Kia meringis kesakitan saat salep hangat menyentuh kulitnya yang terluka. Jaket yang dikenakannya menjadi penyelamat, melindungi bagian dadanya dari siraman kuah panas yang hampir mengenai kulitnya.
Di tengah malam yang sunyi dan dingin, air mata Kia mengalir deras tanpa suara, membasahi pipinya yang pucat pasi. Matanya terpaku pada gemerlap bintang di langit, seolah mencari jawaban atas kegetiran hatinya yang menyesakkan dada.
"Kenapa, Tuhan? Apa salah gue sampai Mama begitu benci sama gue?" gumamnya tercekik, suara hatinya pecah dalam keputusaan yang mencekam. Rasanya seperti terkoyak, terasing dari cinta yang seharusnya hangat dan menyembuhkan, namun kini berubah menjadi duri yang menusuk dalam diam.
Sejak kecil, Kia merasakan perbedaan perlakuan dari ibunya, Rosalin. Ibu yang seharusnya menjadi sosok yang paling dekat dan penuh kasih sayang, malah memperlakukannya dengan dingin dan membeda-bedakan. Ratu, kakaknya, selalu menjadi prioritas utama. Ratu bersekolah di sekolah mahal, les ini dan itu, dan kini kuliah di universitas ternama. Sementara Kia, hanya bersekolah di tempat yang biasa-biasa saja, tanpa les tambahan.
Meskipun begitu, Kia tidak pernah menyerah. Dia belajar dengan tekun dan berhasil meraih juara satu di sekolah. Namun, pujian dan pengakuan yang seharusnya dia dapatkan dari ibunya, tidak pernah datang. Rosalin tidak pernah sekalipun memujinya, seolah-olah prestasinya tidak berarti apa-apa.
Kia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi luka lama itu masih terasa sakit, membekas di hati seperti luka yang tidak pernah sembuh. Dia berharap suatu hari nanti, ibunya bisa melihatnya dengan mata yang berbeda, bisa menerimanya apa adanya. Tapi sampai saat itu tiba, Kia hanya bisa terus berjalan, mencari jalannya sendiri, dan berharap bahwa cinta dan pengakuan yang dia cari tidak hanya akan datang dari dirinya sendiri.
-
-
Malam harinya.
BRAKK….
“Berhenti!” suara Rosalin melengking dipenjuru rumah.
Kia yang sedang tertidur, terlonjak kaget ketika mendengar suara pintu dibanting. Suaranya sangat keras sekali.
“Papa masih punya anak dan masih punya tanggungan. Harusnya setelah kena PHK, papa cari kerja. Jangan kelayapan terus!”
“Papa juga lagi cari kerja, Mah. Mama pikir papa cuma main?”
“Terus mana buktinya kalau cari kerja? Masa sudah satu bulan lebih, sampai sekarang belum ada hasil?”
“Ya sabar dulu lah. Mama tau sendiri, usia papa sudah nggak produktif lagi buat mencari kerja. Nggak gampang, Mah, cari kerja di kota besar!”
“Mana bisa mama sabar. Sementara kebutuhan kita semakin menuntut?”
“Ini nih, yang buat papa nggak betah di rumah. Mama hanya bisa menuntut, tapi tidak bisa memberikan solusi!”
“Papa lah yang harus mikir semua. Papa kan kepala keluarga!”
“Ya sudah. Jual saja sawah dan kebun. Duitnya bisa buat usaha! Biar papa usaha saja?”
“Oh, ya nggak bisa. Sawah dan kebun sengaja nggak mama jual, itu untuk kebutuhan Ratu. Ingat, Pah. Kuliah kedokteran tidak murah?”
“Sudah tau nggak murah, tapi mama paksa Ratu masuk ke sana!”
“Ratu itu pinter, Pah?”
“Kia juga pinter,” Tio tak mau kalah, “Tapi mama nggak nyuruh Kia ke sana?”
Rosalin langsung kicep.
“Kelak kalau Ratu jadi dokter, dia yang akan mengangkat derajat keluarga!”
“Kia juga bisa?”
“Pokoknya nggak bisa!”
“Jangan beda-bedain anak, Mah. Masa depan seseorang, nggak ada yang tahu!”
Hening sejenak.
“Papa mau kemana?” tanya Rosalin.
“Ke rumah temen. Ada kerjaan nganter barang ke luar kota?”
“Alesan. Bilang aja mau ngelayap!”
“Terserah mama. Mama emang nggak pernah percaya sama papa!”
Di kamar—Kia sudah tak mendengar lagi suara pertengkaran kedua orang tuanya. Sepertinya papanya sudah pergi dari rumah.
********
Dengan langkah malas, Kia keluar dari kamar. Tidak ada sarapan di atas meja.
Mana mungkin mamanya membuatkannya sarapan.
Ratu tidak ada di rumah. Dia lagi pergi ke rumah nenek, ibu dari mamanya.
Sementara papanya, dari semalam belum pulang. Sudah pasti, mamanya tidak akan pernah mau, dan tak pernah sudi membuatkannya sarapan. Sejak dulu pun seperti itu
Kia mendesah pelan. Ia pun pergi meninggalkan rumah dalam keadaan perut kosong.
-
-
Kia baru saja menikmati suapan terakhir di kantin saat tiba-tiba suara Anne memecah kesunyian pagi itu.
"Kiiiii…!” teriak Anne, langkahnya cepat mendekat, membuat gadis itu hampir tersedak dan mengeluarkan batuk kecil dari tenggorokannya.
“Apa sih, Ne! Ngagetin aja!” gerutu Kia sambil menepuk dada, napasnya masih tercekat.
Anne tertawa kecil, lalu melirik ke piring Kia yang masih bersisa setengah.
“Tumben sarapan di kantin? Gak dibuatin sarapan nyokap?” tebak Anne sambil tersenyum sedih.
Kia hanya mengangguk kecil, senyumnya dibuat-buat seperti menutupi perasaannya.
“Eh, tangan lu kok kayak ada luka bakar gitu?” Anne melirik, matanya tajam menatap bekas kemerahan dan mengering di kulit punggung tangan Kia. Dengan cepat, Kia menarik tangannya ke balik meja, sembunyi-sembunyi.
"Ah, gue teledor. Kesiram air panas saat mau bikin susu.” Suaranya lirih, seperti tak ingin menimbulkan pertanyaan lebih lanjut.
Anne mengernyit, raut wajahnya berubah, seolah melihat sesuatu yang lebih dalam dari sekadar luka biasa. Tapi ia tak memaksa. Ia tahu sahabatnya telah berbohong.
“Masa?”
“Iya. Masa gue Bo'ong sih?”
Anne tak bertanya lagi, ia pun memilih untuk percaya.
“Oya, gue ada kerjaan buat elo. Tapi cuma 2 jam saja seharinya,” kata gadis itu.
“Kerja apa sehari cuma dua jam?”
“Bersih-bersih apartemen, mau?”
“Heh, serius?” Kia menyipitkan kedua matanya.
“Iya. Dari sepulang elu kuliah, sampai jam 5 sore doang? Gimana?”
Kia nampak berpikir sejenak.
“Seratus ribu perhari?” ujar Anne lagi.
“Hah, serius?” kaget Kia, seperti tak percaya.
Di kota, dapat bayaran seratus ribu sehari sudah termasuk besar, pikir Kia sambil menggeser posisi duduknya yang menegak. Apalagi dia cuma kerja dua jam saja, rasanya seperti dapat durian runtuh. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya.
"Lumayan, bisa buat bayar kuliah. Jasa desain bisa buat jajan," gumamnya dalam hati, memantapkan diri.
“Orang ini akan pulang sore ataupun malam. Nggak tentu sih. Yang jelas saat orang ini pulang ke apartemennya, apartemen harus dalam keadaan bersih dan rapi? Elo juga nggak perlu ketemu nih orang,” ucap Anne lagi.
Selama Kia menjalin persahabatan dengan Anne, ia tidak mengetahui bahwa Anne dan Regan adalah kakak beradik. Ketika Kia mengunjungi rumah sahabatnya, ia tidak pernah bertemu dengan Regan, yang merupakan dosen di universitas tempat keduanya berkuliah.
“Gimana?”
“Oke. Gue setuju,” jawab Kia.
“Oke.Nanti gue bilang ke orangnya?”
“Siapa sih? Sepupu elo?” tanya Kia.
“Hehe, ada deh….!”
Jam kuliah tinggal sepuluh menit lagi. Mereka berjalan cepat menuju kelas, langkah kaki terdengar berat di lorong kampus yang mulai ramai. Di benak mereka sudah terbayang sosok Pak Bambang, dosen galak yang tak pernah ragu memberi tugas menumpuk dan nilai sulit.
Keduanya duduk di bangku yang biasa mereka pakai, namun tatapan mereka tiba-tiba terhenti pada sosok asing yang sedang menelungkup tidur di atas meja, tepat di belakang mereka. Mereka sama sekali tidak tahu siapa pria itu.
"Siapa?" tanya Anne, dengan kodean mata. Kia mengedikan bahu. Dia benar-benar tidak tahu siapa sosok pria yang telah tertidur itu.
Anne duduk, tapi tatapannya tak lepas dari pria itu. Dia terlalu penasaran dengan sosok itu.
"Kayaknya mahasiswa baru,"bisik Anne di telinga sahabatnya.
"Nggak tau, dan nggak mau tau,"
Pintu kelas terbuka pelan, dan Pak Bambang melangkah masuk dengan ekspresi serius yang sudah dikenal semua mahasiswa. Wajahnya yang tegas dan mata yang tajam membuat suasana kelas langsung berubah. Satu per satu buku dibuka, tangan mereka bergerak cepat menata catatan, seolah-olah mereka sedang bersiap menghadapi badai.
Suasana kelas yang tadinya ramai dan santai, kini berubah menjadi tegang dan penuh konsentrasi. Beberapa mahasiswa terlihat cemas, ada yang menelan ludah berat, seakan-akan pelajaran dari Pak Bambang adalah sesuatu yang mengerikan.
Pak Bambang memandang sekeliling kelas dengan mata yang tajam, seolah-olah memeriksa kesiapan mahasiswa-mahasiswanya. Suaranya yang berat dan tegas terdengar saat dia mulai berbicara, "Baiklah, hari ini kita akan membahas tentang...".
Mahasiswa-mahasiswa yang sudah siap dengan pena dan buku catatan mereka, memperhatikan dengan seksama setiap kata yang keluar dari mulut Pak Bambang.
Beberapa mahasiswa yang duduk di barisan depan terlihat sangat fokus, mereka mencatat setiap poin penting yang disampaikan oleh Pak Bambang. Sementara itu, mahasiswa-mahasiswa yang duduk di barisan belakang terlihat sedikit lebih santai, meskipun mereka juga berusaha untuk memperhatikan.
Lalu tatapan nya menoleh ke arah meja dimana di sana ada seorang mahasiswa yang tengah tertidur, menelungkup kan mukanya ke meja.
"Siapa itu yang tidur?" serunya, nada suaranya kencang sekali.
"Sssstttt, bangun woiii....! Dosen sudah masuk ke kelas?" ucap Anne, berusaha membangunkan pria itu.
"Hey, bangun!" teriak dosen itu dengan suara melengking yang menggema di ruang kelas.
Tiba-tiba, pria yang sedang terlelap terjaga, matanya membelalak kaget. "Oke, lemon tea segera datang......," ucapnya setengah ngantuk, tanpa sadar suaranya meluncur tiba-tiba.
Seketika itu juga, gelak tawa mahasiswa dan mahasiswi pecah memenuhi ruangan, menciptakan suasana riuh yang sulit diredam.
Bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Mintarti
ntar lulus kedokteran ratu belum tentu laku
2025-11-04
0