"Bener bukan sih alamat apartemennya?" gumam Kia sambil menatap alamat yang ditulis Anne di selembar kertas.
"Ah, bener yang ini kok........!" gumam Kia menatap papan baleho penuh perhatian.
Kia melangkah pelan dengan bahu yang tampak sedikit terkulai di pintu masuk apartemen. Matanya menyapu sekeliling, seolah mencari sesuatu yang bisa memberi kepastian. Saat bertemu dengan satpam yang berjaga, suaranya sedikit bergetar.
"Permisi, saya mau ke apartemen nomor 145," ucap Kia.
Sebelum ke apartemen---Kia sempat diberitahu Anne---bahwa dia hanya perlu ke alamat tersebut, dan menanyakan kamar nomor 145. Dan sekarang, disitulah dia berada.
Security itu tersenyum ramah, menunjuk arah dengan tangan.
"Oh, kamar 145, ya? Mbaknya langsung naik lift ke lantai tiga, terus belok kanan. Di situ kamar 140 sampai 150, tinggal cari saja nomor 145," ujarnya dengan suara hangat. Kia mengangguk, senyum kecil terukir di bibirnya. Setelah mengucapkan terimakasih, langkahnya pun cepat mengarah ke lift.
Kia menggenggam gagang pintu apartemen itu dengan agak ragu. Saat ia membuka, aroma karbol yang tajam langsung menyergap hidungnya. Matanya bergerak menelusuri ruangan, menangkap kilauan perabotan mahal yang berbaris rapi di setiap sudut. Meski bukan istana megah, ada kemewahan yang terselip di balik kesederhanaan ini—sebuah dunia yang jauh berbeda dari kehidupannya sehari-hari.
Langkah Kia semakin masuk ke dalam, napasnya perlahan ikut tenang mengikuti suasana damai yang menyelimuti ruang itu. Setiap furnitur dan dekorasi tampak dipilih dengan teliti, seperti potongan-potongan puzzle yang disusun rapi dalam sebuah majalah desain interior. Ia berhenti sejenak, menatap sofa berbahan beludru yang mengundang, dan senyum tipis muncul di bibirnya.
"Ini yang namanya apartemen? nyaman banget,” gumam Kia pelan.
Ini memang pertama kali baginya ke apartemen, maklum kalau dia sampai terheran-heran begitu.
"Nih orang kayaknya baru pindah, barang-barangnya masih menumpuk di kardus!' monolognya sendiri---sambil memperhatikan tumpukan kardus di sudut ruangan.
Tak mau berlama-lama di apartemen itu, Kia pun dengan cepat menyelesaikan tugasnya.
Satu jam berlalu, gadis itu menarik nafas panjang sambil menatap sudut-sudut ruangan yang baru saja ia bersihkan. Apartemen itu nyaris bebas debu, bahkan hampir terasa terlalu bersih untuk ukuran apartemen yang jarang dihuni.
“Apartemen ini sudah bersih, kenapa minta aku bersihin ya?” gumamnya pelan, jari-jarinya menyapu meja yang sudah kinclong. Begitupun lantai, meja, dan lemari, semuanya masih bersih.
"Ah, akhirnya selesai semua---sekarang apa lagi?" gumamnya meneliti apa yang belum selesai.
"Membuka korden biar ada cahaya masuk!" katanya. Tangannya bergerak, dan menyibakkan korden satu persatu. Terutama korden di pintu balkon.
Tatapan Kia tiba-tiba terhenti pada pemandangan di balik pintu balkon. Dari ketinggian ini, gedung-gedung pencakar langit berdiri gagah menembus langit senja, sementara kendaraan di jalanan tampak seperti barisan semut kecil yang sibuk berjalan. Napasnya ikut melambat, terhanyut oleh keindahan yang jarang ia sadari.
Lalu tatapannya tertuju pada pot-pot tanaman di balkon. Ada empat pot berisi bonsai mini yang tersusun rapi di sana.
"Wah, ternyata ada tanamannya ---sepertinya kurang terurus!" gumam Kia. Hatinya tergerak ingin menyirami tanaman itu yang sedikit mengering tanahnya, sepertinya lama tak tersiram air.
Layar ponsel Regan menyala pelan, memperlihatkan rekaman CCTV yang memantau langkah-langkah Kia tanpa sepengetahuannya. Matanya yang tajam tak pernah lepas menatap sosok gadis berkacamata itu, alisnya sesekali naik turun mengikuti gerak-gerik Kia dengan saksama. Sebuah senyum kecil tersungging di bibir tegasnya, seperti pria itu menikmati tontonan rahasia yang hanya dia tahu. Regan mengulang-ulang adegan itu, seolah tak mau kehilangan detail sekecil apa pun.
*****
Kia melangkah masuk ke rumah dengan harapan sepucuk kehangatan, tapi yang menyambut justru suara keras sang mama. Rosalin berdiri di dapur, wajahnya memerah, matanya menyipit penuh jengkel.
"Kuliah apa main? buang-buang waktu aja! kerjamu cuma keluyuran mirip papamu!” omel Rosalin tanpa henti.
Kia menundukkan kepala, tangan gemetar menenteng tas. Suara makian itu menusuk dada, membuatnya merasa kecil dan tak berharga. Bukannya ada piring penuh makanan atau segelas teh hangat menyambut dahaga, yang datang malah deretan kata-kata tajam tanpa henti, menggerogoti semangatnya sejak dia menapakkan kaki di rumah.
“Maaf, Mah, mulai hari ini Kia kerja. Mungkin setiap hari Kia akan pulang terlambat! Bukannya mama yang bilang---kalau Kia mau terus lanjut kuliah, Kia harus cari uang sendiri!" Kata gadis itu, matanya menunduk, tapi ia berusaha untuk berani mengatakan itu.
Namun Rosalin memang dasarnya suka mencari gara-gara. Kesalahan sekecil apa pun akan selalu ia gunakan untuk menyudutkan putri nya.
Capek.
Kia benar-benar capek harus selalu dan selalu dipojokkan mamanya sendiri. Tidak pernah benar dimata sang mama
“Kerja apa kamu? Jadi pelayan atau jadi babu?” timbrung Ratu,wajahnya menyebalkan sekali.
"Itu bukan urusan elu! Lebih baik urus diri lo sendiri!" ketus Ratu, tidak suka dengan pertanyaan kakaknya.
"Sopan kamu, Ki! Merasa hebat ya, karena sudah bisa cari uang sendiri?" sambar Rosalin, menatap tajam.
“Terserah Mama. Aku capek," ucap gadis itu, sudah sangat capek menghadapi keluarganya.
Kia menatap tudung saji yang baru dibukanya dengan harap. Tangannya terhenti sejenak, lalu matanya membelalak pelan saat menyadari tidak ada sepiring pun makanan di bawahnya. Nafasnya tersengal kecil, merasa energi yang ia keluarkan seharian bekerja keras seolah sia-sia. Tangannya melemah dan jatuh di sisi meja, hatinya terasa kosong.
"Kenapa bisa kosong begini?” gumamnya, suara lirih penuh kecewa. Ia menunduk, membayangkan mandi dan beristirahat setelah mengisi perutnya, tapi ternyata dirumah sama sekali tidak ada makanan.
“Loh, Ma, Mama nggak masak? Terus aku makan apa?" tanyanya.
"Nggak ada makanan. Papa kamu entah kemana, sampai sekarang belum pulang dan belum kasih uang!" pungkasnya.
Nggak mungkin nggak ada uang. Kalau memang nggak ada uang, tadi mama dan kakaknya makan dengan apa. Batin Kia.
Namun begitu Ratu tidak bertanya lebih lanjut, dia memilih diam dan berjalan menuju kamarnya dengan wajah sedikit muram dan lesu.
“Keterlaluan mama. Aku juga kan anak mama!” gumamnya terisak-isak.
*******
Bulan menggantung indah di langit malam, menyebarkan cahaya lembut yang menenangkan. Udara sejuk membelai kulit, seolah merayakan kedamaian yang jarang dirasakan. Namun di dalam dada Kia, ada kegelisahan lain—perutnya meronta lapar, sebuah rasa menekan yang hampir membuatnya terjaga.
Pukul delapan malam mungkin masih muda bagi dunia, tapi bagi Kia, setiap detiknya terasa berat karena cacing-cacing di perutnya berdemo meminta makan. Ia meraih dompet yang terletak di atas nakas. Masih tersisa satu lembar uang berwarna biru, satu-satunya isi dompetnya yang hampir kosong. Dengan sedikit desahan, akhirnya ia pun pergi keluar mencari makanan yang mungkin bisa mengganjal perut.
Dengan menggunakan motor butut warisan mendiang kakek, Kia berkeliling entah ke mana tujuannya. Ia menentukan titik tujuan acak siapa tahu mendapatkan tempat makan enak tapi murah.
Matanya tertuju pada sebuah cafe yang besarnya terlihat aestetik. Banyak anak muda juga yang nongkrong di sana, tapi yang membuatnya menarik ada promo selama tiga hari ke depan di sana.
Tanpa berpikir lama Kia langsung mencari tempat duduk yang kosong. Dia celingukan mencari pelayan.
“Mau pesan apa?” tanya seorang pria dengan ramah.
“Emmm, apa aja promonya, Om?” tanya Kia.
"Semuanya," jawab pria santun itu.
Kia membaca buku menu. Tatapannya tertuju pada paket lengkap--- ada nasi goreng, es teh, dan bonus satu cup es krim. Cuma bayar setengah harga.
"Ah, lumayan, uang 50 ribu masih bisa kembali," gumamnya, akhirnya Kia pun memilih menu itu.
"Om, boleh nge-charge nggak?" tanya Kia pada pria itu.
"Boleh." Jawab Om-om itu, "Siniin hapenya, biar om yang charge!"
"Terimakasih ya, Om,"
"Sama-sama!" jawab pria ramah itu.
Bersambung.....
Komen dulu sebelum lanjut dong Sayang. Kalau udah 10 komen, aku lanjutin....😁😁😁
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments