Devano menatap ruangan itu dengan kerutan di jidatnya antara tidak suka dan jijik dengan pemadangan di hadapannya, sembari membayangkan hubungan antara keluarganya dan anak yang di tubuhnya dulu.
Tempat yang di sebut kamar itu lebih buruk dari kamar kostannya bahkan gudang Koh Aceng, tempat nya bekerja lebih rapi dari tempat tidurnya saat ini.
Devano ingat betul setelah berdebat dengan Dian dan Galih pergi dari rumah itu, dia ingin melangkah menuju lantai atas yang di pikirnya adalah tempat menuju kamarnya. Namun Sunarti menghentikannya.
"Aduh Den, jangan kearah sana, nanti ibu tambah marah loh sama Aden," bisik Sunarti menepuk tangannya pelan dan menarik tangan Devano agar menjauh dari tangga itu.
Devano menoleh dengan mengerutkan jidatnya kearah Sunarti, "Jadi kamar ku bukan di atas, lalu dimana, Bi, disana atau disana?" tunjuk Devano pada kamar di lantai bawah.
"Hish… bukan Den, seperti nya karena sudah lama di rumah Den Galih, Den Vano jadi lupa. Sini bibi antar saja," ujar Sunarti mendorong tubuh Devano menuju arah belakang rumah.
Devano hanya mengikuti gerakkan Sunarti yang mengantar nya pergi, padahal mereka sudah melewati dapur namun belum ada tanda-tanda mereka akan sampai.
"Ish… jangan-jangan aku di buang di kamar pembantu, seperti cerita anak yang terbuang itu, menyedihkan sekali, tapi tenang saja. Aku pasti bisa meraih keinginan ku," gumam Devano dalam hati.
Tiba-tiba Sunarti berhenti dan Devano terbentur punggung wanita itu, dia kemudian mengaduh kesakitan dan mengelus jidatnya.
"Den ini kamar Aden, kalau begitu Bibi permisi dulu," ujar Sunarti tersenyum simpul pada Devano dan memberikan tas Devano.
Devano yang masih mencerna semuanya menoleh pada tempat yang di maksud Bibi Sunarti sebagai kamarnya dengan mata yang membulat dan mulut yang mengganga.
"Yang benar saja ini kamar ku, lumut menempel di mana-mana, atap hitam seperti di serang pancaroba, jangan-jangan bocor pula," celoteh Devano menatap gudang belakang rumah utama.
Devano kemudian berjalan menuju pintu gudang yang terlihat reot itu, lalu mencoba membuka pintu nya.
'Citttt… Brakkk…'
Pintu berdecit dengan kencang kemudian terjatuh di hadapan Devano karena engselnya sudah rusak. Namun, untung nya Devano cepat menghindar kalau tidak bisa-bisa dia sudah tertimpa pintu itu.
"Wish… hampir gue kena, mana suara mirip kunti lagi," ujar Devano mengelus dadanya, menatap pintu yang sudah tergeletak di lantai.
Devano kemudian melihat kedalam ruangan yang berdebu, lembab dan kotor itu. Devano mengibaskan tangannya, dan dia melihat sebuah kasur tipis yang memungkinkan sudah beberapa generasi yang meniduri nya serta seprai yang warnanya sudah memudar.
"Menyedihkan sekali," gumam Devano memasuki ruangan itu, dan ingin membersihkan gudang nya agar lebih rapi.
Namun, baru saja dia ingin mengangkat kardus yang berserakan disana, Devano ingat, "Hah… Gue lupa, kalau mau jadi anak bendel, Gue harus bersikap semuanya, ya! gue bisa hidup semuanya," ujar Devano menyeringai.
Devano kemudian melangkah pergi dari tempat itu dengan langkah mantap, dia akan mengambil semua yang selama ini keluarga nya tak berikan.
Beberapa saat kemudian dia sampai di ruangan keluarga yang nampak hening, mungkin keluarga sedang sibuk dengan urusan masing-masing, dia pun tersenyum.
"Saatnya memilih kamar," seringai Devano mengosok telapak tangan nya, kemudian dia menaiki tangga menuju kamar di lantai dua.
Devano mencoba beberapa kamar namun tak ada satupun yang terbuka, semua terkunci dengan rapat, "Huh… Sial, seperti ini kah rumah orang kaya, terlalu privasi,"
Mata Devano berputar mencari celah agar dia menikmati salah satu kamar hingga dia menemukan kamar yang terbuka sedikit, Devano tersenyum senang dan memasuki kamar itu.
"Waw… ada dram, gitar, monitor gaming, semua yang gue mau ada disini, yang bener aje, wih," ucap Devano terlihat kagum.
Devano berlarian mencoba dram di dalam ruangan itu kemudian menginjak bass, lalu memukul tom-tom beralih ke Cymbal.
"Wih… seru cok!" ujar Devano sibuk sendiri.
Namun, setelah beberapa saat dia menyentuh dadanya yang kini terasa sakit, Devano mencoba menarik nafas meraih oksigen sebanyak mungkin.
Lalu, menghentikan kegiatan nya dari memukul dram itu, dan menuju kasur yang ada di ruangan itu. Devano membaringkan tubuhnya disana, sembari terus memegangi dadanya.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dan berteriakan, "Ma!, Pa!, kesini liat!"
Devano yang mendengar teriakkan itu langsung bangun dari rebahnya dan mengambil korek api yang tinggalkan sang pemiliknya di atas ranjang itu.
"Kenapa sih, El?" tanya Dian tiba-tiba menghampiri Elio di ambang pintu kamar putranya itu.
"Lihat ma! kenapa si anak kotor dan cupu ada di kamar Elio," tunjuk Elio pada Devano yang nampak menarik garis bibir ke bawah.
"Kenapa Elio kamu teriak-teriak di rumah ini," sahut pria paru baya itu yang merupakan papa mereka.
"Lihat mas anak udik ini, ada di kamar Elio," tunjuk Dian kasar.
Devano pun mulai kesal kemudian bangkit dari duduk nya, "Oh jadi ini kamar dia, bagus juga ya, hem… aku sangat suka, tapi kenapa aku tidak dapat kamar seperti ini,"
"Berani nya kamu berbicara seperti itu, kamu tidak pantas mendapat nya!" ancam Dian mengerutkan hidungnya dan menunjuknya dengan kasar.
"Baik, aku akan lapor pol… eh, salah, aku akan lapor damkar atas penelantaran anak," ujar Devano menujuk kedua paru baya di hadapannya.
Namun, orang-orang di hadapannya tidak bergeming malah terlihat makin geram pada Devano.
Devano bingung namun berpikiran meraka kaya raya sehingga bisa menyuap atau mengunakan pengacara handal agar mereka bebas dari hukuman.
"O, kalau begitu, kita lihat cara ku," ujar Devano menyerbu mereka agar ketiga orang itu menyingkir, kemudian berjalan dengan cepat menuruni tangga menuju ruang keluarga yang ada di lantai bawah.
Terlihat ketiga orang itu dengan cepat pula menuju ke arah ruang keluarga, Devano memegangi dadanya karena nyeri, namun tangan lainnya kini memegang korek api dan siap menyalakan api di ujung sofa serta kain yang jadi hiasan di atas sofa itu.
"Aku akan bakar rumah ini, hahaha…" tawanya menggelegar dan detik berikut dia akan menghidupkan korek api itu, jika keinginan nya tidak di turuti.
"Sial… itu kan korek yang gue simpan dalam tas, kenapa ada sama dia? bisa abis gue kalau papa tau tentang korek itu," bisik Elio menoleh pada papanya.
"Dev, apa-apaan kamu," ujar Sebastian, sang kepala keluarga disana mengerutkan jidatnya.
Devano nampak terkekeh, "Sudah ku duga, kalian hanya takut harta kalian habis kan," gumamnya dalam hati.
"Apa? o, guci di sebelah TV ini juga boleh di hancurkan," sahut Devano memundurkan tubuh kearah TV yang berada di ruangan itu dan menyentuh Guci yang berisi pohon pisang sintesis.
"Jangan sentuh guci itu," geram Dian ingin mendekati Devano.
"Silakan mendekat, detik berikut nya. Rumah ini akan jadi abu," ancam Devano bersiap menjatuhkan guci yang ada di pelukan nya itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments