gadis itu, matanya menyipit, suaranya hanya bergema dalam batin.

"Moon, aku akan melindungimu dengan caraku sendiri. Aku tidak akan lagi membiarkanmu disakiti oleh wanita licik itu. Kau tidak tahu, semua ini demi dirimu."

***

Sementara itu, mobil melaju di jalanan malam. Moon duduk di kursi belakang, menatap kosong keluar jendela, lampu kota berkelebat seperti bayangan yang tak berarti.

"Moon, di mana alamatmu?" tanya Justin dari kursi kemudi, memecah keheningan.

Moon menarik napas dalam-dalam. "Justin, turunkan saja aku di terminal. Aku bisa naik bus. Sebentar lagi Viona akan pulang, kau sebaiknya cepat kembali menjemputnya."

"Tidak bisa, Moon," sahut Justin cepat. "Bos sudah perintahkan aku mengantar kau pulang dengan selamat."

Moon menggeleng pelan, senyumnya getir. "Tidak apa-apa. Aku memang ingin ke rumah sakit. Jadi turunkan saja aku di terminal, aku bisa pergi sendiri. Lagi pula… kalau terjadi sesuatu pada Viona, Direktur pasti akan marah dan menyalahkanku lagi. Lebih baik kau kembali cepat, jangan sampai terlambat menjemputnya."

Justin menoleh sekilas melalui kaca spion, menatap wajah Moon yang tetap tenang namun jelas menyimpan luka. Ia akhirnya menghela napas berat.

"Baiklah, kalau itu maumu"

Dalam hati, Justin bergumam getir. "Moon benar-benar sudah trauma… "Dia terlalu sering dipersalahkan oleh Tuan, sementara Viona selalu pandai berpura-pura dan mengambil hati. Tak heran Bos lebih sering memihaknya…"

Moon turun di dekat terminal, langkahnya pelan. Angin malam menyambutnya, dingin menusuk. Ia menengadah sebentar ke langit, lalu menghela napas panjang.

"Suasana hati Ben suka berubah… tidak ada yang tahu apa sebenarnya isi hatinya. Lebih baik aku memilih jalan ini, daripada besok di perusahaan aku kembali disalahkan tanpa sebab."

Ia pun melangkah seorang diri, membiarkan bayangan tubuhnya memanjang di bawah cahaya lampu jalan.

Dua jam kemudian.

Aroma alkohol pekat memenuhi ruangan VIP. Gelas-gelas kosong berjejer di atas meja, bercampur dengan sisa makanan yang sudah tak tersentuh lagi. Viona terkulai di kursi empuk, wajahnya merah padam, matanya sayu, mulutnya menggumam tidak jelas. Nafasnya berat, tanda tubuhnya sudah dikuasai oleh minuman keras.

Sementara itu, Ben berdiri tak jauh darinya, tubuhnya tegak, matanya menatap tajam penuh kebencian. Cahaya lampu redup membuat bayangan wajahnya semakin dingin dan menusuk.

"Viona Lu… di kehidupan ini aku akan memastikan kau merasakan semua yang pernah aku dan Moon rasakan. Aku tidak akan membunuhmu dengan cepat. Aku akan menyiksamu… perlahan. Biarkan setiap hari menjadi neraka bagimu." batin Ben, rahangnya mengeras menahan emosi.

Ia menghela napas panjang, lalu berbalik langkah. Sepatu kulitnya bergema di lantai marmer ketika ia melangkah keluar ruangan.

Di luar, Justin sudah menunggu dengan gelisah. Begitu melihat Ben keluar, ia segera berdiri tegap.

"Hubungi saja supirnya," ucap Ben dingin tanpa menoleh. "Biar dia yang menjemput Viona."

"Tuan…" Justin memberanikan diri bicara, suaranya ragu. "Nona Viona sudah mabuk berat. Apakah tidak masalah meninggalkan dia seorang diri di dalam?"

Ben berhenti sejenak, menoleh sekilas dengan tatapan tajam yang membuat Justin terdiam.

"Wanita seperti dia… kalau terjadi sesuatu, itu karena keinginannya sendiri. Tidak ada hubungannya denganku." Suaranya datar, penuh ketidakpedulian. Ia lalu kembali melangkah menyusuri koridor restoran yang sepi.

"Apakah kau sudah mengantar Moon pulang ke rumahnya?" tanya Ben.

"Moon meminta saya menurunkan dia di terminal. Katanya ingin ke rumah sakit. Dia juga bilang… lebih baik saya segera kembali untuk menjemput Nona Viona. Karena… kalau terjadi sesuatu pada Nona Viona, Tuan pasti akan menyalahkan dia lagi."

Sejenak, keheningan menggantung di udara. Ben memejamkan mata, wajahnya berubah sendu, meski hanya sesaat. Tangannya mengepal erat.

"Moon… kau sangat waspada padaku. Di kehidupan sebelumnya, aku terlalu keras padamu. Aku buta, terlalu percaya pada Viona, dan selalu menyalahkanmu setiap kali dia mengadu. Dan sekarang, semua itu meninggalkan luka yang membuatmu tidak percaya lagi kepadaku…"

"Justin," ucapnya pelan tapi tegas. "Cari tahu kondisi nenek Moon. Periksa semua biaya pengobatannya. Aku tidak ingin ada yang terlewat."

Justin menatap bosnya dengan heran. "Baik, Tuan," jawabnya singkat, meski kepalanya penuh pertanyaan.

Namun Ben belum selesai. Ia menoleh, menatap Justin dengan mata tajam penuh makna.

"Ada lagi. Cari tahu kondisi kesehatan Moon. Dia mengalami penyakit lambung kronis. Temui dokter yang menanganinya. Aku ingin laporan lengkap."

Justin hampir tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Kenapa tiba-tiba Tuan begitu peduli pada Moon? Bukankah selama ini beliau justru terlihat membencinya?" batinnya, tetapi ia tahu tidak boleh bertanya lebih jauh.

"Baik, Tuan," jawabnya lagi, menunduk penuh hormat, meski rasa penasaran menggerogoti pikirannya.

***

Rumah sakit malam itu terasa sunyi. Hanya terdengar suara monitor detak jantung yang berbunyi pelan, berpadu dengan bau obat-obatan yang menusuk. Lampu redup membuat suasana kamar rawat semakin muram.

Moon duduk di samping ranjang, jemarinya menggenggam tangan neneknya yang lemah. Kulit keriput itu dingin, seakan kehilangan tenaga untuk sekadar bergerak. Tatapan Moon penuh kesedihan, matanya sembab karena menahan tangis yang tak pernah ia tunjukkan pada siapapun.

"Nenek…" suaranya lirih, bergetar. "Cepat bangun dan lihat cucumu di sini. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padaku kalau nenek pergi meninggalkan aku." Air mata jatuh membasahi punggung tangan sang nenek, tapi wanita tua itu tetap terlelap.

Moon menunduk, bahunya berguncang halus. Dalam hatinya, ia bergumam penuh kepasrahan.

"Keinginan nenek hanya ingin melihatku menikah. Mungkin… lebih baik aku terima saja perjodohan yang ditentukan Bibi Sanny. Bibi Sanny selalu bilang, ini demi kebaikanku, demi masa depan. Perasaan bukan hal utama lagi… yang utama adalah membuat nenek tenang, membuatnya tersenyum sekali saja sebelum dia pergi."

Tangannya gemetar saat meraih ponsel dari dalam tas. Ia menatap layar sebentar, lalu menekan nomor yang sudah tersimpan.

Nada sambung terdengar, membuat jantung Moon berdebar tak karuan. Hingga suara hangat seorang wanita menjawab dari seberang.

"Halo, Moon…" suara itu penuh kelembutan.

Moon menggigit bibir, berusaha tegar. "Bibi Sanny…" ucapnya dengan lirih, sebelum menarik napas dalam. "Aku… aku terima perjodohan yang Bibi atur."

Suasana hening sejenak. Dari seberang, suara Bibi Sanny terdengar sedikit terkejut, tapi juga penuh rasa puas.

"Moon… apa kau benar-benar sudah memikirkan baik-baik?" tanya Bibi Sanny lembut.

Moon menatap wajah neneknya yang pucat, lalu mengangguk meski tahu Bibi tidak bisa melihatnya. "Iya, Bi. Aku sudah memikirkan semuanya. Untuk saat ini… kebahagiaan nenek lebih penting dari perasaanku sendiri."

"Baiklah, kalau begitu Bibi akan atur waktunya," jawab Sanny yang di seberang sana.

"Moon, sudah waktunya kau melupakan dia, kau mencintainya selama delapan tahun, dan dia membencimu selama delapan tahun. Cintamu tidak berharga baginya. Untuk saat ini nenek yang paling penting," gumam Moon

Terpopuler

Comments

merry

merry

ben hntiknn tu perjodohan moon psti gk beress tu bibi yaa,, hrsy bibi bntu rawat nenek yaa moon jugaa bukn dsruh nikah

2025-09-29

0

Bu Kus

Bu Kus

moon semoga kamu dapat ke bahagian moon

2025-09-29

0

Lydia

Lydia

Lanjut Author. Terima Kasih.

2025-09-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!