Kereta baru saja berhenti di peron Stasiun Gambir. Hiruk pikuk manusia menyambut kedatangan penumpang yang turun. Suara roda koper bergesekan dengan lantai, aroma khas keringat bercampur dengan makanan cepat saji yang dijual di area stasiun, serta pengumuman dari pengeras suara membuat kepala Aliya terasa semakin berat.
Dengan langkah perlahan, ia menurunkan koper sederhana miliknya. Wajahnya masih terlihat letih setelah delapan jam perjalanan panjang dari desanya. Matahari Jakarta pagi itu memantul pada kaca-kaca gedung tinggi, seakan mempertegas bahwa ia benar-benar sudah meninggalkan dunia lamanya.
“Ini Jakarta…” gumam Aliya pelan. Suaranya tenggelam oleh riuhnya orang-orang yang sibuk mengejar aktivitas. “Aku harus kemana sekarang?”
Hatinya mendadak ciut. Seumur hidup, ia belum pernah menginjakkan kaki di kota sebesar ini. Jalanan yang ramai, kendaraan yang bersahutan, dan orang-orang yang berjalan cepat membuatnya merasa kecil. Semua tampak terburu-buru, sementara ia sendiri berdiri kebingungan.
Tangannya menggenggam gagang koper lebih erat. Perutnya mulai perih, baru sadar bahwa sejak kemarin ia jarang makan. Nafsu makan seakan hilang bersama kesedihan yang ditinggalkannya di desa. Namun kini, tubuhnya mulai menuntut haknya.
Aliya mencoba menyeberang jalan besar di depan stasiun. Kendaraan lalu lalang tanpa henti. Ia menunggu celah, namun tak terbiasa dengan arus cepat kendaraan kota, ia ragu-ragu melangkah. Sampai akhirnya—
Brak!
Sebuah mobil mewah yang melaju agak kencang tiba-tiba menyerempet tubuhnya. Aliya terjatuh, koper terhempas, dan dengkulnya terasa perih.
“Ya Tuhan!” teriaknya lirih, tubuhnya lemas karena kaget.
Mobil itu langsung berhenti. Pintu terbuka, keluar seorang wanita muda dengan penampilan yang mencolok. Gaun rapi, jam branded di pergelangan tangan, kacamata hitam menutupi sebagian wajahnya. Wanita itu tampak panik, namun tetap menjaga gengsinya di depan orang-orang yang mulai mengerumuni.
“Astaga… apa kamu baik-baik saja?” Suaranya terdengar tinggi namun berusaha terdengar tenang. Ia berjongkok sebentar, tapi tidak menyentuh Aliya. “Aku akan bertanggung jawab, ayo kuantar ke rumah sakit sekarang.”
Aliya berusaha berdiri, tapi kakinya terasa sakit. Beberapa orang membantu mengangkatnya masuk ke mobil mewah itu. Aliya pasrah, meski hatinya gugup berada di dalam kendaraan yang tampak asing dan mahal.
Rumah sakit di pusat kota menyambut mereka dengan bau antiseptik yang menusuk hidung. Aliya dibaringkan di ranjang pemeriksaan. Seorang dokter memeriksa luka-lukanya, lalu berkata santai, “Tidak ada luka serius, hanya lecet di lutut dan sedikit memar di lengan. Istirahat saja beberapa hari, akan sembuh sendiri.”
Wanita tadi—yang ternyata bernama Tania—berdiri di dekat ranjang dengan wajah setengah lega, setengah tak sabar. Begitu dokter pergi, Tania mengeluarkan sebuah amplop cokelat dari tasnya, lalu menaruhnya di meja samping ranjang.
“Ini sebagai permintaan maafku,” katanya datar. “Ambillah, di dalamnya ada dua puluh juta.”
Mata Aliya membesar. Jumlah itu terlalu besar baginya, tapi ia langsung menggeleng cepat. “Tidak usah, Nyonya. Saya benar-benar tidak apa-apa.”
Tania menaikkan alis, lalu menyilangkan tangan. “Aku tidak suka berhutang. Uang ini untukmu. Ambil saja.”
Aliya menunduk, menahan air mata. “Saya tidak membutuhkan uang, Nyonya. Saya hanya… saya hanya butuh kesempatan untuk bekerja.”
Kata-kata itu membuat Tania terdiam sejenak. Pandangannya meneliti Aliya dari atas ke bawah. Penampilan sederhana, wajah polos, jelas sekali bukan dari keluarga kaya. Pikirannya sempat ragu, tapi bibirnya kemudian tersenyum tipis penuh keangkuhan.
“Kamu butuh pekerjaan?” tanyanya.
Aliya mengangguk pelan. “Saya baru saja tiba dari desa, dan… saya belum punya tempat tinggal.”
Tania menghela napas, lalu meraih kembali amplop uang itu. “Baiklah. Ayo ikut aku.” Ia berdiri, melangkah keluar ruangan tanpa menoleh lagi.
Aliya menelan ludah. Lututnya masih sakit, tapi ia memaksa berdiri. Kesempatan sudah ada di depan mata, meski belum tahu akan dibawa kemana.
Mobil mewah itu melaju meninggalkan rumah sakit, membawa Aliya ke sebuah apartemen tinggi yang mewah di pusat kota. Dari luar, gedung itu menjulang elegan, dengan lobi berkilau dan resepsionis yang langsung menyapa Tania dengan penuh hormat.
Aliya hanya bisa tertegun. Selama ini ia hanya melihat apartemen seperti ini di televisi.
“Ayo cepat,” perintah Tania dingin, tanpa menunggu Aliya yang agak tertinggal karena jalannya masih pincang.
Di dalam unit apartemen, interiornya sangat modern. Lantai marmer mengkilap, perabotan mahal berjejer rapi, aroma parfum ruangan menyebar. Aliya merasa canggung, bahkan takut menginjak lantai bersih itu.
“Mulai hari ini kamu bekerja untukku,” kata Tania sambil melepaskan kacamata hitamnya. Tatapannya tajam, penuh gengsi. “Aku butuh pelayan pribadi. Apartemen ini belum ada pelayannya, jadi kamu akan tinggal di sini dan bekerja untukku.”
Aliya terdiam, antara tak percaya dan lega. “Baik, Nyonya. Terima kasih sudah memberi saya kesempatan.”
“Jangan berterima kasih dulu,” potong Tania dingin. “Aku tidak suka orang yang malas atau lamban. Jika kamu mengecewakan, aku akan mengusirmu tanpa pikir panjang.”
Aliya mengangguk cepat, meski hatinya bergetar. “Saya akan berusaha sebaik mungkin, Nyonya.”
Tania lalu duduk di sofa empuk, mengambil ponselnya. “Namaku Tania. Aku seorang model, mungkin kamu akan sering melihatku di majalah atau televisi. Tapi jangan pernah coba-coba ikut campur urusanku. Tugasmu hanya bersih-bersih, memasak, dan melayaniku.”
Aliya kembali mengangguk. Ia sadar, meski sikap Tania angkuh, namun inilah satu-satunya pintu rezeki yang terbuka di kota asing ini.
Malam itu, setelah semua tugas kecil selesai, Aliya duduk di sudut kamar kecil yang diberikan Tania untuknya. Ia membuka koper, menatap pakaian-pakaian sederhana di dalamnya, lalu menarik napas panjang.
“Ini awal yang baru…” bisiknya lirih. Air mata menggenang, tapi kali ini bukan hanya karena luka, melainkan juga karena sedikit harapan mulai tumbuh.
Di sisi lain, kehidupan Tania ternyata tidak semewah tampilan luarnya. Ia adalah istri dari Angkasa Sky Albirru, seorang pengusaha sukses yang dikenal dingin dan berwibawa. Mereka sudah lima tahun menikah, namun pernikahan mereka hambar, tanpa anak, tanpa kehangatan.
Tania lebih sering tinggal di apartemen pribadi ini daripada di rumah besar milik Angkasa. Hubungan mereka hanya formalitas, sesekali ia pulang jika Angkasa memintanya hadir di acara keluarga atau bisnis.
Di balik kesombongannya, Tania sebenarnya kesepian. Namun egonya terlalu tinggi untuk mengakuinya. Dan tanpa ia sadari, kehadiran Aliya di apartemen ini perlahan akan membawa warna baru dalam hidupnya.
Sementara itu, Aliya mencoba menguatkan hati. Hidup di Jakarta bukan perkara mudah, tapi ia berjanji pada dirinya sendiri: luka dari desa harus ia kubur, dan masa depan baru harus ia rebut.
Hari pertamanya di Jakarta, meski penuh kejutan, telah mengubah jalan hidupnya. Pertemuan tak terduga dengan Tania menjadi awal dari cerita panjang yang belum pernah ia bayangkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Mawar
semangat aliya💪lebih baik hdup dengan org angkuh dr pada hidup dngan org yg egois dan pengkhianat wlwpun keluarga sndr tp sperti org lain.
2025-09-25
1
Yuli Oktaviani
gpp Aliya, untuk awal ikut Tania dulu aja. nnt kalo udah ada modal baru cari kerja yg lebih baik
2025-09-26
1