.... ...
.... ...
.... ...
Beberapa hari berlalu. Anin melakukan pekerjaannya dengan baik dan membuat Arkan sangat puas dengan kinerja Anin.
Arkan turun dari mobilnya ketika mobil mahal dan mewahnya berhenti di halaman kediamannya. Langkahnya tenang memasuki rumah. Kean yang memang sudah menunggunya sejak tadi langsung berlari dan melompat dalam gendongan Arkan.
"Papa bau, Kean. Belum mandi."
Anak itu terkekeh pelan. "Siapa bilang? Papa tidak bau. Kean suka."
Bergantian Arkan yang terkekeh pelan dan semakin mengeratkan pelukannya pada tubuh Kean. "Kalau ada Mama, dia pasti marah saat Papa langsung menggendong mu seperti ini. Katanya papa kotor, harus bersih dulu kalau mau gendong Kean."
Sekali lagi Kean terkekeh. Anak itu menyusupkan wajahnya ke ceruk leher Arkan sambil merasakan Papanya berjalan menaiki tangga ke lantai atas.
Arkan membawa Kean ke kamarnya lalu menurunkan anak itu ke atas ranjang besar miliknya. Kean duduk manis di sisi ranjang sambil menatap Papanya yang berjongkok di hadapannya.
"Papa."
"Hm?"
"Seperti apa Mama? Kean juga mau lihat Mama Kean," ujar anak itu.
Arkan tersenyum tipis. Tangannya terulur mengusap pelan puncak kepala anaknya. Tatapannya lembut menatap anak manis itu.
"Mama sangat cantik. Dia sangat sayang sama Kean, sama Papa, sama semua keluarga. Dia tidak pernah membedakan siapa pun. Dia sangat baik. Tapi, Kean ingat kan Papa bilang apa? Mama sekarang tinggal di surga."
Kean menarik nafas lalu menghembuskannya. Lalu, anak itu mengangguk pelan. "Kean ingat, Papa."
"Anak pintar. Sekarang, tugas kita adalah berdoa untuk Mama." Kean sekali lagi mengangguk. "Sekarang, Kean duduk di sini, Papa mau bersih-bersih dulu."
"Oke, Papa."
Arkan tersenyum tipis lalu bergegas untuk membersihkan diri. Beberapa saat kemudian, Arkan keluar dari kamar mandi dan langsung menghampiri putranya usai berpakaian.
"Kean lapar, Papa."
Arkan menepuk pelan puncak kepala putranya. "Ayo, kita makan."
"Ayo."
Ayah dan anak itu langsung menuju ruang makan. Sudah ada makanan yang terhidang di meja. Seperti biasa, Arkan mengambil makanan untuk putranya. Keduanya makan sambil di selingi pertanyaan-pertanyaan kecil yang diajukan Arkan pada putranya.
Hingga makan malam mereka usai, Arkan meminta Kean untuk belajar di kamar bersama salah satu art yang menemaninya. Sementara dirinya harus menyelesaikan beberapa pekerjaannya di ruang kerja.
Setelah pekerjaannya selesai nanti, dia akan menemani Kean. Kean pun setuju. Keduanya pun mulai menjalankan aktivitas masing-masing.
Namun, setelah beberapa saat berlalu, Arkan hanya diam menatap beberapa berkas yang tergeletak di atas meja kerjanya. Pulpen yang berada di antara jari-jarinya terus ia mainkan. Pikirannya dipenuhi bayang-bayang Anin dan Charissa.
Sial!
Arkan mengumpat dalam hati. Satu minggu bekerja bersama Anin di kantor sudah mampu mempengaruhinya secepat ini.
"Papa?"
Ah, Arkan sampai lupa, dia seharusnya cepat menyelesaikan pekerjaannya hingga bisa menemani Kean tidur. Tapi, belum ada satupun dari berkas-berkas itu ia kerjakan. Sejak tadi dia hanya bergelut dengan pikirannya.
"Sini, Sayang." Kean mendekat dan langsung digendong Arkan ke atas pangkuannya.
"Papa belum selesai?"
"Sudah. Kean mau tidur sekarang?"
Anak itu mengangguk pelan. "Ayo, Papa temani."
Arkan langsung beranjak sambil tetap menggendong Kean. Seperti biasa, dia akan menemani Kean hingga tertidur.
***
Suara gaduh di ruang makan rumah Arkan membuat Arkan yang baru mendekat ke arah meja makan mempercepat langkahnya. Tangannya dengan lembut menggenggam tangan Kean yang juga hendak ke ruang makan untuk sarapan bersama.
Arkan berhenti, menatap datar ke arah dua orang yang sedang beradu mulut.
"Apa yang kalian lakukan?" Suara dingin Arkan memenuhi ruang makan tersebut.
Terkejut. Dua wanita dengan perbedaan usia 8 tahun itu langsung terdiam. Vanesha dan Bi Asti, dua wanita yang tadinya berdebat itu sama-sama menunduk.
"Kalian dengar Saya?"
"Arkan."
"Tuan."
Arkan mendengus pelan. Dia melirik putranya yang juga memasang raut tak suka. Sepertinya Kean pun tak suka ada keributan di rumahnya sepagi ini.
Mengabaikan keduanya, Arkan membawa Kean ke arah kursi dan membiarkan putranya duduk disana. Ia pun ikut duduk di kursi yang biasa ia tempati.
Sementara itu, Vanesha mendelik tajam ke arah art Arkan yang juga sedang melirik ke arahnya.
"Wanita sialan!" gumam pelan Vanesha sebelum akhirnya mendekat ke arah meja makan, lebih tepatnya ke arah tempat duduk Arkan.
"Arkan, aku minta maaf sudah mengganggu pagi mu. Aku datang hanya untuk membawakan sarapan untuk mu dan Kean. Tapi, wanita itu malah melarang ku menyajikan sarapan yang ku bawa untuk kalian. Dia marah-marah dan berteriak padaku. Tentu saja aku tidak—"
"Diamlah, Vanesha!"
Wanita itu seketika bungkam. Dia menggeram kesal dalam hati. Selalu seperti ini. Arkan selalu dingin padanya.
"Maaf. Tapi, kau mau mencoba memakan sarapan yang ku bawa, kan?"
"Saya tidak ingin sarapan apapun."
Vanesha tersenyum kaku. Ingin memaksa, tapi ia takut Arkan marah dan berakhir dia di usir dari rumah itu.
Vanesha mencoba cara lain. Ia melirik Kean yang masih belum mengisi sarapannya ke piring. Segaris senyum tipis tak terlihat tersungging di wajah Vanesha.
"Kean, kau mau sarapan, kan? Tante ada bawa makanan—"
"Maaf, Tante. Aku lebih suka masakan Bi Asti. Masakannya semuanya enak."
Ketika mendengar Kean menyebut namanya dan memuji masakannya, Bi Asti mengulum senyum. Wanita yang sudah bekerja hampir 8 tahun di rumah Arkan itu merasa sangat senang.
Sedangkan Vanesha, dia merasa sangat kesal pada Kean. Kenapa mulut anak itu lancang sekali memuji pembantu seperti Bi Asti? Sangat menyebalkan.
"Ya sudah kalau Kean tidak mau. Tante tidak akan memaksa. Kean makan saja apa yang Kean suka." Vanesha tersenyum tipis, senyum paksa yang ia usahakan senatural mungkin.
Kean tak menjawabnya. Anak itu memilih fokus menghabiskan sarapannya. Sementara Arkan, dia memilih membaca kembali file yang Anin kirimkan padanya se-jam lalu.
Vanesha tentu saja merasa di abaikan. Dan di sela-sela rasa kesalnya, ia malah membuat kesalahan dengan melirik ke arah Bi Asti yang sengaja lewat di sekitar nya. Wanita yang lebih tua darinya itu ternyata sedang menertawakannya. Sialan!
"Papa, Kean sudah selesai." Anak itu mengusap pelan bibirnya sebelum melompat turun dari kursi. Arkan juga beranjak, mendekati putranya dan menggandeng anak itu berjalan menjauh dari ruang makan. Sebelum itu, Kean menerima tas nya yang sudah dimasukkan kotak bekal oleh Bi Asti.
Vanesha yang melihat keduanya pun ikut beranjak. Ia menyudahi sarapannya yang baru ia habiskan beberapa suap.
"Arkan! Kean! Tunggu!" Vanesha berteriak. Berlebihan. Seharusnya tidak perlu berteriak sebab jarak mereka cukup dekat.
"Arkan, Kean, kalian dengar—"
"Kau terlalu berisik!" balas Arkan tak ramah. Dia melirik tajam Vanesha, lalu mengabaikan wanita itu. Tangannya bergerak membuka pintu mobil di sebelah pengemudi untuk Kean. Arkan memasangkan sabuk pengaman untuk Kean, lalu menempati kursi pengemudi.
Dia pelan mendengus saat pintu belakang mobil terdengar ditutup. Tanpa harus menoleh, ia tahu siapa yang menyelonong masuk tanpa meminta izin.
"Tante kenapa masuk mobil Papa?" Kean bertanya dengan sedikit nada tak suka.
"Tante menumpang sama Papa Kean. Sekalian Tante ingin ikut mengantar Kean ke sekolah."
Pasti ingin mengganggu Papa.
Kean berdecak pelan dalam hati. Malas juga meladeni Vanesha. Lebih baik dia diam daripada membalas ucapan wanita itu. Apalagi Vanesha itu licik juga. Kemungkinan ia untuk menang saat beradu mulut dengan Vanesha sangat kecil.
Mobil Arkan pun melaju menuju sekolah Kean. Sengaja memang Arkan tak menggunakan supir untuk mengantar. Dia sedang ingin menyetir sendiri.
"Kean sudah belajar apa saja di sekolah?" Vanesha mencoba memulai obrolan dengan Kean. Untuk mendapatkan Arkan, dia harus mendapatkan hati Kean terlebih dahulu.
Namun sayang, pertanyaannya hanya seperti angin lalu. Kean tak sedikitpun meresponnya.
Anak sialan! Kean ini sama kerasnya seperti Arkan. Maki Vanesha dalam hati.
Mobil Arkan berhenti tepat di depan sekolah taman kanak-kanak. Arkan turun lalu membukakan pintu untuk putranya. Kedua lelaki beda usia itu benar-benar mengabaikan Vanesha. Arkan mengantar Kean hingga ke depan gerbang, lalu membiarkan putra nya ke kelas sendiri.
Beberapa saat memperhatikan putranya dari kejauhan, Arkan kembali ke mobil. Ketika pintu mobil ia buka, tatapannya langsung berubah dingin. Vanesha, wanita itu benar-benar menguji kesabaran nya.
"Kenapa bengong? Ayo, masuk." Suara Vanesha dibuat selembut mungkin sambil tersenyum manis pada Arkan. Sungguh, Arkan sangat muak melihat wanita itu.
"Saya peringatkan kau untuk jangan macam-macam. Saya tidak akan segan menyakiti mu jika kau berani berulah."
"Tidak akan," jawab Vanesha masih mempertahankan senyumnya.
Arkan mendengus pelan kemudian mulai melajukan mobilnya. Vanesha yang berada di sebelahnya menahan senyum. Awalnya Vanesha menjadi wanita penurut yang hanya diam sesuai peringatan Arkan tadi. Tapi, saat mobil Arkan berhenti di lampu merah, Vanesha mulai menjalankan aksinya.
Dia bergeser lebih dekat pada Arkan, lalu tangannya mulai menyentuh paha Arkan.
"Apa yang kau lakukan sialan!" Arkan marah. Ia menyentak kuat tangan Vanesha untuk menjauh darinya.
Bukannya takut, Vanesha malah terkekeh. Ia melepaskan seatbelt dan mencondongkan tubuh sepenuhnya pada Arkan. Tangannya kembali bergerak menyentuh paha Arkan, hampir saja mengenai pangkal paha lelaki itu.
Tapi, Arkan dengan kasar mendorong tubuhnya hingga terbentur pintu mobil. Dengan kemarahan yang membuncah, Arkan turun dari mobil dan menarik paksa Vanesha keluar dari mobilnya.
"Arkan—"
Brak!
Arkan menutup pintu mobilnya dengan keras, lalu melajukan kendaraan tersebut meninggalkan Vanesha ketika lampu lalu lintas berubah hijau.
.... ...
.... ...
.... ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments