Bab 2

"Hanya demi dia, papa tega marahi mama!" seru Rosalin, "Bentak mama....!"

"Karena kamu sudah keterlaluan Ma....?" Tio menghela nafasnya berat, "Kamu sangat keterlaluan!"

"Keterlaluan apa? Aku bicara sesuai fakta....!"

"Hentikan Ma....!" kesal Tio.

Rosalin kesal bukan main .

Tio juga sama, daripada semakin runyam --- ia pun pergi meninggalkan meja makan, serta meninggalkan rumah.

Rosalin menatap tajam ke arah Kiara, matanya memerah penuh kebencian yang sulit dibendung. Rasa sakit dan dendam menggunung di dada, memaksa tangannya menggenggam sup panas itu dengan erat. Tanpa ragu, ia tumpahkan cairan itu ke tubuh Putrinya.

Jeritan Kia meledak, menyayat kalbu dengan rasa panas pada kulit. Isak tangisnya pecah, mengisi udara dengan pilu yang menusuk—namun Rosalin tetap teguh, hatinya sudah membeku, tanpa setitik belas kasih.

Ratu menatap lekat-lekat saat kuah panas itu tumpah ke dada adiknya. Matanya melebar, jantungnya berdebar kencang. Tapi anehnya, di balik kejutan itu, ada kilatan senyum yang tak bisa disembunyikan. Melihat adiknya meringis kesakitan seolah menghapus sedikit rasa kecewa.

Rosalin memanggilnya dengan suara tenang, "Ayo, Sayang. Kita makan di luar aja!" ajak Rosalin pada putrinya yang lain.

Sementara itu, Kia berjalan terseok menuju kamar, tubuhnya yang terasa panas membuat langkahnya berat. Tangannya gemetar saat mencoba merendam kulit yang perih itu ke dalam baskom berisi air dingin, berharap rasa perih segera mereda.

Kenapa Tuhan? Kenapa mama begitu benci gue? gue salah apa? Gue salah apa?

Sejak kecil sampai sekarang, perlakuan mama ke gue beda. Dia lebih sayang Ratu daripada gue?

Hampir setiap hari, Tuhan. Setiap hari....!

Kalau kayak gini lebih baik gue mati aja. Gue enggak berharap di lahirin, Tuhan.....

*****

"Nyokap elo nggak waras! Sebenarnya---dia itu beneran nyokap kandung lu bukan sih?" marah Anne melihat sahabatnya luka-luka di sekujur tubuhnya.

"Kata papa, dia nyokap kandung gue kok?" sahut Kia menundukkan kepala.

Anne adalah orang yang paling dekat dengannya. Sudah seperti saudara sendiri. Mereka berteman semenjak duduk di bangku SMA.

"Kalau bener nyokap kandung elu, nggak mungkin dia tega ngelakuin ini. Ini sudah termasuk tindakan kriminal?" geramnya.

"Ne, nyokap gue kayak gini karena dia frustasi. Bokap kena PHK. Sementara nyokap gue harus kerja banting tulang membantu pengeluaran rumah tangga. Mungkin dia frustasi karena hal tersebut?" bela Kia. Dia meringis menahan sakit.

"Ya ampun, Ki. Kalau cuma alasan itu, nggak tiap hari kali lu kenapa penganiayaan!" kata Anne. Menggebu-gebu.

Hening sejenak.

"Ne, gue butuh kerja. Elo ada Chanel nggak?" tanya Kia.

"Hah, serius elo mau kerja?"

"Heum. Kerja apa aja, Ne. Yang penting part time kerjaannya?"

"Emmmm, apa ya?" nampak Anne sedang berpikir.

"Nanti gue tanya-tanya deh!"

"Oke, gue tunggu ya, Ne?"

"Siap. Kalau ada kerjaan, gue lansung kasih tahu elu?"

"Okeh. Thanks, Ne!" saking senangnya, Kia memeluk Anne. Sontak orang-orang yang berada di kantin langsung menatap mereka aneh.

"Elo sih, Ki. Kita jadi pusat perhatian kan?"

Keduanya pun tertawa.

"Ya elah, senyum kek?"

"Nggak bisa. Senyum gue mahal!"

"Anne- elo dipanggil Pak Regan!"

-

-

Tok...Tok...Tok

"Masuk!" ucap seseorang dari dalam. Suaranya tegas.

Langkah Anne ragu---namun tetap maju. Kini ia berdiri di hadapan dosen yang memang galak dan tegas itu, alias Abangnya sendiri.

Reygantara Sasmita. Sosok yang memikat dengan wajah tampan dan aura percaya diri yang tak terbantahkan. Meski usianya masih muda, gelarnya sebagai dosen termuda di kampus membuatnya menjadi pusat perhatian para mahasiswi dan dosen wanita. Bukan hanya karena kecerdasannya yang tajam, tapi juga karena ketegasan yang terpancar dari setiap kata dan langkah — seakan-akan dia telah menaklukkan dunia bahkan sebelum ia benar-benar memulainya.

"Apa apa, Bang?" tanya Anne mendudukkan dirinya di sofa, padahal sang Abang nya belum mengizinkannya duduk.

"Kamu tahu kenapa Abang panggil kamu ke sini?" tanya dosen itu. Tatapannya tegas, tak terbantahkan.

"I-iya, Tau. Paling soal tugas kan?" kata gadis itu dengan santainya, "Tugas gue belum jadi, Bang. Entar deh, di rumah gue serahin. Eh, iya, elo kan hari ini pindah ke apartemen ya?" kelakar gadis itu, "Gue samperin ke apartemen aja deh?"

"Jangan karena Abang itu Abang kamu, kamu jadi seenaknya ya, Ne! Kamu tuh mau Abang kasih nilai D?"

"Jangan dong, Bang. Masa sama adek sendiri seperti itu?"

"Tapi tetep kamu mahasiswi abang!"

"Ih, Abang.....!"

"Besok harus selesai. Kalau nggak, jangan salahkan abang kasih nilai jelek sama kamu?"

"Dasar pelit! Sama adek sendiri begitu?" balas Anne, mengerucutkan bibirnya.

"Boda amat. Abang kasih tau mama, baru tahu rasa!"

"Dasar tukang ngadu.....!"

"Oya, Bang. aku mau tanya dong?"

"Tanya apa?"

"Abang punya kenalan temen yang lagi butuh karyawan part time?"

Regan menurunkan kacamatanya, lalu menatap adiknya dengan intens.

"Kamu mau kerja part time?" tanya pria itu.

"Bukan buat gue. Tapi buat temen gue?"

"Oh, si cengeng Kia?"

"Ish, jangan gitu, Bang! Jatuh cinta tau rasa!" sungut gadis manis itu, "Ada nggak?"

"Kalau part Time sih nggak ada. Kalau dua jam mungkin ada?" kata Regan, nampak terlihat serius.

"Hah, kerjaan apa?"

"Bersih-bersih....!"

"Ih, Abanggggggggggg.....!!!!"

********

Brugh....

"Eh, sorry!" ucap Kia, engga sengaja nyenggol lengan seorang pria sampai obat-obatnya terjatuh ke lantai.

"Nggak apa-apa,"

"Gue bantuin?"

Kia dengan sigap hendak membantu memunguti obat-obat itu, namun dengan gerakan cepat si pria langsung menepis tangannya.

"Nggak usah. Gue bisa sendiri," jawab Si pria terdengar menyebalkan. Lalu tanpa kata si pria langsung pergi meninggalkan Kia yang masih termangu.

Keluar dari ruangan dokter, Kia melangkah menuju tempat pengambilan obat dengan langkah pelan. Tangannya otomatis meraih ponsel, berharap ada pesan penting yang menghibur hatinya, tapi layar tetap kosong tanpa kabar. Dengan napas berat, ia menyimpan ponselnya kembali ke dalam tas.

Tatapannya tiba-tiba terhenti, menyorot sosok yang begitu familiar. Postur tubuh itu sulit ia lupakan, seperti terpatri di ingatan. Tapi ada yang membuatnya tercengang—sosok itu berdiri dekat perempuan muda dengan perut buncit, seolah merangkul masa depan yang baru. Mata Kia melebar, jantungnya berdegup tak menentu.

"Itu ..... !" Kia hendak mengejar sosok itu, namun tiba-tiba suara petugas apotek memanggilnya. Terpaksa Kia mengurungkan niat untuk memanggil sosok itu.

*****

Minggu pagi, suara gaduh kembali memenuhi rumah. Kia terbangun oleh teriakan yang tajam, suaranya menusuk telinga seperti pisau. Dari ruang tamu terdengar sumpah serapah yang dilontarkan mamanya ke papanya dengan suara bergetar penuh kemarahan. Bunyi barang pecah belah menghancurkan keheningan, disusul tangisan pelan yang membayang di antara jeritan mereka. Kia meremas selimutnya, tubuhnya gemetar takut.

Tak heran, pagi ini Ratu sudah tidak ada di kamar; mamanya membawa adiknya mengungsi ke rumah nenek, mungkin sengaja menjauhkan mereka dari badai pertengkaran itu. Hati Kia sesak, berharap semuanya bisa berhenti sejenak.

Namun saat suara langkah papanya menghilang di ambang pintu, pertengkaran pun mereda. Tapi wajah Mamanya tak juga menampakkan ketenangan—alih-alih, kerut kesal masih membekas di dahi. Tatapannya menyipit penuh amarah yang tak terucap. Sementara Kia, yang tengah dudu dikursi yang ada di kamarnya, tak bisa menghindar jadi sasaran pelampiasan kemarahan mamanya.

Rosalin memukulnya dengan membabi-buta, sebagai pelampiasan karena rasa kesal di dadanya. Kia diam, dia tak melawan. Menjadi bulan-bulanan mamanya sejak dulu sudah biasa.

Dulu, papanya yang sering membela, namun setelah di-PHK, pria itu jarang di rumah, entah apa yang dilakukan papanya di luar sana. Pria yang menjadi cinta pertamanya itu seperti sedang menjauh dan menyendiri.

Kia tersenyum kecil, namun senyum itu tak mampu menyembunyikan kepedihan yang merayap dalam dada. Luka kemarin masih menganga, tapi kini ada luka baru yang lebih dalam, tak terlihat di permukaan tubuhnya. Hati Kia berdarah, terluka oleh orang yang seharusnya merangkulnya dengan cinta dan kasih sayang. Namun kenyataan malah berbalik; setiap harinya, yang dia terima hanyalah deretan luka yang menusuk jiwa. Rasa sakit itu menggerogoti harapannya, meninggalkan kegersangan di tempat seharusnya tumbuh kebahagiaan.

Sementara Ratu—pasti sedang bahagia bersama neneknya, ibu dari mamanya, yang sangat menyayanginya. Apalagi Ratu termasuk cucu kesayangan nenek karena berhasil masuk universitas kedokteran. Nenek tentu semakin sayang padanya, berbeda dengan dirinya yang memilih jurusan desain grafis. Dia selalu dipandang sebelah mata oleh semua orang.

Bersambung....

Komen dong....

Hehehehe.....

Terpopuler

Comments

Aditya hp/ bunda Lia

Aditya hp/ bunda Lia

itu apa papanya kia punya istri muda?
KIA kalo udah dapet kerja mnding keluar ahaj dari rumah hidup mandiri diluar daripada di siksa terus ... 🥺

2025-10-11

0

Mintarti

Mintarti

nasib baik tk ada yg tau sabar kia Alloh pd saatnya akan angkat derajat mu

2025-11-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!