Setuju

“Nanti sore jangan lupa untuk masuk ekstrakulikuler pramuka, ya?”

“Siap, Bu!”

“Apa kalian sudah menyiapkan yel-yel?”

“Sudah!”

“Yel-yel terkompak akan mendapatkan hadiah nanti.”

“Asyik!”

Dinda tersenyum dan mengakhiri sesi belajarnya. Sebenarnya ia bisa pulang lebih cepat, tetapi anak-anak memintanya untuk menambah durasi karena mereka masih kesulitan dengan materi yang baru saja di pelajari.

Sekolah di desa tidak terikat dengan jam pulang yang tepat waktu, sehingga Dinda mengiyakan dan memberikan waktu tambahan 15 menit karena ia harus mampir belanja sebelum pulang ke rumah.

Dari sekolah, Dinda mampir ke sebuah toko sembako terlengkap di desanya dan membeli bahan yang sudah ia catat.

Sementara itu, ruang tamu rumah Dinda masih dengan suasana yang berat karena Pak Lilik harus mencari laki-laki yang bisa dipercaya untuk menjaga anaknya jika Adlan tidak setuju.

Adlan adalah kandidat yang paling bagus karena beliau sudah mengenalnya sejak lama dan tahu latar belakangnya dengan baik. Adlan juga sudah mengenal Dinda sejak kecil, sehingga tahu kebiasaan dan sifatnya seperti apa.

Beliau merasa tenang jika Adlan yang menjaga Dinda. Tetapi jika Adlan menolak, Pak Lilik belum tahu siapa lagi yang bisa menjaga anaknya kelak.

“Saya setuju.” Kata Adlan setelah diam sejenak.

“Baiklah, terima kasih sudah mau datang kemari. Bapak akan mencari kandidat lain.” kata Pak Lilik dengan nada lemah.

“Saya setuju, Pak.” Ulang Adlan.

“Apa?” Pak Lilik seperti tidak percaya dengan pendengarannya.

“Saya setuju menjaga Dinda untuk Bapak.”

“Tunggu! Apa kamu sudah memikirkannya dengan matang? Menjaga yang aku maksud adalah menjadikannya istri, sehingga tidak ada Batasan dalam menjaganya dan tidak menimbulkan fitnah.”

“Saya sudah memikirkannya.” Jawab Adlan mantap.

Jawaban Adlan bukannya membuat Pak Lilik lega, tapi justru membuat beliau merasa tidak nyaman. Beliau merasa secara tidak langsung, memaksa Adlan untuk menjaga Dinda.

“Adlan… Jangan karena mengenangku, kamu mengorbankan masa depanmu! Bapak tahu Dinda bukanlah anak yang memenuhi kriteriamu karena sampai sekarang belum mau mengenakan hijab. Dinda juga masih egois karena selama ini hanya Bapak yang ada dalam prioritasnya. Tolong pertimbangkan lagi.”

“Saya setuju bukan karena Bapak, tapi karena Dinda.”

“Apa kamu…” Pak Lilik tidak melanjutkan pertanyaannya.

Beliau bisa melihat jika Adlan tidak keberatan dengannya ataupun Dinda. Tatapan dan jawaban Adlan yang mantap, membuktikan jika anak didiknya itu sudah membuat keputusan sehingga beliau tersenyum dan menganggukkan kepala.

Adlan yang merupakan kandidat pertama ternyata mau menerima Dinda. Dengan begini, ia tidak perlu lagi khawatir dengan Dinda ke depannya.

“Terima kasih, Nak. Semoga Allah meridhoi keputusanmu. Untuk sementara kita rahasiakan dulu sambil Dinda mengenalmu. Dinda juga tidak tahu dengan kondisi Bapak yang sebenarnya.” Adlan mengangguk.

“Kalau boleh tahu, Bapak sakit apa?”

“Kanker lambung akut. Bapak terlambat mengetahuinya karena selama ini mengira gangguan pencernaan.”

“Apakah tidak bisa operasi?”

“Kondisi Bapak tidak memungkinkan untuk pembedahan, Nak. Kanker sudah menyebar ke hati dan paru, jadi hanya berharap dengan keajaiban atau pasrah.”

“Masih bisa, Pak. Saya akan membawa Bapak ke rumah sakit besar!” Pak Lilik menggeleng.

“Usahamu hanya akan sia-sia, Nak. Bapak sudah puas dengan hidup Bapak selama ini. Ditambah kamu yang bersedia menjaga Dinda, Bapak bisa pergi dengan tenang.”

“Jika sudah seperti itu, kenapa Bapak masih mengajar?”

“Bapak hanya membereskan pekerjaan. Pengajuan pensiun dini Bapak sudah disetujui.” Adlan tidak lagi mengatakan apa-apa.

Ia tahu Pak Lilik sudah bersiap dengan segala kemungkinan. Melihat kondisi beliau saat ini, ia tidak percaya jika kanker sedang menggerogoti tubuh Pak Lilik.

Tapi ia kembali sadar, jika Pak Lilik melakukan semua ini agar anaknya tidak khawatir. Dinda adalah anak beliau satu-satunya yang lahir tanpa ibu karena istri Pak Lilik mengalami pendarahan hebat yang merenggut nyawanya saat melahirkan.

Pak Lilik adalah ayah sekaligus ibu untuk Dinda. Ternyata, seorang ayah juga bisa melakukan apapun untuk anaknya.

“Assalamu’alaikum…” salam Dinda yang baru saja pulang.

“Wa’alaikumsalam…” jawab Pak Lilik dan Adlan bersamaan.

“Duduk dulu, Nak!” Dinda mengangguk.

Ia meletakkan belanjaannya di lantai dan duduk di sebelah sang ayah.

Pak Lilik memperkenalkan Adlan kepada anaknya. Dinda menganggukkan kepalanya karena ia telah melihat Adlan beberapa kali saat mengunjungi ayahnya.

Beliau juga mengatakan jika beberapa hari ini Adlan akan berkunjung ke rumah mereka dan meminta Dinda untuk bersikap baik kepadanya.

Setelah selesai dengan basa-basi, Dinda pamit ke dalam untuk merapikan belanjaannya dan mengganti pakaian. Lalu memasak untuk makan siang, sementara Pak Lilik dan Adlan bersiap pergi ke masjid untuk sholat Jum’at.

Sepulang dari sholat Jum’at, mereka disambut dengan aroma masakan dari dapur. Pak Lilik mengajak Adlan ke dapur untuk makan siang.

“Jangan sungkan, Nak Adlan!” Adlan menganggukkan kepalanya dan mulai mengambil nasi dan lauk.

Ia tahu Dinda pandai memasak menuruni kemampuan ayahnya, tetapi ini adalah kali pertama Adlan merasakan masakannya.

Enak. Cocok dilidahnya seperti masakan Pak Lilik. Adlan tersenyum dan segera menghabiskan makanannya. Pak Lilik merasa lega dalam hati dan menyuruh Adlan untuk menambah.

“Terima kasih untuk jamuannya, Pak. Saya akan kembali lagi besok.” Kata Adlan berpamitan.

“Iya. Hati-hati di jalan!”

Adlan menganggukkan kepalanya ke arah Dinda yang juga dibalas dengan anggukan. Ia tersenyum lalu pergi meninggalkan desa Pak Lilik.

Sesampainya di rumah, ia segera mengutarakan pembicaraannya dengan Pak Lilik kepada mamanya.

“Apa Mama bilang? Kalian itu cocok! Alhamdulillah… Akhirnya bisa punya mantu!” seru Mama Adlan dengan gembira.

“Tapi Dinda belum tahu, Ma.”

“Gampang! Kamu pelan-pelan mendekatinya, nanti juga luluh. Tidak ada yang bisa menolak pesona anak Mama!” kata Mama Adlan dengan percaya diri.

Sementara Adlan tidak yakin karena pandangan Dinda kepadanya adalah pandangan kepada orang asing. Bahkan selama makan, Dinda tidak bersuara sama sekali dan hanya menunduk makan.

Pesona yang dikatakan sang mama, sepertinya tidak berpengaruh untuk Dinda. Tak apa, masih ada waktu, pelan-pelan.

Di sisi lain.

“Ayah sudah mengajukan pensiun dini, Nak.”

“Iya, Yah. Dengan begitu Ayah bisa beristirahat di rumah menikmati masa tua.”

“Kamu tidak keberatan?”

“Untuk apa? Kesehatan Ayah yang utama.” Dinda tersenyum melanjutkan pijatan di kaki ayahnya yang semakin hari terlihat semakin kurus.

“Nanti jangan mengeluh kalau gajinya habis untuk kebutuhan rumah!”

“Tenang saja, Yah. Selain gaji, Dinda masih bisa punya penghasilan lain.”

“Apa itu? Kenapa baru mengatakannya sekarang?”

“Penghasilannya masih kecil, Yah.”

“Pekerjaan apa?”

“Membuat novel. Sekarang ini penghasilannya hanya mengandalkan iklan dan penilaian bab. Tapi nanti jika sudah lebih tinggi, bisa dibayar lima ratus rupiah per kata. Jadi, kalau satu bab sekitar seribu kata, Dinda bisa menghasilkan lima ratus ribu rupiah per babnya.”

“Alhamdulillah… Yang penting kamu suka, Nak. Sedikit banyak, disyukuri.”

“Alhamdulillah, Yah…”

Terpopuler

Comments

Rian Moontero

Rian Moontero

mampiiir kak mey/Bye-Bye//Determined/

2025-09-18

1

indy

indy

kasihan pak Lilik

2025-09-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!