Part 3 Masuk Kuliah

Mohon saran dan kritiknya....

°

°

°

Di dalam rumah yang megah terdengar rengekan seorang gadis. Mengikuti ke mana saja ibunya melangkah.

"Ibu, Ave nggak mau dijodohkan," rengeknya dengan membuntuti ibunya dari belakang.

"Sudah toh Nduk. Ini permintaan Eyang Yaya. Kamu tahu sendiri Eyang Yaya tidak bisa dibantah." Ibunya memberi pengertian.

"Ave masih ingin kuliah, Bu. Ave nggak mau dijodohkan dan menikah."

"Buat apa toh Nduk kuliah? Arek wadon ora usah kuliah. Ning omah ae." Eyang Uti juga memberitahu. [ Buat apa kuliah? Anak perempuan tidak usah kuliah. Di rumah saja ]

"Ibu, Eyang Uti. Ave ingin kuliah," katanya kekeh.

"Wes toh Nduk. Nurut karo wong tua." Perkataan Eyang Uti malah membuat Ave kesal. [ Sudah nurut sama orang tua ]

"Pokoknya Ave ingin kuliah. Ave nggak mau dijodohkan." Ave berucap dengan nada kesal dan mengeluarkan air matanya.

"Nduk, kita tidak bisa membantah apa yang sudah dikatakan orang yang lebih tua. Mereka tahu yang terbaik untuk kita." Ambar memberi pengertian kepada anak bungsunya.

"Tapi Ave ingin kuliah, Bu. Ave ingin seperti teman-teman yang bisa bebas untuk memilih jalan hidupnya." Ave sesenggukan saat berbicara.

Ambar tak bisa melakukan apapun untuk anak bungsunya. Ave mengingatkan kepada dirinya sendiri pada waktu ia masih gadis. Sama halnya dengan Ave. Ambarpun ingin melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi akan tetapi perjodohan membuat ia tak bisa memilih jalan hidupnya sendiri.

"Sudah, ya, Nduk. Jangan menangis lagi." Ambar merangkul tubuh Ave yang masih menangis.

Mbak Mira sang pengasuhnya ikut prihatin dengan keadaan nona mudanya. Mira tahu keluarga yang diikutinya sejak ia masih kanak-kanak memegang teguh adat istiadat mengenai perjodohan. Setiap anak yang ada di keluarga ini harus siap dijodohkan oleh siapapun. Termasuk kakak pertama Ave. Untungnya Raras bersedia dijodohkan oleh anak dari keluarga teman Eyang Yaya dan Ayahnya.

"Mbak Mira, enak, ya nggak usah dijodohkan." Ave mencurahkan isi hatinya kepada Mira di kamarnya.

"Iya Non". Mira hanya menjawab pendek karena tak tahu harus bicara apa.

"Ave masih ingin kuliah, Mbak Mira. Kenapa sih Ave harus dijodohkan?"

"Mungkin bagi orang tua. Ini jalan yang terbaik buat nona. Ada yang menjaga dan menyayangi nona Ave." Mira menjelaskan pikirannya sendiri. 

"Lagipula, Non. Calon suaminya nona Ave bukan dari orang yang tidak dikenal. Salim itu baik loh, Non," timpalnya lagi yang tanpa disadari Mira. Mata Ave melotot.

"Ya ampun, Non. Jangan melotot begitu. Nanti matanya nggak cantik lagi," candanya untuk membuat Ave tertawa.

"Ih Mbak Mira. Ave serius. Ave nggak mau menikah sama Salim dulu. Ave ingin kuliah baru menikah," rengek Ave seperti anak kecil.

"Coba nona Ave bicara sama Tuan Brata. Bukankah ayahnya nona lebih sayang sama nona Ave." Saran yang masuk akal.

"Pasti ayah lebih dengerin apa kata Eyang daripada anaknya." Ave mulai kesal.

"Dicoba dulu, toh, Non. Siapa tahu jika nona memiliki alasan yang bagus bisa dipertimbangkan oleh Tuan Brata."

"Masuk akal juga ya. Oke nanti Ave mau bicara sama ayah. Terima kasih ya Mbak Mira," ujar Ave antusias sambil berlari kecil.

"Dasar nona Ave. Tadi menangis sekarang bernyanyi senang. Maklum masih anak abg." Gumam Mira dalam hati melihat kelakuan nona kecilnya.

#######

Salim's Pov

Sejak usiaku delapan tahun. Aku dibawa ke rumah ini oleh ayah. Usaha ayah bangkrut dan rumah kami di sita bank. Ayah mendapatkan pekerjaan sebagai sopir pribadi keluarga Jaya. Keluarga terpandang di kota ini. Mereka sangat baik kepada kami. Tak pernah mereka memandang kami sebagai atasan dan bawahan. Aku bersekolah di tempat yang sama dengan anak bungsu keluarga Jaya. Aveliena namanya. Aku memanggilnya nona Ave. Dia orang yang usil, banyak bicara, urakan tetapi dia adalah orang yang ringan tangan. Seringkali kami sepulang sekolah selalu ke tempat para pengamen jalan untuk berbagi makanan. Coba tanya ke pengamen atau pengemis di ujung jalan besar. Siapa yang tak kenal dengan Nona Ave. Nona Ave yang baik hati, Nona Ave yang centil bahkan ada yang memanggilnya Mbak Peri. Untuk yang satu ini aku rasa tak cocok. Peri itu ibarat sosok yang lemah lembut. Sedangkan Nona Ave? Beda sekali sama kakak perempuannya. Mbak Raras orang yang kalem, lemah lembut dan sopan tutur katanya.

Setiap hari aku bertemu dengan nona kecilku. Begitu sebutanku untuk dirinya. Aku mengantar dan menjemputnya di sekolah. Menemaninya bermain dan bersepeda di perkebunan. Nona kecilku ini orang yang sangat cerewet akan tetapi ia bukanlah gadis yang manja walau ia di sekelilingnya menyayangi dan sangat menjaganya.

"Nona Ave sudah minum vitaminnya? Nanti Ibu Ambar marah lagi sama saya, Non." Aku memberitahunya agar ia segera minum vitamin yang harus dikonsumsinya tiap hari.

"Sudah kok." Ia menjawab singkat.

Nona Ave sejak kecil sering sakit dan pernah transplantasi jantung. Sejak saat itu ia sering mengkonsumsi vitaminnya tiap hari. Jika terlalu kelelahan maka penyakitnya akan kambuh. Karena itulah kami sangat menjaganya.

"Salim ..." Panggilnya dengan memilin bajunya.

"Iya Nona Ave. Ada apa?" Aku segera menghentikan kegiatan sore yang biasa aku lakukan. Menyiram bunga kesayangan Eyang Uti.

"Salim, mau tidak menolong aku?" Pintanya dengan mengedipkan kedua matanya.

"Menolong apa, Non."

"Bicara sama ayahku. Aku nggak mau menikah dulu. Aku ingin kuliah selepas sekolah ini." Ia memegang lenganku.

Aku melihat ia memegang tanganku. Ia segera melepas tangannya dari lenganku.

"Ayolah Salim. Tolong aku ya." Ia merajuk lagi.

"Tapi saya takut sama Eyang Yaya, Non."

"Salim ini. Kamu kan lelaki. Masa takut sih."

"Nona kan tahu jika Eyang Yaya susah dibantah." Aku mengelak.

"Ya sudah aku nggak mau menikah sama kamu. Aku mau kabur saja." Ia segera berlari dengan wajah kesalnya.

Entahlah aku harus bersyukur atau tidak dengan keadaan ini. Jujur aku menyukai nona kecilku sejak dulu, tetapi aku hanya seorang pelayan yang tak pantas mendampingi seorang gadis dari keluarga ningrat.

*****

"Salim, ayah mau bicara dengan kamu. Bisakah duduk di sini sebentar, Nak?" Kata ayah dengan ekspresi serius.

"Iya ayah. Silakan bicara, Ayah." Aku menjawab santun.

"Nak, ayah mohon kepadamu. Tolong jaga nona Ave sebagai istrimu nanti, ya. Ayah tahu mungkin kamu tak terima perjodohan ini. Ayah tak bisa melakukan apapun, Nak. Ini kehendak Eyang Yaya."

Aku terdiam mendengarkan ayah.

"Anggaplah ini sebagai balas budi kita karena keluarga Jaya sudah menampung dan menerima kita di sini dengan baik," lanjut ayah menerawang jauh.

"Jika itu keputusan Eyang Yaya. Salim terima, Ayah. Tetapi ...." Aku tak melanjutkan karena takut ayah tak menyetujuinya.

"Kenapa, Nak?"

"Ayah boleh tidak. Ayah bicara dengan Eyang Yaya dan Pak Brata biarkan Nona Ave kuliah."

"Nona Ave bukannya tidak boleh kuliah, Salim. Karena sakitnya itu yang membuat keluarganya membatasi semua kegiatan Nona Ave." Ayah memberi alasan yang sebenarnya.

"Biar Salim yang menjaganya, Ayah. Biar dia kuliah di tempat Salim saja sehingga Salim bisa mengawasinya."

Ayah tersenyum mengembang.

"Kamu menyukainya, Salim?" Perkataan ayah membuat aku tersedak teh.

"Ya sudah tidak usah dibicarakan. Ayah tahu kamu menyukai Nona Ave sejak dulu. Nanti ayah coba bicara Eyang Yaya." Ayah menepuk bahuku dan berjalan menuju kamarnya.

"Syukurlah jika Salim tak menolak perjodohan ini." Ayah Malik berbicara sendiri di kamarnya.

\=Bersambung\=

Ayo beri vote atau like kalian biar saya semangat menulisnya.

Terpopuler

Comments

MochiChangsubie

MochiChangsubie

mulai seru...si Salim kek.nya anaknya penurut ya thor. ntar klo jd nikah sm non nya bisa" dia kalah mulu kalau debat wkwkwk

2021-01-08

1

Aqila Luthfiyah

Aqila Luthfiyah

dr awal baca ...q bingung thor alur ceritanya...

2020-12-07

0

Rumy Tock

Rumy Tock

malik apa salim thor.

2020-11-01

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!