NovelToon NovelToon

Buah Hati Sang Pewaris

Bab 1:Jalan buntu

Ruang rawat itu terasa pengap, diisi aroma obat yang menusuk hidung dan keputusasaan yang menyesakkan dada. Ibu Kiran terbaring lemah di ranjang rumah sakit, wajahnya pucat pasi. Monitor di sampingnya berkedip-kedip, menampilkan garis kehidupan yang semakin melemah. Kiran menggenggam erat tangan ibunya, berusaha menyalurkan kekuatan meski hatinya sendiri hancur berkeping-keping.

Ayahnya berdiri di sudut ruangan, tampak acuh tak acuh. Pria itu, yang seharusnya menjadi pelindung dan sandaran, justru menjadi beban. Botol minuman keras selalu menjadi teman setianya, menggantikan tanggung jawab sebagai seorang suami dan ayah.

Kiran tak tahan lagi melihat penderitaan ibunya. Air mata mulai mengalir deras di pipinya. Ia berbalik menghadap ayahnya, suaranya bergetar, "Ayah, tolong selamatkan ibu..."

Pria itu hanya menyeringai sinis. "Selamatkan dia? Kau tahu 'kan operasi butuh uang? Lebih baik uangnya kupakai buat cari ibu baru untukmu," ujarnya sambil menunjukkan sebuah foto wanita di ponselnya.

Kiran tersentak. "Teganya Ayah! Ibu sudah banting tulang sampai sakit buat bayar utang judimu, sekarang Ayah mau pergi begitu saja?"

"P*rsetan!" Ayahnya meneguk minuman kerasnya. "Uangku habis. Kau mau selamatkan ibumu? Sana, cari uang dengan wajah itu," ujarnya sambil menunjuk wajah Kiran dengan tatapan merendahkan. "Dan tubuh itu... bisa buat kau kaya," lanjutnya dengan nada menjijikkan.

Kiran menatap ayahnya dengan nanar, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Ayah macam apa kau? Aku muak padamu!"

"Kalau begitu, siap-siap makamkan ibumu," jawab ayahnya santai, lalu berbalik dan pergi meninggalkan ruangan.

Kiran terpaku, air matanya semakin deras membasahi pipi. Ia terduduk lemas di samping ranjang ibunya, hatinya hancur berkeping-keping.

Tak lama kemudian, seorang perawat masuk. "Ranjang tiga, Anda harus membayar uang muka untuk operasi sekarang. Pasien butuh tindakan segera."

Kiran menghela napas panjang. Ia meraih ponselnya dan menghubungi Yoris, kekasihnya. "Halo, Yoris... aku butuh bantuanmu. Ibuku sakit dan butuh uang untuk operasi darurat."

Terdengar suara dingin dari seberang sana. "Bukan urusanku. Kalau mau uang, cari saja pria yang mau bayar."

Kiran terkejut. "Apa yang kau bilang?"

"Oke, aku pacaran sama kau cuma karena kau seksi. Kau kira aku ATM? Jangan telepon aku lagi, dasar j*lang mata duitan!" Panggilan itu terputus begitu saja.

Kiran terpaku, air mata semakin deras mengalir di pipinya. "Bahkan pacarku mengabaikanku... Aku harus selamatkan ibu sendirian."

Dengan tekad yang membara, ia menatap ibunya yang terbaring lemah. "Bertahanlah, Ibu. Aku akan cari cara apa pun. Akan aku lakukan," ucapnya mantap, meski air mata terus membasahi pipinya.

Ia meraih tasnya dan mengeluarkan selembar kertas dari Klinik Arrow, pusat donasi sel telur. Kiran menghela napas, ragu. Namun, tekadnya untuk menyelamatkan ibunya lebih besar dari segalanya. Dengan tangan gemetar, ia menghubungi nomor yang tertera di kertas itu.

Kiran keluar dari rumah sakit, hatinya hancur berkeping-keping. Ia menggenggam erat ponselnya, lalu menghubungi nomor dari klinik donor sel telur. "Halo, aku dengar Anda bayar 200 juta per sel telur? Bisa jual lebih dari satu?" tanyanya dengan suara bergetar.

Sambil berbicara, ia berbalik dan berjalan tanpa arah. Pikirannya kalut, matanya sembab. Ia tidak fokus pada jalan, hingga tanpa sengaja menabrak seseorang. Tubuhnya limbung, hampir jatuh, namun sebuah tangan kekar dengan sigap menahannya.

Kiran terkejut. Ia mendongak dan terpaku. Seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahunan berdiri di hadapannya. Wajahnya tampan dengan rahang tegas dan mata tajam yang menyorotnya dengan intens. Pria itu, tak lain adalah Matthew.

Matthew membenarkan posisi Kiran, memastikan gadis itu tidak terjatuh. Bersamaan dengan itu, ia menunduk hendak mengambil selembar kertas yang terjatuh dari tangan Kiran. Kertas itu adalah brosur dari klinik donor sel telur.

Tangan mereka bersentuhan saat meraih kertas itu. Matthew menatap Kiran, begitu pula sebaliknya. Mata mereka bertemu, menciptakan aliran listrik yang aneh. Matthew lebih dulu mengalihkan pandangannya pada kertas di tangannya.

Dengan cepat, Matthew mengambil kertas itu sebelum Kiran sempat membacanya. "Klinik donor sel telur? 200 juta per sel? Cuma segitu harga badanmu?" tanyanya, namun nadanya tidak merendahkan.

Kiran tersentak. Ia merebut kertas itu dari tangan Matthew. "Kembalikan! Dasar mesum!" serunya, lalu berbalik hendak pergi.

"Oh, bukan begitu maksudku," kata Matthew. "Maksudku, kalau kau mati di sana cuma dapat 200 juta, apa kau tidak menyesal?"

Kiran yang hendak pergi terdiam sejenak, lalu melanjutkan langkahnya meninggalkan Matthew.

Saat ini, Kiran sudah berada di dalam klinik donor sel telur. Suasana di sana terasa mencekam. Banyak perempuan dengan wajah pucat pasi duduk menunggu giliran. Seorang dokter wanita dengan jarum suntik panjang di tangannya tampak menakutkan. Kiran melihat seorang gadis berteriak kesakitan saat sel telurnya diambil. Ia langsung dilanda ketakutan yang luar biasa.

Tak lama kemudian, dokter wanita itu mendekati ranjang Kiran. "Tidak! Tidak! Tidak!" seru Kiran panik. Ia langsung turun dari ranjang dan berlari keluar klinik.

Ia kabur dari sana, berlari tanpa arah di tengah jalan raya. Gaun selututnya basah kuyup karena hujan. Ia menangis tersedu-sedu. "Kalau aku mati di dalam sana, Ibu akan sendirian. Bajingan itu (ayahnya) pasti akan menghabiskan semua uangnya buat judi. Dia tidak akan menyelamatkan Ibu," gumamnya pilu.

Kiran terduduk di pinggir jalan, memeluk tubuhnya yang dingin dan basah. Hujan turun begitu deras, seolah ikut merasakan kesedihannya. Ia memegang kepalanya, menangis tanpa henti.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Sebuah panggilan dari seorang perawat di rumah sakit tempat ibunya dirawat. "Apa Anda keluarga dari pasien ranjang tiga? Untuk operasi, dibutuhkan 500 juta. Kalau tidak dibayar besok, kami terpaksa mengeluarkan ibu Anda dari sini."

"Tidak! Tolong, beri aku waktu. Aku pasti cari cara," jawab Kiran sambil terisak.

Tanpa menunggu jawaban, telepon itu dimatikan begitu saja. Kiran semakin histeris. Dari kejauhan, sebuah mobil mewah lewat dan berhenti, sorot lampunya menyorot Kiran.

Gadis itu berdiri dengan tubuh gemetar, memeluk dirinya sendiri. Tiba-tiba, kaca mobil bagian belakang terbuka. Kiran berusaha melihat siapa yang ada di dalam mobil itu. Ternyata seorang lelaki. Matthew.

"Gadis donor sel telur?" tanya Matthew dengan nada datar.

Kiran menatapnya dengan tatapan putus asa. "Kau bilang 200 juta terlalu murah. Jadi, kasih tahu aku, berapa kau mau bayar aku?" tanyanya dengan suara bergetar, menahan dingin dan putus asa di tengah derasnya hujan.

Sedangkan lelaki itu hanya terstipis dari dalam mobil melihat kearah luar dimana kiran berdiri tepat di kaca mobil ia sedang duduk,ia terdiam ia hanya diam sambil tersenyum tipis sebelum berkata

Bab 2:Kesepakatan di kamar mewah

Matthew yang berada di dalam mobil menyeringai tipis. "Jadi, cukup tambah beberapa puluh juta untuk menjual dirimu?" tanyanya dengan nada mengejek.

Kiran menatapnya dengan tatapan memohon. "Tolong... Aku masih perawan. Bayar malam pertamaku. Aku tidak punya pilihan lain," ucapnya dengan suara bergetar.

Matthew mengangkat alisnya, terkejut. "Kau serius?"

Kiran mengangguk cepat, air mata kembali membasahi pipinya. "Iya..."

Matthew terdiam sejenak, menimbang-nimbang. "Masuklah," ujarnya akhirnya.

Kiran membuka pintu mobil dan masuk, duduk di samping Matthew. Ia memeluk dirinya sendiri, berusaha menghalau dingin yang menusuk tulang. Sesekali, ia melirik Matthew dengan tatapan ragu.

Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah penthouse mewah. Kiran terpukau dengan kemewahan yang terpancar dari setiap sudut ruangan. Ia dan Matthew berdiri di tengah ruangan, saling berhadapan.

Matthew mendekat dan mencium bibir Kiran dengan lembut, namun penuh gairah. Kiran membalas ciuman itu dengan ragu, namun perlahan mulai menikmati sentuhan Matthew. Ia memeluk Matthew erat, lalu mengangkat kakinya, melingkari pinggang pria itu. Matthew mengangkat Kiran dan mendudukkannya di meja rias, terus menciuminya tanpa henti.

Matthew melepaskan ciumannya sejenak dan menatap Kiran. Gadis itu menunduk malu. Ini pertama kalinya baginya.

"Ciuman pertama?" tanya Matthew lembut.

Kiran hanya mengangguk pelan.

Matthew membelai pipi Kiran dengan lembut. "Kau belum siap. Cukup minum susu hangat dan baca dongeng saja, ya?" ujarnya sambil mengambil sesuatu dari laci. "Dengar, aku pinjamkan uangnya tidak masalah," lanjut Matthew.

Kiran langsung memegang lengan Matthew, mencegahnya pergi. "Tidak... Tolong, jangan pergi. Aku bisa belajar," ucap Kiran dengan nada memohon. Ia menarik tengkuk Matthew dan mencium leher pria itu. "Apa itu boleh?" tanyanya lagi, berusaha meyakinkan Matthew bahwa ia bisa memenuhi keinginannya.

Matthew tersenyum tipis. "Hampir, tapi belum tepat," ujarnya.

Kiran tersenyum dan kembali mencium Matthew dengan lebih berani. Matthew membalas ciuman itu dengan penuh gairah. Kiran perlahan membuka kemeja Matthew, memperlihatkan dada bidang pria itu.

"Kau cepat belajar," bisik Matthew di sela ciuman mereka.

Kiran tersenyum menggoda. Matthew mengangkat tubuh Kiran dan membawanya ke ranjang. Ia merebahkan tubuh gadis itu dengan lembut, lalu kembali menciuminya.

Di sela ciuman mereka, Kiran berkata, "Matthew... Bisakah kau pakai pengaman? Aku masih kuliah, aku tidak boleh hamil."

Matthew mengelus pipi Kiran dengan sayang. "Tenang saja. Kondisiku langka. Aku... aku mandul," ujarnya, lalu kembali mencium bibir Kiran dengan penuh gairah. Kiran membalas ciuman itu, melupakan semua kekhawatiran dan menyerahkan dirinya sepenuhnya pada Matthew.

Mereka larut dalam ciuman yang semakin dalam dan penuh gairah. Desahan demi desahan lolos dari bibir mereka, memenuhi kamar mewah itu dengan aroma nafsu yang membara. Kiran, yang selama ini hidup dalam kesederhanaan dan kepolosan, kini terhanyut dalam dunia yang baru dan asing. Ia tidak mengenal pria yang saat ini bersamanya, namun demi ibunya, ia rela melakukan apa saja. Ia memejamkan mata, mencoba menikmati setiap sentuhan dan ciuman Matthew, membiarkan dirinya terbawa dalam pusaran gairah yang membara.

Matthew terus menggerakkan pinggulnya dengan ritme yang semakin cepat, membuat Kiran mendesah semakin keras. Ia menciumi leher dan bahu Kiran dengan lembut, membisikkan kata-kata yang membuat Kiran semakin terangsang.

"Oh, Matthew..." desah Kiran lirih, mencengkeram erat punggung Matthew.

"Kiran... kau sangat indah..." balas Matthew dengan suara serak, terus menciumi Kiran tanpa henti.

Kiran membalas ciuman Matthew dengan penuh semangat, melupakan semua kekhawatiran dan ketakutannya. Ia membiarkan dirinya terbawa dalam sensasi yang memabukkan, menikmati setiap sentuhan dan desahan yang keluar dari bibirnya.

"Matthew... lebih cepat..." desah Kiran lagi, merasakan puncak kenikmatan semakin dekat.

Matthew tersenyum mendengar permintaan Kiran. Ia semakin mempercepat gerakannya, membuat Kiran menjerit tertahan.

"Ah... Matthew... aku..." Kiran merasakan tubuhnya bergetar hebat, lalu meledak dalam kenikmatan yang luar biasa. Ia mencengkeram erat rambut Matthew, membenamkan wajahnya di leher pria itu.

Matthew terus bergerak hingga akhirnya ia pun mencapai puncaknya. Ia memeluk Kiran erat, merasakan tubuh gadis itu bergetar hebat di dalam pelukannya.

Setelah beberapa saat, mereka berdua terbaring lemas di ranjang, napas mereka masih tersengal-sengal. Matthew membelai rambut Kiran dengan lembut, lalu mencium kening gadis itu.

Mereka tertidur pulas setelah malam yang penuh gairah. Keesokan paginya, Matthew sudah berdiri dan mulai mengenakan pakaiannya. Kiran terbangun dan melihat ke arah Matthew. Ia bangun dan duduk di ranjang, memperhatikan pria itu.

Matthew melihat Kiran dari pantulan cermin. "Kau sudah bangun," ucapnya, lalu berbalik menghadap Kiran. Ia mengambil dompetnya dan memberikan sebuah kartu kepada Kiran. "Ada satu miliar di kartu ini. Ini seharusnya cukup untuk mengatasi apa pun masalahmu," kata Matthew dengan nada datar.

Kiran segera mengambil kartu itu. "Terima kasih, Pak. Aku pastikan akan minum pil KB tepat waktu," ujarnya tulus.

Matthew tersenyum tipis. "Maksudku, spermaku tidak lincah. Tidak pernah," ucapnya, lalu berbalik dan pergi meninggalkan Kiran.

Ia sudah rapi dengan setelan jasnya. Tak lama kemudian, seorang asisten menghampirinya. "Pak! Akhirnya! Dewan direksi sudah kehilangan akal. Mereka mau pilih pewaris sebelum Anda 30 tahun..."

Matthew mengangkat alisnya. "Mereka pikir aku akan mati besok?" tanyanya dengan nada sinis.

Asisten itu menghela napas. "Kutukan keluarga Andres. Setiap kepala keluarga mati sebelum 30 tahun. Dan dengan kemandulan Anda, mereka jadi panik. Aku cuma memikirkan perusahaan saja, Pak," ujarnya sambil tersenyum canggung.

Matthew hanya tersenyum tipis sambil merapikan jasnya. Asisten itu tersenyum melihat bekas kecupan di leher Matthew. "Tunggu... Apa Anda tidur dengan seseorang semalam?" tanyanya penasaran.

Matthew tersenyum tipis dan memegang lehernya. "Bilang ke mereka, tiga bulan lagi, sebelum ulang tahunku yang ke-30, aku akan tanda tangani surat wasiat. Keponakanku, Yoris, akan mendapatkan semuanya," kata Matthew dengan nada tegas.

Asisten itu terkejut. "Anda kasih ke ponakan Anda?" tanyanya tak percaya.

Matthew tersenyum sinis. "Lebih baik dia daripada para pemain tua licik itu," jawab Matthew.

Asisten itu masih ragu. "Bagaimana dengan gadis semalam itu? Bagaimana kalau dia hamil?" tanyanya khawatir.

Matthew tertawa kecil. "Tidak mungkin. Aku mandul, Yusdi," ucapnya sambil menepuk bahu asistennya. "Dia tidak hamil apa-apa."

Tiga bulan kemudian, sejak kejadian itu, Kiran berada di ruang dokter kandungan. Dokter itu tersenyum lebar sambil memberikan hasil USG kepada Kiran. "Selamat! Anda hamil anak kembar empat!"

Kiran terkejut melihat hasil USG itu. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Bagaimana bisa? Matthew bilang dia mandul. Lalu, bagaimana mungkin ia hamil, dan lagi, kembar empat? Dunia Kiran terasa runtuh seketika.ia terus menatap hasil usg itu kemudian keluar dari ruangan itu.

Bab 3:Penghinaan didepan umum

Ia berjalan keluar dari ruangan itu. Di depan pintu, ia bergumam, "Aku hamil? Dengan empat anak?" Ia masih belum percaya, menatap nanar hasil USG di tangannya. Lalu, dengan nada kesal, ia berkata, "B*jingan itu bilang dia mandul!" Kiran menatap hasil USG itu kembali, lalu berkata, "Sumpah, kalau ketemu dia lagi..."

Belum sempat ia melanjutkan, tiba-tiba seseorang memanggil namanya. Seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di kursi roda menghampirinya. "Kiran? Kenapa kamu di poli obgyn?" tanyanya.

Seketika, Kiran gugup dan menyembunyikan kertas hasil USG itu. "Oh, hem... aku salah ruangan, Ibu. Kenapa Ibu di luar? Dokter bilang Ibu perlu istirahat setelah operasi," jawab Kiran berusaha mengalihkan perhatian.

Ibu Kiran menjawab dengan lemah, "Ibu tidak bisa membayangkan berapa biaya ini semua." Ia mengeluarkan sejumlah uang dari tasnya. "Ibu sudah bantu urus keperluan pasien lain. Ini ambillah, Ibu akan cari kerja lagi nanti mengganti uangmu."

Dengan cepat, Kiran menggeleng. "Ibu, Ibu perlu istirahat..."

Ibu Kiran menatapnya dengan sendu. "Tagihan rumah sakit tidak murah. Kamu sudah bekerja dan belajar tanpa henti, Ibu mau bantu juga."

Kiran menggenggam tangan ibunya erat. "Kalau Ibu sakit lagi? Bagaimana jika aku kehilangan Ibu selamanya?"

Ibu Kiran menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Anakku yang malang, Ibu sudah membuatmu susah," ucapnya lirih.

Kiran segera duduk di samping ibunya dan memegang tangannya erat. "Ibu jangan bilang begitu. Ibu sendirian besarkan aku," ujarnya tulus. Ia menggenggam tangan ibunya semakin erat. "Biarkan aku rawat Ibu sekarang."

Kiran menunduk, menyembunyikan air matanya. Dalam hatinya, ia berkata, Satu miliar sudah hampir habis. Aku harus segera cari kerja lagi, terutama sekarang dengan empat calon anak.

Beberapa minggu kemudian, di sebuah hotel mewah, digelar acara peresmian pewaris. Kiran menjadi pelayan di acara itu. Ia dan pelayan lainnya berbaris rapi, mendengarkan instruksi dari atasan mereka.

Kiran menarik napas dalam-dalam. Dalam hatinya, ia berkata, Satu kesempatan untuk bangkit. Jangan sia-siakan.

Semua pelayan mendengarkan instruksi atasan mereka. "Acara hari ini penting. Pak Matthew akan alihkan warisan 10 triliun ke keponakannya. Satu kesalahan yang kalian perbuat, kalian akan dipecat!" ucap atasan itu tegas, lalu pergi meninggalkan mereka.

Kiran berbisik kepada pelayan di sebelahnya, "Kasih semuanya begitu saja ke keponakannya? Kenapa?"

Pelayan itu menjawab, "Kau tidak tahu? Pak Matthew mandul, tidak punya anak. Jadi, semua akan jatuh ke keponakannya." Pelayan itu pergi meninggalkan Kiran.

Kiran kini berdiri sendiri, menghela napas tak percaya. "Mandul? Lucu. Pria itu juga bilang begitu, dan sekarang aku di sini dengan empat anak. Pria memang tukang bohong!" gumamnya kesal.

Di ruang mewah, sudah ramai tamu undangan. Kiran berdiri di sana sambil memegang nampan berisi minuman. Tiba-tiba, ia terkejut melihat seorang lelaki yang sangat ia kenal. "Tunggu... Yoris?" ucapnya dalam hati, terkejut melihat mantan kekasihnya ada di sana. "Sedang apa dia di sini? Dia... dia keponakan Pak Matthew?"

Yoris, yang belum melihat Kiran di sana, berbicara kepada seorang wanita yang berdiri di dekatnya. "Selamat, Yoris, ahli waris terbaru," ucap wanita itu sambil tersenyum.

Yoris membalas dengan senyum bangga. "Terima kasih, saya baru mulai," ucapnya dengan sedikit sombong.

Seorang tamu undangan pria yang usianya tidak jauh berbeda dengan Yoris ikut menimpali. "Keberuntungan suka yang beruntung," ucapnya sambil tersenyum tipis.

Dengan cepat, Yoris merangkul pinggang gadis yang berdiri di sampingnya. "Tidak, keberuntunganku ada di sini," ucapnya sambil tersenyum.

"Anggun," sebut Yoris nama kekasihnya dengan nada sayang. Anggun tersenyum manis. Yoris melanjutkan, "Hadiah terbaik yang bisa pria punya." Ia menatap Anggun, lalu melihat ke arah tamu dan kembali menatap Anggun. "Sayang, mari kita buat ini jadi nyata. Maksudku, semua ini terjadi karena ayahmu memaksa pamanku, jadi..." Yoris tersenyum licik.

Anggun menyahut dengan angkuh, "Jelas, aku cuma perlu tunjukkan kamu kalau Kiran, j*lang itu, bahkan tidak selevel sama aku."

Yoris tersenyum sinis. "Memang tidak," ucapnya, lalu mencium punggung tangan Anggun.

Anggun mengedarkan pandangannya ke seisi ruangan yang ramai itu. Lalu, dengan sombongnya, ia mengangkat tangannya dan memanggil seorang pelayan yang membawa nampan minuman, menyuruhnya mendekat. Pelayan itu berjalan mendekat.

Anggun dengan angkuhnya mengambil dua gelas minuman, lalu berbalik dan memberikan satu gelas kepada Yoris. Pelayan itu, yang ternyata adalah Kiran, tetap berdiri di belakangnya.

Anggun melirik ke arah Yoris, lalu berkata, "Untuk pekerjaan barumu, pacarku sayang." Mereka bersulang.

"Terima kasih, sayang," balas Yoris.

Anggun melirik ke arah Kiran, lalu dengan sengaja menyenggol tangan Kiran, menyebabkan nampan dan minuman yang dipegang Kiran jatuh ke lantai dan pecah berantakan.

Kiran terkejut. Anggun pura-pura terkejut, dan Yoris berteriak dengan nada terkejut. "Kiran?" ucapnya dengan suara keras. "Apa-apaan ini, Kiran?" Yoris berjalan menghampiri Kiran yang masih terkejut melihat nampan dan gelas yang pecah di lantai.

Yoris berdiri di hadapan Kiran dengan angkuh. "Kita sudah putus. Kau membuntutiku, ya?"

Kiran menggeleng, mulutnya terkunci. Semua pandangan mengarah ke mereka.

Yoris melanjutkan dengan nada merendahkan, "Tidak, tidak. Biar kutebak." Ia tersenyum sinis. "Kau tahu kalau aku kaya, dan kau kembali untuk meminta uang untuk ibumu yang menjijikkan dan sekarat?"

Kiran terdiam. Mulutnya seakan terkunci rapat. Apalagi saat ibunya disebut menjijikkan dan sekarat. Ia bekerja di sana bukan untuk membuntuti Yoris, tapi Yoris terlalu percaya diri dan angkuh dengan santainya berkata seperti itu.

Setelah terdiam sejenak dengan kesal, Kiran yang sedikit marah mendengar perkataan Yoris berkata, "Aku tidak..."

Belum habis ia berbicara, Yoris dengan sombong berteriak, "Tidak usah ngomong lagi, dasar jalang kotor!" Lalu, ia melihat ke arah tamu undangan dengan suara keras. "Kau mau selamatkan ibumu? Begitu?"

Kiran hanya terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Ia dipermalukan di depan banyak orang.

Yoris terus menghinanya. "Buka bajumu!" ucapnya.

Para tamu undangan sedikit terkejut, tapi juga menikmati adegan dan keributan itu. Anggun tersenyum tipis sambil menyilangkan tangan di dada. Sebagian tamu undangan tertawa melihat ke arah Kiran.

Yoris melanjutkan, "Aku yakin ada yang mau bayar buat tidur denganmu," ujarnya mengejek dan merendahkan.

Kiran tidak bisa menahan amarahnya. "Dasar bajingan gila!" serunya.

Yoris tertawa mengejek sambil menunjuk dirinya sendiri. "Aku? Gila?"

Kiran melanjutkan, "Iya, aku tidak akan ambil sepeser pun darimu, walau itu uang terakhir di dunia," ujarnya kesal.

Yoris tertawa sombong. "Tentu saja."

Kiran melanjutkan, "Aku di sini untuk kerja, tidak ada hubungannya sama kau," ucapnya marah, lalu menampar keras wajah Yoris.

Plaakkk

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!