[5] Berbelanja

"Hey… anak durhaka jangan sentuh barang-barang ku" geram Dian masih tidak perduli dengan perbuatan Devano yang terpenting, semuanya adalah salah Devano.

"Mas, lihat mas…" ujar Dian menggoyangkan tubuh suaminya.

Namun, suaminya nampak tidak bergeming seperti mematung memandang wajah putra mereka. Dian mendesis dan menghempaskan tangannya kemudian melangkah kearah Devano.

Devano yang melihat langkah Dian menuju kearahnya, kemudian menjatuhkan guci di tangannya dengan cepat hingga semuanya pecah berhamburan.

"Memangnya aku pernah main-main," geram Devano dalam hati.

Dian menutup mulutnya dengan tangannya, "Astaga, guci yang ku beli dengan harga sepuluh juta,"

"Hah… apa sepuluh juta?!" Devano melongo.

Devano tidak percaya guci yang dia hancurkan seharga sepuluh juta, karena dulu di rumah mereka tidak ada barang semahal itu mungkin yang paling mahal di rumah mereka adalah TV tabung yang sekarang harganya sekarang sudah anjlok, sebab di gantikan TV digital dan android.

"Baiklah, setelah ini aku akan memunguti nya, memperbaiki nya sedikit lalu menjual nya ke loak, kan lumayan meskipun dapat seratus, dua ratus," lamun Devano melihat pecahan guci yang berserakan.

"Memang bisa, hahaha…" kekeh Devano lepas, miris, karena sangat sulit memperbaiki keramik.

"Mas, liat mas, dia menghancurkan guci ku, dia harus di penjara," geram Dian, menujuk kearah Devano.

Devano mengorek telinga nya, "Hem… ini baru permulaan, lagi pula… ish, gue lupa mereka ini orang kaya raya bisa menyuap orang untuk memenjarakan ku, menakutkan sekali," ujar Devano bergidik ngeri.

Sedangkan sedari tadi Sebastian melihat putra nya yang mengamuk, selama ini putranya selalu mengikuti keinginan mereka tidak menolak walaupun di aniaya oleh mereka.

Sebastian merasa mungkin saja Devano sudah lelah dengan semua prilaku mereka sehingga sekarang memberontak.

Beberapa waktu lalu memang dia memikirkan untuk tidak mengikuti alur istrinya lagi untuk mengabaikan putra bungsu mereka ini. Karena, meskipun Sebastian tau putra nya ini di perlakuan buruk dengan mama dan kedua kakaknya, Sebastian tidak bisa menolong Devano.

Sebab dia mengingat trauma yang di hadapi Dian saat melahirkan Devano sehingga membiarkan saja perlakuan kasar istrinya pada putra bungsu mereka.

Dia ingin membantu Devano secara diam-diam tanpa istrinya berfikir bahwa Sebastian berubah baik pada putranya itu.

"Devano!" bentak Sebastian.

Devano menatap kearah Sebastian dengan mengerutkan kening dalam, saat ingin mengetahui mengapa pria itu memanggilnya.

"Iya,"

"Kamu memang ingin pindah kamar," ujar Sebastian datar.

"Hehe… kamar, itu bukan kamar tapi gudang, pak. Lebih tepat tempat pembuangan akhir," kekeh Devano sangat miris dengan keadaannya.

"Liat mas, dia tidak tau terima kasih," gerutu Dian.

"Baik, aku akan memberikan mu, kamar di lantai atas. Kamu boleh melakukan apa saja di kamar itu," sahut Sebastian

"Mas! jangan berikan apa-apa padanya,"

"Okey… terima kasih atas kemurahan hati Anda, tapi sebelum itu aku juga butuh uang untuk mendekorasi kamar ku agar nampak cantik, bagaimana tuan?" kata Devano menadahkan tangannya berharap Sebastian memberikan uang, cek, atau kartu bank.

"Apa-apaan kamu?! sudah suami ku kasih ruangan yang bagus, malah minta tambah. Di kasih hati malah minta jantung," geretak Dian dengan dahi yang mengerut dan rahang yang mengeras.

"Ya aku tidak mungkin tidur di lantai kamar itu kan, atau aku bakar saja rumah ini agar semua orang di dalam nya tidur juga di lantai," ujar Devano telah siap untuk menyalakan api di atas sofa ruang keluarga itu.

"Ah… sudah lah Dian, jangan mengomel terus, bagaimana kalau dia benar membakar rumah ini!" bentak Sebastian yang membuat Dian terdiam karena selama ini Sebastian tidak pernah memarahinya.

"Aku akan memberikan mu uang untuk dekorasi yang kau inginkan itu, kode nya 341904," ujar Sebastian mengambil kartu dari dompet nya yang berada di saku celananya.

Devano kemudian menadah kan tangannya dengan senang, dan membolak-balikan kartu itu, "Astaga! kartu premium, limited edition, " gumam Devano dalam hati begitu bersemangat.

"Aku boleh membeli apa saja?" tanya Devano.

"Terserah kau mau beli apa, aku tidak perduli," ujar Sebastian menarik tubuh Dian untuk menjauhi tempat.

"Thanks, Anda memang sangat baik!" teriak Devano.

Devano kemudian berlari mengembalikan korek api ditangannya pada Elio, dan saat itu Sebastian melirik kearah kedua putranya.

Detik selanjutnya Sebastian kaget ternyata korek itu milik putra ke-dua nya.

"Elio! apa yang ada di tangan mu itu?!" geram Sebastian.

*

*

Beberapa jam kemudian,

Devano kini terlihat mengelilingi mall terbesar di kota itu, hal yang pertama dia lihat ada pemeran kendaraan di pintu masuk.

"Wish… mobil, kayaknya gue butuh, gue lihat semua orang punya mobil satu. Gue juga harus punya sekalian supir pribadi kan, hahaha…" gumam Devano sembari melirik mobil itu.

"Dik, ada yang bisa kami bantu," ujar karyawan pemeran itu.

"Aku ingin membeli mobil ini," sahut Devano menujuk Mercedes Benz GLE-Class di depan mereka.

"Serius dik, mobil ini sangat mahal, kamu bisa beli rumah dua lantai di tengah kota loh dengan uang itu," ujar karyawan itu tercengang, bukan tidak senang ada yang membeli pajangan mereka namun dia takut remaja di hadapannya hanya main-main.

"Apa pakai kartu ini bisa membeli mobil," jawab Devano memberikan black card pemberian Sebastian.

Mata karyawan itu membulat, "Black Card…"

"Bisa kan mba?" Devano tersenyum.

"Bisa… bisa… kami akan segera siapkan," jawab karyawan itu belari menemui temannya dengan sangat bergembira, bahkan dia melompat-lompat sembari mengenggam tangan temenan nya itu.

"Oh ya, mba, disini ada motor sport juga," tanya Devano melihat-lihat sembari menunggu para karyawan itu menyiapkan dokumen mobilnya.

"Ah… kami tidak punya, tapi di sorum kami memiliki ninja kawasaki, jika adik menginginkannya saya bisa menghubungi teman saya," ujar teman karyawan itu.

"Crazy rich kayaknya mba," pungkas karyawan itu menepuk bahu temannya, dan melirik pada Devano.

"Aku juga mau satu motor sport," pinta Devano.

"Baik kami akan segera menghubungi teman kami,"

Beberapa saat kemudian tugas Devano untuk membeli kendaraan telah selesai, dia kemudian menuju ketempat lain, yaitu tempat membeli pakaian.

Devano melirik-lirik, dia pernah pergi kesini bersama teman-teman dan hanya melihat-lihat saja.

Karena setelah melihat tag harga bajunya di atas dua ratus ribu membuatnya mengurungkan niatnya. dan berfikiran tidak ada untungnya jalan-jalan ke mall, hanya membuat hatinya sedih karana tidak bisa membeli salah satu barang disana.

"Tapi, sekarang aku akan membeli semuanya," gumamnya dalam hati begitu bersemangat.

Devano mengambil sepatu yang dia dambakan selama ini selain design bagus dan awet pula, setelah mengambil sepatu. Devano kemudian mengambil tas khusus untuk laki-laki dan beralih ke baju.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!