“Dinda… Kalau kamu menghargaiku, ikut aku sekarang untuk beristirahat di rumah. Kamu itu perempuan, jangan tidur di koridor seperti ini!” kata Adlan saat melihat Dinda duduk memeluk kaki di koridor rumah sakit.
“Aku tidak mau jauh dari Ayah.”
“Ada aku yang menjaganya, beliau akan baik-baik saja. Beliau pasti akan memarahiku kalau tahu aku membiarkanmu tidur di sini.”
“Aku tetap di sini, Kak.” Adlan menghembuskan nafas dalam dengan pasrah.
Dinda memang keras kepala. Ia mengira dengan mengancam bisa membuat Dinda patuh, tetapi ternyata tidak.
Akhirnya Adlan ikut menunggu di koridor rumah sakit bersama Dinda. Selama dua hari, Adlan yang memenuhi kebutuhan Dinda, mulai dari makan, minum sampai pakaian karena Dinda seperti orang yang kehilangan semangat.
Jika ia tidak datang, mungkin Dinda sudah seperti kucing terlantar saat ini.
“Makan dulu.” Kata Adlan yang membawa makan siang.
“Terima kasih. Maaf aku selalu merepotkan Kakak.”
“Tidak masalah.”
“Keluarga pasien Lilik?” panggil perawat.
Dinda dan Adlan segera berdiri dan menghampiri perawat tersebut.
“Pasien sudah sadar dan sebentar lagi akan dipindahkan ke rawat inap. Tolong kalian urus kamar VIP karena pasien tidak bisa di kamar kelas satu.”
“Baik, sus.” Dinda yang ingin ke administrasi dihentikan Adlan yang memintanya untuk ikut perawat saja melihat ayahnya.
Dinda menggelengkan kepalanya karena dua hari ini sudah merepotkan Adlan. Ia tidak mau menjadi beban.
Adlan hanya bisa pasrah. Ia akhirnya mengikuti Dinda sampai urusan kamar mereka selesai dan Pak Lilik di antarkan ke kamar.
Di kamar, Dinda menggenggam tangan Pak Lilik dengan erat. Ia sangat merindukan sang ayah karena selama di ICU, dokter tidak memperbolehkannya untuk menjenguk.
“Dinda…” panggil Pak Lilik dengan lemah.
“Iya, Yah. Dinda di sini.”
“Ayah punya permintaan, tapi Dinda jangan marah, ya?”
“Apa, Yah?”
“Apa Dinda mau menikah dengan Adlan?”
Jeder!
Bagai sambaran petir di Tengah hujan. Pertanyaan sang ayah mengejutkannya sekaligus membuatnya gelisah. Entah mengapa firasatnya mengatakan jika ini bukan permintaan biasa.
“Apa jawabanmu, Nak?” tanya Pak Lilik menunggu jawaban Dinda.
“Dinda…” melihat keraguan Dinda, Adlan secara tak langsung merasakan kecewa.
Ia seperti ditolak sebelum memulai. Tapi itu hak Dinda, ia di sini hanya untuk menemani Pak Lilik, orang tua keduanya.
“Ayah mungkin tidak bisa terus menemanimu, Nak. Ayah akan tenang jika kamu ada yang menjaga. Ayah percaya, Adlan akan menjagamu dengan baik.”
Air mata Dinda luruh mendengar perkataan sang ayah. Seolah tidak ada cara lain untuk menghibur beliau, Dinda meyakinkan dirinya untuk menerima permintaan sang ayah. Ia berharap bisa memberikan semangat untuk sang ayah menuju kesembuhan.
“Dinda mau.”
Jawab Dinda yang segera mengembangkan senyum Pak Lilik. Adlan yang juga mendengarnya mengembangkan senyum tipis karena Dinda menerimanya. Entah mengapa kesediaan Dinda membuat perasaannya yang tadinya kecewa menjadi lega.
“Nak Adlan, kamu mendengarnya?”
“Iya, Pak.”
“Jika bisa, mala mini kita lakukan. Lebih cepat lebih baik.”
“Kenapa tidak menunggu Ayah keluar dari rumah sakit saja?” tanya Dinda yang terkejut.
“Niat baik itu harus disegerakan, Nak. Sementara kalian menikah dulu, mengurus suratnya nanti tidak apa-apa.”
“Saya akan siapkan.” Kata Adlan yang pamit untuk keluar.”
Adlan pulang ke rumah dan memberitahu sang mama kalau dirinya akan menikah mala mini. Antara terkejut dan marah, Mama Adlan mengomeli anaknya yang tidak tahu aturan.
“Kamu ini mau menikahi anak orang, bukan anak kucing! Bisa-bisanya langsung menikah begitu saja! Ada beberapa tahapan yang harus dilakukan dulu, seperti bertemu orang tua, lamaran, musyawarah, baru menikah.”
“Ini mendesak, Ma.”
“Apa Pak Lilik…” Adlan mengangguk dan Mama Adlan tahu maksudnya.
“Ya sudah! Ayo kita cari penghulu!” Mama Adlan berdiri dan bersiap.
Adlan tersenyum dan mengikuti sang mama. Adlan dibawa ke rumah salah satu penghulu yang bekerja di Kantor Urusan Agama, kenalan mamanya.
Di sana Mama Adlan menyampaikan keadaan yang mereka hadapi dan penghulu tersebut bersedia membantu. Beliau bahkan bersedia menguruskan surat-surat setelah mereka menikah nanti, tanpa harus ke pengadilan agama.
Tentu saja Mama Adlan berterima kasih dan mengatakan jika Adlan akan menjemputnya nanti bakda maghrib.
Dari rumah penghulu, Mama Adlan membawa Adlan ke rumah adiknya dan memintanya sebagai saksi pernikahan anaknya.
“Mbak yakin? Apa tidak terlalu buru-buru?”
“Tidak. Ini urusan genting. Pokoknya nanti kamu datang ke rumah sakit bakda maghrib untuk jadi saksi.”
“Apa sudah kecelakaan?”
Plak!
Mama Adlan memukul lengan adiknya.
“Kamu ini seperti tidak kenal Adlan. Masak iya, anak ini berani macam-macam?”
“Ya kalau bukan Adlan yang macam-macam, mungkin saja yang satunya.”
Mama Adlan yang awalnya tidak ingin banyak menjelaskan akhirnya mengatakan yang sejujurnya dari pada anak dan menantunya nanti tertimpa fitnah.
“Oh begitu. Baiklah, aku akan menjadi saksi.”
“Kenapa tidak dari awal setujunya?”
“Aku hanya hati-hati, Mbak. Jangan sampai…”
“Naudzubillah…” sela Mama Adlan.
Setelah beres dengan paman Adlan, Mama Adlan membawanya ke toko pakaian perempuan untuk membelikan seserahan untuk Dinda.
Meski menikah dadakan, setidaknya Dinda tetap mendapatkan apa yang menjadi haknya.
“Apa maharmu, Nak?”
“Apa sebaiknya, Ma? Uang atau emas?”
“Sebaik-baiknya mahar itu yang tidak memberatkan. Tapi kamu mampu. Emas saja kalau begitu.”
“Berapa gram, Ma?”
“5 gram saja. Lebih kamu masih mampu, tetapi sebaiknya menghindari berlebihan. Yang penting niatnya tulus.”
“Baik, Ma. Aku akan mengambilnya di rumah.”
Dengan waktu yang singkat, Mama Adlan sudah menyiapkan seserahan dan kebaya putih untuk Dinda. Segera setelah semuanya dikemas rapi, Adlan membawa Mamanya ke rumah sakit lebih dulu.
“Dinda… Ini mamaku.” Adlan mengenalkan sang mama kepada Dinda.
“Halo Dinda, saya Siswati, mamanya Adlan.”
“Halo Tante…” Dinda menyalami Mama Adlan yang segera memeluknya.
“Ayo tante dandani. Setidaknya pengantin harus terlihat cantik, iya kan Pak?”
“Benar, Bu.” Jawab Pak Lilik dengan wajah tersenyum.
Tanpa menanyakan pendapat Dinda, Mama Adlan mendorong Adlan pergi dan meminta izin ke pihak rumah sakit. Lalu mengunci pintu rawat inap Pak Lilik dari dalam. Mama Adlan segera meminta Dinda untuk mengganti pakaiannya dengan kebaya.
Dinda yang masih linglung hanya menurut dan masuk ke dalam kamar mandi untuk mengganti pakaiannya.
Saat ia keluar, tatapan Pak Lilik dan Mama Adlan tertuju padanya. Meski tanpa makeup, wajah Dinda sudah terlihat ayu. Apalagi kebaya yang dikenakannya terlihat pas di tubuhnya.
“Mama makeup sedikit, biar anak mama pangling!”
Mama Adlan dengan semangat mendandani Dinda. Rambut lurus Dinda sepunggung juga di gelung hingga memperlihatkan lehernya yang jenjang.
“MasyaAllah…”
.
.
.
.
.
Hari ini up satu dulu ya.. hehe Selamat membaca...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments