Bima mendengar suara 'Bip… bip… bip…' sangat kencang seperti hukuman dari Tuhan, tenggorokan nya terasa tercekat, seperti habis berlari di tengah gurun. Dan apa yang ada hidung nya seperti sumpalan kapas untuk orang mati saja.
"Apa mati!" ucap Bima berusaha untuk bangun dari mimpinya.
Saat ini dia memang telah membuka matanya namun dia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Dia melihat sekeliling nya.
Putih, dan tirai berwarna biru, "Mungkin kah di bawa oleh tetangga kostan ku, karena melihat aku pingsan. Tapi, bagaimana bisa, kamar ku terkunci."
"Ah… mungkin saja dia kebetulan memanggil ku, dan aku tidak menyahut jadi langsung mendobrak pintunya, tapi kenapa tubuh ku tidak bergerak padahal aku hanya pingsan," ucap Bima dalam hati.
Tiba-tiba seorang perawat dengan APD lengkap masuk kedalam ruangan itu, Bima melirik sedikit diantara kelopak matanya, dia tidak bisa melihat wajah perawat itu dan hanya melihat keningnya saja.
"Pasien bangun!" teriak perawat itu berlari keluar dengan panik.
"Ah, yang benar saja, aku hanya pingsan, bukan baru lepas dari maut, Sus," gumam Bima dalam hati.
Tidak berselang lama seorang dokter masuk dan memeriksa monitor yang ada di samping kiri Bima, pria itu ikut melirik kemana dokter itu menatap. Bima melihat nya seperti alat penunjang hidup seperti di film-film.
"Hah… apakah benar aku baru saja lepas dari maut? yang benar saja," fikir Bima dalam hati.
"Devano… Devano…, apakah kamu mendengar om?" ucap Dokter Galih membuka kelopak mata Bima dan menyenterinya sejenak.
"Hah… Devano, om, siapa dia, siapa kamu? aku tidak ke kenal kamu, dok? bukan kah status kita hanya pasien dan tenaga medis," gumam Bima dalam hati sembari mengerjapkan matanya.
"Bagus, tanda vital bagus, kita bisa melepaskan monitor jantung dan menganti ventilator dengan nasal kanula," ujar dokter itu bersemangat memerintah para perawat nya.
"Woi, sibuk-sibuk apaan nih? bisa nggak jawab pertanyaan ku," kesal Bima dalam hati.
Matanya masih berkeliaran kesana kemari melihat dokter Galih dan para perawat yang sedang sibuk mengurusnya.
Beberapa jam kemudian dia benar-benar tersedar namun diri masih linglung. Yang diingat dia sedang mengerjakan skripsi dengan sistem kebut semalam untuk menemui dosen di esok hari.
Dia masih ingat betul seperti apa Dosen itu mengancamnya, "Jika kamu tidak menyerahkan file skripsi mu, besok. Jangan harap kamu bisa lulus tahun ini, karena ibu punya kegiatan di luar kota selama sebulan,"
"Baik bu, saya akan menyerahkan nya besok," jawab Bima lesu.
"Bagus, ingat jangan lebih dari jam sepuluh karena ibu sudah tidak ada di kampus," ujar Anita menujuk Bima dengan sinis.
Setelah itu Bima langsung mengerjakan skripsi nya sesuai dengan keinginan Ibu Anita. Namun, tiba-tiba mata berkunang-kunang, kemudian dia menyentuh hidung secara perlahan dan merasakan darah segar keluar dari sana.
Tiba-tiba saja dia terjatuh dari kursi belajar nya, lalu semua mengelap dan Bima tidak bisa merasakan apa-apa lagi.
Bima menyentuh kepalanya kini seperti yang baru saja terjadi sangat konyol sekali, "Lalu, bagaimana dengan ibu Anita, jangan-jangan dia sudah pergi, Sial… jam berapa sekarang?"
Bima kemudian menoleh pada tangannya, terlihat kecil dan kurus. Tidak seperti tangannya yang berotot dan terlihat urat-urat di punggung tangan nya.
"Hem… ada apa dengan semua ini? ini seperti tangan ku waktu SMP, ketika aku belum bekerja terlalu keras untuk menghidupi diri ku dan membiayai uang sekolah ku selama ini," gumam Bima dalam hati, dia makin penasaran apa yang terjadi pada dirinya.
"Devano…" panggil seorang perawat masuk keruangan nya lagi.
"Devano lagi… Au," geram Bima.
Dia lupa di tangan terdapat infus yang menancap. Dia tak sengaja menekan infus itu karena cengkeraman tangan nya, yang membuat Bima meringis kesakitan.
"Ini sus…"
"Devano, siapa dia Devano?" tanya Bima dengan sinis ketika perawat itu mendatangi Bima, membuat perawat itu tercekat.
Dan berkata dalam hati, "Adik ini gimana sih, nama nya kan Devano, apa aku salah bicara? mungkin dia tidak suka di panggil dengan akrab,"
"Kalau bagitu, Adik Pasien," ucap perawat itu tersenyum simpul.
"Adik?" ujar Bima mengerutkan jidatnya, dan menatap dengan sinis.
Bagaimana bisa pria berumur duapuluh dua tahun di panggil Adik, harusnya perawat itu memanggilnya, 'kakak atau mas'.
"Hish… apa lagi salah ku sekarang, memang ya anak-anak jaman sekarang? suka tidak sopan," gerutu perawat itu dalam hati meskipun dia masih tersenyum pada Bima.
Bima lebih bingung lagi dengan keadaan nya, kepala terasa pening memikirkan semua hal yang tak jelas di kepalanya hingga dia mencengkram kepala kencang.
Beberapa saat kemudian setelah memikirkan sedikit kemungkinan yang tidak pasti, akhirnya Bima memutuskan untuk melihat dirinya.
"Sus, apakah aku bisa meminjam cermin… atau kamera HP mu," pinta Bima pada perawat yang sedang sibuk mengeceknya, perawat itu tidak ingin berbicara lagi dengan Bima, karena menurut nya Bima terlihat aneh.
"Hem…," Perawat itu menoleh dengan bingung kenapa Bima ingin meminjam hal seperti itu.
Tapi detik berikut perawat itu mengingat mungkin saja Bima ingin menghubungi keluarga dan mengatakan bahwa dia baik-baik saja.
"Pasien, kamu ingin menghubungi keluarga mu ya?" tanya perawat itu memberikan ponselnya yang sudah dia buka kan kata sandinya.
"Bukan sus…" ucap Bima membuka camera ponsel itu.
Bima kaget setelah kamera ponsel itu menampakkan wajahnya, Bima menyentuh wajah itu. Wajah itu tidak sama seperti dengan wajahnya yang selalu dia lihat di cermin kostan nya.
Wajah yang dia sentuh, bersih tapi kurus dan mata cengkung serta bibir pucat seperti akan mati dengan seketika. Beda dengan dirinya, yang mungkin juga tidak jauh buruknya dengan wajah yang dia sentuh saat ini, tapi dia tidak terlalu menyedihkan seperti anak ini.
"Sial… jangan-jangan aku sudah mati dan masuk ketubuh ini, seperti cerita fantasi itu," ujar Bima memegang kening nya, sembari mengingat cerita fantasi timur yang sahabat karibnya sering baca.
Tapi, detik berikut Bima tersenyum, setidak nya dia bisa kembali menjalani masa muda yang dulu tidak pernah dia raih, kesenangan remaja, dan memiliki geng.
Karena dulu, dia menghabiskan waktunya untuk belajar dan mencari uang dengan kerja sampingan selepas sekolah, sebab ibunya sangat mengharapkan Bima menjadi sarjana dan orang yang sukses. Tapi, apa mau di kata, sebelum dia lulus, Bima sudah meninggal dengan cara yang konyol.
"Aku akan menikmati masa remaja ku, kemudian memapankan hidup ku agar tidak menderita seperti dulu," gumam Bima dalam hati.
"Ini Sus, HP nya," ucap Bima tersenyum bahagia, lalu mengembalikan ponsel perawat itu.
Perawat itu mengerutkan kening melihat Bima senyum-senyum sendiri, "Jangan-jangan adik ini sakit lagi, aku harus memeriksa nya," fikir Perawat itu dalam hati.
"Pasien, apakah ada yang tidak nyaman?" tanya perawat itu bingung.
"O ya, siapa nama ku tadi?"
"Devano…" ucap perawat itu ragu-ragu.
"Ya panggil saja aku begitu, hahaha…" kekeh Bima hingga bahunya bergetar dan hampir saja selang oksigen nya copot.
"Mungkin adik ini butuh amoxicillin," gumam perawat itu dalam hati, menatap Bima dengan sinis karena dia terus tertawa tidak jelas.
Bima… Ah, bukan sekarang dia Devano, kini terlihat sedang duduk di bangku taman dengan satu kakinya di atas bangku taman itu sembari melihat pemandangan taman. Tangan kanannya sibuk menjilati es krim, tidak memperdulikan infus di tangannya itu.
Dia baru saja kabur dari pengawasan para perawat karena dia sangat bosan karena terus berbaring di ranjang persakitan itu.
"Selama aku di sini, tidak keluarga lain yang datang. Yang datang hanya dokter yang selalu mengatakan kata Om pada ku," gumam Devano memandang es krim yang baru saja dia jilat, dan mengayunkan nya kearah udara.
"Ada yang tidak beres dengan keluarga ini, atau jangan-jangan laki-laki ini yatim piatu lagi. Ah… tapi om anak ini kan dokter tidak mungkin aku miskin berarti, kuliah kedokteran kan sangat mahal," fikir Devano lagi.
"Hey… anak muda boleh kah aku duduk di sebelah sini," ujar seorang pria membuyarkan lamunan Devano.
Devano kemudian menoleh pada pria tersebut yang nampak telah menjalani lika-liku hidup yang sangat keras, lansia itu terlihat tersenyum pada Devano dengan kumis dan rambut yang memutih.
"Silahkan saja pak," ucap Devano mengeser tubuh nya dan mempersilahkan pria itu duduk.
Baru saja pria itu duduk di samping Devano, tiba-tiba ia menyeletuk, "Dek, kamu sakit ya? sakit apa? kok, keliaran disini?"
"Hem…baru saja duduk di sebelah ku sudah banyak tanya," gumam Devano menarik sudut bibirnya seperti mengomel.
"Aku hanya bosan pak, hanya ingin mencari udara segar," sahut Devano rahang menegang, lalu Devano malingkan wajahnya dengan kesal.
"Hahaha… kalau begitu kamu akan cepat keluar dari rumah sakit ini, bisa-bisa nya kamu kabur dari perawat, hahaha…" ucap pria itu terkekeh sembari menepuk lututnya kencang.
Devano menatap dengan sinis, "Ya ampun kek, ingat umur bagaimana kalau organ dalam mu meluruh semua, siapa yang tanggung jawab,"
Meskipun Devano menatap sinis pada pria itu, namun ada sedikit perasaan suka di dalamnya seperti bawaan tubuh ini masih sedikit melekat, laki-laki yang dulu ada di tubuh nya, lembut juga dan selalu sabar.
"Benarkah… mungkin aku juga bisa mengetahui lebih banyak identitas anak ini dulu nya," bisik Devano yang masih terdengar oleh pria itu.
"Hah…ya lihat saja, hari ini atau besok kamu pasti akan di usir dari rumah sakit," jawab pria itu kembali mengelus lututnya, dan kini pandangan nya mengarah ketempat lagi seolah pembicaraan mereka sudah selesai. Begitupun dengan Devano juga memalingkan wajahnya.
"Devano!" pekik seseorang membuat Devano menoleh.
Devano lalu menoleh pada suara lantang itu, matanya langsung membulat. Setelah melihat seseorang dengan seragam dokter dan stetoskop terselempang di bahunya berjalan cepat dengan seorang perawat di belakang nya.
"Ya ampun, cepat sekali ketahuannya," gerutu Devano kesal, dan ingin beranjak dari sana namun infus di tangannya menghalangi gerakkan nya.
"Sial… aku tidak bisa lari,"
Devano menoleh pada dokter Galih yang ternyata sudah tepat di belakang nya, dan dia tidak bisa melarikan dirinya lagi.
"Devano, kamu mau lari lagi, ayo pulang, keliaran kemana-mana?" gerutu dokter Galih.
"Hish… aku cuma jalan-jalan sebentar, ” sahutnya lantang, mata mereka saling menatap dengan percikan api di dalam nya.
"Bawa aja, dok. Dia juga makan es krim tadi, hehehe…" sambung pria itu mengompori keponakan dan paman itu.
Devano menatap nyalang pada pria itu, "Kakek ini… sisa-sisa saja aku berbaik hati tadi, tenyata aku di khianati,"
Devano kemudian menoleh pada Galih yang kini menyipitkan matanya, "Kamu makan es krim?"
"Iya kan nggak masalah, itu kan makanan cair juga, bukan makanan padat, hehehe…" kekeh Devano sembari mengaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Aish… kamu ini," geram Galih kemudian menarik tangan Devano dengan kasar, hingga Devano ter seok-seok memegangi infusnya.
Devano menoleh sinis pada pria tadi, "Awas saja kau kakek tua,"
Tidak berselang lama Devano akhirnya sampai di ruangan inapnya. Terlihat Galih membantu dengan telaten menaikkan Devano ke atas ranjangnya.
Setelah Devano sudah tidur di ranjang nya, dia menatap kearah Galih yang kini memegangi dagunya dengan tatapan kosong, membuat Devano penasaran akan reaksi pria itu sekarang, mungkin kah dia marah atau tidak padanya.
"Hem… anak ini biasa nya tidak pernah melarikkan diri, dia tenang, pendiam dan penurut," gumam Galih dalam hati memikirkan apa yang terjadi pada keponakan itu.
"Kenapa kamu berkeliaran di luar?" tanya Galih sembari memeriksa tubuh Devano dengan stetoskop nya, takut ada hal yang tidak dia harapkan.
"Aku hanya bosan, aku mau pulang," jawab Devano memalingkan wajahnya.
"Serius, kamu mau pulang, bisanya kamu senang berada di sini," tutur Galih karena Devano sering tidak nyaman di rumah malah selalu mendatangi nya rumah sakit, dan karena itulah Galih mengetahui penyakit keponakan nya.
"Ah… ranjang rumah sakit meskipun nyaman tidak seenak ranjang di rumah, apa lagi di ikat seperti hewan peliharaan, seperti ini," protes Devano dengan mata berkerut.
"Hem… kamu bisa berkata seperti itu sekarang, lihat selang infus mu berdarah, karena kamu bergerak terus," omel Galih sembari memperlihatkan selang infus Devano yang berisi darah segar itu.
"Untung aku nggak bungee jumping tadi," sindir Devano memutar bola matanya liar.
"Apa?!" sentak Galih yang mengagetkan Devano.
Devano menatap sinis pada Galih, dan Galih terlihat fokus pada infus yang berada di tangan Devano. Tidak ingin terus berdebat dengan keponakan itu, karena pekerjaan masih menumpuk dan bukan hanya mengurusi Devano.
"Apa aku panggil saja psikiater, mungkin Devano butuh penaganan jiwa," gumam Galih sembari membersihkan cairan darah yang menempel di dalam selang infus Devano.
Selepas itu tidak ada lagi perdebatan di antara mereka Galih pun pergi begitu saja bersama para perawat yang menemani nya tadi.
"Hem… sewot amet," ujar Devano melirik pada Galih yang seperti amat kesal pada tindakan keponakan.
Devano kemudian menoleh pada nakas yang berada di sebelah. Ada sebuah ponsel yang selama ini dia tidak sadari berada di sebelah sana.
Devano kemudian mengambil nya, "Wih, ini pasti mahal ya, Icha," gumam nya membolak-balikan iphone sebelas di tangannya itu. Namun ketika dia melihat layarnya banyak goresan di atas ponsel itu.
"Ah… nggak papa yang penting HP gue iphone, apa lo apa? miskin, miskin, hahaha… uhuk…uhuk…" kekeh Devano hingga dia terbatuk-batuk di buatnya karena begitu senang, mungkin kah orang yang dia masuki anak orang kaya.
"Ku pikiran nanti, sekarang aku mau lihat apa? ehm… cara menjadi anak nakal," ujar Devano kemudian membuka layar ponsel itu, namun beberapa detik layar menyala…
"Hah… apa-apa nih HP, kedut-kedut kayak mata orang bintitan," Desah Devano begitu kesal karena tenyata ponsel itu sudah sedikit retak LCD nya sehingga terus berdebar-debar membuat matanya sakit.
"Emang nggak ada yang beres…" gerutu Devano.
Benar saja perkataan kakek tua yang membongkar masalah es krim kemarin. Devano sudah boleh pulang sekarang, laki-laki itu terlihat mengekori Galih sembari mencengkram tangan kanannya yang mendapat infus kemudian memutarnya, membuat Galih sedari tadi melihat nya risih.
"Apa yang sekarang kamu lakukan? buat om pusing aja, kamu benar-benar berfikir seperti kucing yang di tali lehernya begitu," omel Galih menatap kearah keponakan dengan sinis.
"Oke, aku berhenti sekarang…"ujar Devano melepaskan tangannya, memutar bola mata jengah dan sedikit dumelan di bibirnya.
Beberapa saat kemudian mereka sampai di parkiran rumah sakit, Galih nampak membuka bagasi dan memasukkan tas ransel di bagasi itu.
"Ey… itu kan cuma tas ransel, pea banget dah," gumam Devano dalam hati.
Mesikpun mata Devano menyipit seperti tidak suka dengan cara Galih, karena tas itu bisa saja di taruh di bawah kakinya. Namun, dia tidak mau protes.
Detik berikutnya, terlihat Galih menuju kearah pintu ruang kemudi dan mendongak pada Devano yang masih melamun di belakang mobilnya.
"Devano, ayo masuk," panggil Galih.
Setelah mendengar itu Devano menoleh pada Galih, lalu dengan cepat menuju kearah kursi penumpang dan memasuki mobil itu.
Galih kemudian melanjutkan perjalanan mereka menuju rumah Devano.
Devano mencoba duduk dengan tenang melihat kearah jalan yang luas di hadapan nya, dia yang tidak pernah duduk di depan saat menaiki mobil orang lain sangat menikmati perjalanan bersama Galih.
Dia selalu duduk di pojok paling belakang karena ekonomi keluarganya tergolong miskin, sehingga naik mobil saja sudah sebuah rasa syukur.
"Devano…" toleh Galih pada keponakan nya.
"Hem…"
"Kalau kamu merasa tidak senang di rumah, tidak papa temui om, om…" ucap Galih tercegat karena Devano tiba-tiba mengangkat tangannya.
Devano menutup mata nya dan memotong pembicaraan Galih, "Tenang, semua aman terkendali,"
Galih menggelengkan kepalanya, " Semenjak kamu masuk rumah sakit, dan koma. Kamu keliatan aneh, Dev," pungkas Galih.
"Bukan aneh, hanya menyerap semuanya, dengan begitu aku tidak akan merasa terbebani," ucap Devano mengibaskan tangannya kearah wajahnya, dan menarik nafasnya, kemudian menghembuskan nya keluar.
Galih makin menggelengkan kepalanya kencang, dan kembali fokus ke jalanan hingga sampai lah mereka di rumah yang sedang mereka di tuju.
Devano menoleh pada rumah tempat Galih berhenti, besar dan halamannya luas, garasinya pun tinggi bahkan ada pos satpam di sisi kanan rumah.
"Waw, fantastis, mungkin aku bisa mengajak teman-teman masa kecil ku bermain futsal di halaman ini, rumahnya juga besar, di dalam ada berapa kamar ya? ah… jangan sama kan dengan rumah ku lah, ini sangat luar biasa," gumam Devano dalam hati sembari menyentuh dagunya.
Devano lalu menoleh pada Galih, "Om, kenapa kita nggak masuk, apa jangan-jangan salah rumah ya?" tanya Devano karena mobil mereka masih di luar pagar rumah itu.
"Om, turun dulu dan mendatangi satpam," ujar Galih turun dari mobilnya.
Devano mengaruk kepala nya tidak gatal, "Bukannya di film-film, kalau majikan pulang di bukakan pagarnya, dan majikannya tinggal masuk," ujar Devano.
Tidak berselang lama Galih kembali, terlihat satpam itu membukakan pintu dengan wajah yang tidak bersahabat, satpam itu nampak ketus.
Membuat mata Devano terus melirik kearah satpam itu hingga mobil mereka terparkir di halaman rumah itu.
"Di rumah ini ada apa sih sebenarnya, anak ini juga, pria di sebelah ku ini juga," gumam Devano masih janggal.
Devano kemudian turun dari mobil itu, terlihat Galih menghampiri dirinya sembari memegangi tas milik Devano.
"Dev, ayo masuk," ajak Galih yang terlihat lebih dulu, Devano kemudian mengikuti nya dari belakang.
Setelah sampai di depan pintu rumah itu, lalu pintu itu di ketuk oleh Galih. Beberapa detik masih belum ada jawaban, Galih terus mengetuk sedangkan mata Devano nampak liar kesana kemari dan mengoyangkan tubuhnya, karena sudah bosan.
"Bi Sunarti, coba buka kan pintu dulu, saya pusing mendengar nya!" teriak seseorang dari dalam rumah.
Setelah mendengar suara itu, tidak berselang lama terdengar suara 'klik' dari pintu itu dan keluarlah seorang wanita sekitar limapuluh tahun yang menoleh pada mereka.
"Den Galih…" ucap Sunarti pertama kali.
"Iya, Bi, saya kesini mau antar Devano pulang," ujar Galih memberikan tas yang dia pengang tadi pada Devano, namun dengan cepat Sunarti mengambil nya.
Devano melihat Sunarti terlihat baik, lalu tersenyum dan bergumam dalam hati, "Ah… sepertinya aku salah sangka, orang-orang di rumah ini terlihat baik,"
"Hem… dia masih ingat rumah ini?! Untuk apa dia pulang?! bagus lah kalau dia tidak pernah ada!" dengus wanita di dalam sembari berteriak kasar pada mereka bertiga.
Devano mengerutkan keningnya tajam, dan kembali bergumam, "Hah… aku ralat kata-kata ku tadi,"
"Kak, apa yang kamu bicara kan, dia kan anak mu juga," ujar Galih menerobos masuk kedalam rumah itu padahal Sunarti masih menghadang di depan pintu.
"Anak ku hanya Arsen dan Elio, aku tidak punya anak seperti dia," ketus Dian memalingkan wajahnya.
"Kak, jangan seperti ini terus," ucap Galih namun di pandang angin lalu suara itu oleh Dian.
Dian ingat betul saat masa kehamilan dulu, dia menginginkan anak perempuan namun setelah USG tenyata bayi yang dia kandung nya laki-laki.
Itu membuat sangat kecewa, di tambah lagi dia hampir kehilangan nyawa ketika akan melahirkan Devano, membuatnya trauma. Dan Sekarang dia mengabaikan anak itu, bahkan jika dia tidak melihatnya mungkin saja perasaan nya akan menjadi lega.
Devano menyusul Galih dan melihat ke arah orang yang sekarang menjadi orang tuanya,
"Tepatnya orang tua kejam, aku ingat betul meskipun ibu ku miskin, dia tetap menyayangi ku bahkan jika dia membeli telur, dia rela tidak makan agar anak nya mendapatkan gizi," gumam Devano dalam hati.
Devano menatap nyalang pada wanita yang duduk sofa sembari mengangkat satu kakinya ke kaki yang lain. Mata mereka saling bertemu, bukan lagi percikan api yang memenuhi mata mereka, namun sebuah kobaran yang amat besar.
"Pergi kau, aku tidak mau melihat wajah kau!" pekik wanita itu sembari mengibaskan tangan dengan kasar, lalu memalingkan wajahnya.
"Aku juga, tidak mau melihat mu, hem… entah," balas Devano mengidikkan bahunya.
"Aish… nanti dosa lagi, dapat karma dari Tuhan baru tau rasa," gumam Devano dalam hati sambil memukul bibir dengan tangannya.
Galih menoleh pada keponakannya, "Devano, kamu benar ingin tetap tinggal disini, om bisa memberikan kas…"
"Stop om, aku akan tinggal disini sekarang, tenang saja," ujar Devano menjulurkan tangan seperti polisi yang sedang menjaga lalu lintas jalan.
"Hah… baik jika itu mau kamu," desah Galih.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!