Bab 3-Kepergian yang Tak Terhindarkan

Hari-hari menjelang pernikahan itu tiba bagai pisau yang perlahan menusuk hati Aliya. Semua yang ia lihat di rumah kini hanya berkisar pada satu topik: pesta besar yang akan digelar untuk menyatukan Lisa dan Haris. Di ruang tamu, undangan pernikahan menumpuk di atas meja, sebagian sudah siap dikirim, sebagian lagi tengah diperiksa ulang oleh Ibu Dini. Di halaman rumah, beberapa orang vendor datang silih berganti untuk berdiskusi mengenai dekorasi, tata rias, dan menu makanan. Semua sibuk, semua bersemangat—kecuali Aliya.

Bagi Aliya, hiruk pikuk itu terasa seperti ejekan. Setiap kali ia melihat nama Haris berdampingan dengan nama Lisa di undangan, hatinya seperti diremas. Itu seharusnya namanya. Itu seharusnya menjadi hari bahagianya. Namun kini, takdir menjelma seperti perampok yang datang tiba-tiba, merebut kebahagiaan yang telah lama ia impikan.

Malam itu, ketika semua orang larut dalam pembicaraan tentang gaun pengantin dan daftar tamu, Aliya duduk di sudut kamarnya. Matanya menatap kosong ke arah koper besar yang telah setengah terisi pakaian. Tangannya gemetar saat melipat baju-bajunya. Setiap lipatan adalah tekad, setiap pakaian yang masuk ke dalam koper adalah doa kecil agar ia bisa meninggalkan semua luka di rumah itu.

“Aliya, kamu tidak boleh pergi.” Suara Ibu Dini terdengar dari ambang pintu. Wajahnya tampak tegang, matanya sedikit memerah. “Bagaimana nanti perkataan tetangga? Mereka akan bilang kamu lari dari rumah karena tidak merestui adikmu menikah dengan Haris.”

Aliya menahan napas. Dadanya terasa sesak. Ia menutup koper perlahan, lalu menoleh dengan mata yang basah. “Ibu…” lirihnya, suaranya nyaris pecah. “Ibu peduli dengan omongan tetangga, tapi Ibu tidak pernah peduli dengan perasaanku—anak Ibu sendiri.”

“Bukan begitu maksud Ibu,” sanggah Ibu Dini cepat, langkahnya maju mendekati Aliya. “Ibu hanya ingin semuanya terlihat baik-baik saja. Ibu ingin keluarga kita tidak jadi bahan omongan orang.”

Aliya tertawa miris, tawanya penuh getir. “Lalu apa, Bu? Apa Ibu pikir aku masih bisa berdiri di depan para tamu, menyaksikan adik kandungku sendiri menikah dengan lelaki yang seharusnya menjadi suamiku? Apa Ibu ingin aku tersenyum palsu di hadapan semua orang, sementara hatiku hancur berkeping-keping?”

Ibu Dini terdiam. Bibirnya bergetar, namun tak ada kata yang keluar.

“Ibu ingin aku terlihat baik-baik saja,” lanjut Aliya dengan suara bergetar, “tanpa pernah mau melihat bahwa aku hancur. Hancur karena Lisa, hancur karena Haris, dan lebih hancur lagi karena restu yang Ibu berikan. Ibu lebih peduli pada anak bungsu Ibu daripada aku.”

“Aliya, jangan bicara begitu,” ucap Ibu Dini pelan, seakan mencoba menenangkan. “Ini takdir, Nak. Harusnya kamu bisa legowo menerima takdir yang sudah Allah tentukan.”

Aliya menggelengkan kepalanya dengan air mata yang kini jatuh tanpa bisa ia tahan. “Takdir? Tidak, Bu. Ini bukan takdir. Ini pengkhianatan. Dan Ibu… Ibu memilih untuk menutup mata.”

Hari-hari berikutnya berjalan semakin menyiksa. Lisa tampak bahagia, berjalan ke sana kemari dengan wajah berseri. Ia mencoba beberapa gaun pengantin, tertawa bersama Ibu Dini, dan bahkan sesekali menggoda Bimo agar membantunya memilih meski Bimo terlihat acuh. Rumah yang dulu hangat kini terasa asing bagi Aliya. Setiap sudut rumah menjadi saksi bagaimana ia dilupakan.

Bimo, sang kakak, sebenarnya memperhatikan. Ia beberapa kali mengetuk pintu kamar Aliya, mencoba mengajak bicara. Namun Aliya terlalu lelah untuk menjelaskan luka yang terus terbuka. Ia hanya berkata singkat, “Aku baik-baik saja, Kak,” meski jelas-jelas ia tidak baik-baik saja.

Di luar, Ayah Rudi lebih banyak diam. Ia tampak tak kuasa menolak permintaan Lisa yang keras kepala, sementara hati kecilnya sebenarnya masih ingin melindungi Aliya. Namun ancaman Lisa untuk meninggalkan rumah jika tak direstui membuatnya menyerah. Ia memilih jalan aman—jalan yang bagi Aliya terasa paling kejam.

Malam itu, Aliya kembali duduk di depan koper yang kini sudah penuh. Ia tahu, waktunya semakin dekat. Ia tidak bisa lagi menunda. Ia tidak ingin menjadi saksi pesta yang hanya akan menorehkan luka baru di hatinya. Ia ingin pergi, jauh dari semua orang yang ia cintai namun juga menyakitinya.

Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. “Al…” suara Ibu Dini terdengar lagi.

Aliya menghela napas panjang, lalu membuka pintu. Wajah ibunya tampak letih, namun matanya masih sama—mata yang selalu melunak untuk Lisa.

“Aliya, tolong pertimbangkan lagi,” pinta Ibu Dini. “Kalau kamu pergi, apa kata orang nanti? Mereka akan menyangka keluarga kita tidak rukun. Lisa juga pasti merasa bersalah kalau kamu tidak hadir di pernikahannya.”

Aliya menatap ibunya dengan mata yang penuh luka. “Lisa merasa bersalah? Tidak, Bu. Kalau dia benar-benar merasa bersalah, dia tidak akan merebut Haris dariku. Dia tidak akan berdiri di depan Ibu sambil tersenyum, meminta restu untuk menikahi tunanganku. Jangan bilang Lisa akan merasa bersalah, karena kenyataannya dia bahagia, Bu. Bahagia atas penderitaanku.”

“Aliya…” suara Ibu Dini melemah.

“Kenapa, Bu?” suara Aliya meninggi. “Kenapa selalu Lisa? Sejak kecil aku selalu disuruh mengalah. Kalau aku bertengkar dengan Lisa, aku yang disalahkan. Kalau Lisa menangis, aku yang diminta minta maaf. Sekarang pun sama, Bu. Aku yang harus mengalah, aku yang harus legowo, sementara Lisa mendapatkan segalanya. Sampai kapan, Bu? Sampai aku mati?”

Air mata Ibu Dini jatuh, tapi Aliya tidak bisa lagi merasakan simpati. Hatinya terlalu penuh dengan kekecewaan.

“Ibu boleh tetap mendukung Lisa,” kata Aliya tegas, suaranya kini tenang namun menusuk. “Tapi aku tidak bisa tinggal di sini. Aku tidak bisa pura-pura bahagia melihat pernikahan itu. Aku akan pergi, Bu. Entah kemana, aku akan cari jalan sendiri.”

Malam semakin larut. Di luar, suara jangkrik menemani langkah Aliya yang menutup koper dengan rapat setelah memeriksa perlengkapannya kembali. Hatinya berat, namun keputusannya bulat. Ia menatap sekeliling kamarnya untuk terakhir kalinya—tempat ia tumbuh, tertawa, menangis, dan bermimpi. Kini semua itu hanya tinggal kenangan.

Di ruang tamu, Ibu Dini masih duduk sambil menutup wajah dengan kedua tangannya. Ayah Rudi berdiri di sampingnya, bingung harus berkata apa. Bimo hanya bisa terdiam, menatap kosong ke arah pintu kamar Aliya. Tidak ada yang benar-benar bisa menghentikan Aliya kali ini.

Sementara di kamar sebelah, Lisa sedang tersenyum sendiri, membayangkan hari pernikahannya yang semakin dekat. Ia tidak tahu, atau mungkin tidak peduli, bahwa kebahagiaannya dibayar dengan kehancuran hati kakaknya sendiri.

Dan di dalam kamar itu, Aliya berbisik pada dirinya sendiri, “Aku akan pergi. Aku harus pergi. Jika tidak, aku tidak akan pernah bisa sembuh.”

Dengan tekad yang bulat, Aliya menutup matanya, membiarkan air mata terakhir jatuh, lalu berjanji pada dirinya sendiri: esok, ia akan melangkah keluar dari rumah itu—dan tidak menoleh lagi.

Terpopuler

Comments

Mawar

Mawar

keputusan yg berat,pergilah aliya untuk menjaga kewarasanmu,carilah kebahagianmu jngn mengharapkan lg pd org yg tdk menginginkanmu.😢

2025-09-24

2

sunshine wings

sunshine wings

Benar Aliya.. Jangan menoleh pada masa lalu lagi teruslah memandang ke hadapan.. Banyak perkara baek menunggumu.. ♥️♥️♥️♥️♥️

2025-09-25

1

tiara

tiara

Betul Alya cari kebahagiaanmu,jangan bertahan demi kebahagiaan Lisa yang ga punya hati

2025-09-24

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1-Retaknya Janji Suci
2 Bab 2-Restu yang Dipaksakan
3 Bab 3-Kepergian yang Tak Terhindarkan
4 Bab 4-Langkah Yang Berat
5 Bab 5-Pertemuan Tak Terduga
6 Bab 6-Bayangan Rencana Tania
7 Bab 7
8 Bab 8
9 Bab 9
10 Bab 10-Penjebakan dan Ancaman
11 Bab 11-Pernikahan Kontrak
12 Bab 12
13 Bab 13 Pagi Pertama Sebagai Istri Kontrak
14 Bab 14-Aturan Baru Angkasa
15 Bab 15-Langkah Kecil Aliya
16 Bab 16
17 Bab 17 Hati yang Mulai Goyah
18 Bab 18-Malam yang Akhirnya Harus Terjadi
19 Bab 19
20 Bab 20
21 Bab 21-Pagi yang Penuh Kehangatan
22 Bab 22-Pertemuan dengan Ibu Mertua
23 Bab 23-Positif
24 Bab 24-Salam Perpisahan
25 Bab 25-Jejak yang Menghilang
26 Bab 26 Berakhirnya Permainan Tania
27 Bab 27-Takdir dan Rahasia
28 Bab 28-Rahasia Yang Terungkap
29 Bab 29
30 Bab 30-Bertemu
31 Bab 31-Baby A
32 Bab 32-Pertemuan Kembali
33 Bab 33-Pulang ke Desa
34 Bab 34-Kepulangan Yang Menggores Luka
35 Bab 35-Sebuah Awal Baru
36 Bab 36-Ketegasan Aliya
37 Bab 37 Kepulangan ke Ibu Kota
38 Bab 38
39 Bab 39 Rumah Tangga yang Hangat dan Bayangan Masa Lalu
40 Bab 40 Bayangan Rencana Gelap
41 Bab 41 Menyambut Sang Pewaris
42 Bab 42 Astro sang Pewaris
43 Bab 43 Rencana Pengumuman Sang Pewaris
44 Bab 44 Kebenaran yang di Publikasikan
45 Bab 45 Rencana yang Terbongkar
46 Bab 46 Resepsi Pernikahan dan Pesta Menyambut Sang Pewaris
47 Bab 47 Baby A Lagi
48 Bab 48 Ascella, Bintang Paling Terang
49 Bab 49 S2 Setelah 23 Tahun
50 Bab 50 S2 Rencana Baru Astro
51 Bab 51 S2 Pertemuan Dua Sahabat
52 Bab 52 S2 Hari Pertama Sebagai CEO
53 Bab 53 S2 Proyek Besar
54 Bab 54 S2 Pertemuan Tak Terhindarkan
55 Bab 55 S2 Ruang Rapat Yang Memanas
56 Bab 56 S2 Bayangan Masa Lalu
57 Bab 57 S2 Bayangan yang Mengintai
58 Bab 58 S2 Luka Lama yang Terungkap
59 Bab 59 S2 Jangan Pergi, Elara
60 Bab 60 S2 Zona Nyaman yang Runtuh
61 Bab 61 S2
62 Bab 62 S2
63 Bab 63 S2 Meraih Restu Mommy Aliya
64 Bab 64 S2 Janji di Ruang CEO
65 Bab 65 S2 Apartemen Untuk Elara
66 Bab 66 S2 Kejujuran Astro
67 Bab 67 S2 Syarat Membawa Restu
Episodes

Updated 67 Episodes

1
Bab 1-Retaknya Janji Suci
2
Bab 2-Restu yang Dipaksakan
3
Bab 3-Kepergian yang Tak Terhindarkan
4
Bab 4-Langkah Yang Berat
5
Bab 5-Pertemuan Tak Terduga
6
Bab 6-Bayangan Rencana Tania
7
Bab 7
8
Bab 8
9
Bab 9
10
Bab 10-Penjebakan dan Ancaman
11
Bab 11-Pernikahan Kontrak
12
Bab 12
13
Bab 13 Pagi Pertama Sebagai Istri Kontrak
14
Bab 14-Aturan Baru Angkasa
15
Bab 15-Langkah Kecil Aliya
16
Bab 16
17
Bab 17 Hati yang Mulai Goyah
18
Bab 18-Malam yang Akhirnya Harus Terjadi
19
Bab 19
20
Bab 20
21
Bab 21-Pagi yang Penuh Kehangatan
22
Bab 22-Pertemuan dengan Ibu Mertua
23
Bab 23-Positif
24
Bab 24-Salam Perpisahan
25
Bab 25-Jejak yang Menghilang
26
Bab 26 Berakhirnya Permainan Tania
27
Bab 27-Takdir dan Rahasia
28
Bab 28-Rahasia Yang Terungkap
29
Bab 29
30
Bab 30-Bertemu
31
Bab 31-Baby A
32
Bab 32-Pertemuan Kembali
33
Bab 33-Pulang ke Desa
34
Bab 34-Kepulangan Yang Menggores Luka
35
Bab 35-Sebuah Awal Baru
36
Bab 36-Ketegasan Aliya
37
Bab 37 Kepulangan ke Ibu Kota
38
Bab 38
39
Bab 39 Rumah Tangga yang Hangat dan Bayangan Masa Lalu
40
Bab 40 Bayangan Rencana Gelap
41
Bab 41 Menyambut Sang Pewaris
42
Bab 42 Astro sang Pewaris
43
Bab 43 Rencana Pengumuman Sang Pewaris
44
Bab 44 Kebenaran yang di Publikasikan
45
Bab 45 Rencana yang Terbongkar
46
Bab 46 Resepsi Pernikahan dan Pesta Menyambut Sang Pewaris
47
Bab 47 Baby A Lagi
48
Bab 48 Ascella, Bintang Paling Terang
49
Bab 49 S2 Setelah 23 Tahun
50
Bab 50 S2 Rencana Baru Astro
51
Bab 51 S2 Pertemuan Dua Sahabat
52
Bab 52 S2 Hari Pertama Sebagai CEO
53
Bab 53 S2 Proyek Besar
54
Bab 54 S2 Pertemuan Tak Terhindarkan
55
Bab 55 S2 Ruang Rapat Yang Memanas
56
Bab 56 S2 Bayangan Masa Lalu
57
Bab 57 S2 Bayangan yang Mengintai
58
Bab 58 S2 Luka Lama yang Terungkap
59
Bab 59 S2 Jangan Pergi, Elara
60
Bab 60 S2 Zona Nyaman yang Runtuh
61
Bab 61 S2
62
Bab 62 S2
63
Bab 63 S2 Meraih Restu Mommy Aliya
64
Bab 64 S2 Janji di Ruang CEO
65
Bab 65 S2 Apartemen Untuk Elara
66
Bab 66 S2 Kejujuran Astro
67
Bab 67 S2 Syarat Membawa Restu

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!