.... ...
.... ...
.... ...
Ketukan pintu yang terdengar tak menghentikan gerak tangan Arkan membubuhkan tanda tangan pada sebuah dokumen. Pandangannya serius, tak sedikitpun teralihkan bahkan ketika bibirnya mengucapkan kata "masuk".
Anin yang berada di balik pintu pun segera mendorong pelan pintu dan melangkah masuk. Langkahnya teratur mendekat pada Arkan yang masih saja begitu serius pada dokumen di tangannya.
"Permisi, Pak. Ini dokumen laporan pemasaran."
"Ya, letakan saja." Arkan sedikit mengangkat pandangannya menatap Anin yang mulai meletakkan dokumen yang dipegang nya ke atas meja.
"Saya juga hendak mengingatkan jika setengah jam lagi anda memiliki jadwal bertemu klien."
"Saya ingat," jawab Arkan lalu mengalihkan tatapannya dari Anin.
Anin mengangguk pelan. Setelah itu, ia keluar dari ruangan Arkan, kembali ke ruangannya dan mulai melanjutkan pekerjaannya.
Arkan kembali mengangkat wajahnya, menatap ke arah pintu yang tertutup. Jantungnya berdetak aneh sejak mendengar suara Anin dibalik pintu sebelum wanita itu masuk.
Kecuali rambut sebahu dan kacamata yang bertengger di wajah, semua yang ada pada diri Anin memiliki kesamaan dengan mendiang istrinya.
Lama Arkan terdiam, larut dalam pikirannya, pintu ruangannya kembali diketuk. Arkan tersadar dan langsung membiarkan orang yang tak lain adalah Anin untuk masuk.
Anin kembali mengingatkan bahwa pertemuan dengan klien akan berlangsung sepuluh menit lagi. Arkan hanya mengangguk. Melepaskan semua pekerjaannya, Arkan berdiri dan merapihkan jas yang ia kenakan. Langkahnya kemudian terayun meninggalkan kursi menuju pintu ruangan yang tertutup.
"Kau turunlah ke lobi. Sambut mereka," ujar Arkan ketika melewati Anin.
"Baik, Pak."
Jawaban Anin membuatnya spontan menghentikan langkahnya. Tangannya yang hendak meraih gagang pintu hanya bisa mengudara.
"Tidak. Kau ikut saya ke ruang meeting A. Sebelum itu, kabarkan resepsionis untuk salah satu dari mereka mengantar klien ke ruang meeting A."
"Baik, Pak." Tanpa banyak bertanya ataupun membantah, Anin langsung menyanggupi ucapan Arkan. Segera ia mengikuti langkah Arkan keluar dari ruangan lelaki itu. Dengan cepat ia ke ruangannya dan mengabarkan pada resepsionis sesuai yang diperintahkan Arkan.
Wanita itu kemudian menyusul Arkan ke ruangan meeting A—ruangan yang sering Arkan gunakan untuk pertemuan kecil bersama kliennya.
***
Pertemuan dengan klien yang berakhir dengan pembahasan rencana kerjasama antar kedua perusahaan pun berjalan dengan baik. Arkan dan Anin kembali ke ruangan masing-masing usai mengantarkan klien.
Arkan duduk di kursi kebesarannya sambil kedua tangan menopang kening. Ada yang aneh. Dia merasakan keanehan itu terutama pada dirinya sendiri. Dia tak suka Anin berinteraksi dengan pria lain, seperti saat Anin menyapa kliennya tadi.
"Apa-apa an aku ini?" gumamnya pelan. Belum genap sehari Anin bekerja, tapi sudah mampu membuat perasaannya tak tenang.
Berusaha mengenyahkan semua pikiran dan perasaan yang melingkupi dirinya, Arkan meraih kembali salah satu dokumen yang tergeletak di atas meja. Dengan teliti Arkan menyusuri setiap detail tulisan dalam dokumen tersebut.
Hingga tiba-tiba, dering telpon di atas mejanya membuyarkan semua fokusnya.
"Katakan," ucap Arkan tanpa basa basi.
"Maaf, Pak. Sudah waktunya makan siang. Ingin saya pesan kan sesuatu atau—"
"Pesan kan. Lalu antar ke ruangan saya."
"Baik, Pak."
"Makanan apa saja, tapi tidak boleh yang pedas."
"Baik, Pak."
"Hm." Setelah itu Arkan mengakhiri panggilan secara sepihak.
Ia meletakkan kembali telpon dan menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Cukup lama ia melakukannya hingga Anin datang membawa makan siang untuknya.
Arkan menegakkan tubuhnya kemudian berjalan ke arah sofa. Anin yang baru saja usai meletakkan makanan di atas meja langsung berpamitan pada Arkan.
"Kau sudah makan?" Satu pertanyaan dijadikan balasan oleh Arkan pada ucapan pamit yang Anin lontarkan. Kalimat itu, ia mengatakannya tanpa sadar. Dia sendiri bahkan merasa cukup terkejut dalam hati.
"Belum, Pak."
Arkan langsung mengangkat wajahnya menatap Anin. Hampir saja dia berbicara panjang lebar menceramahi Anin untuk tidak menunda makan. Tapi, ia dengan cepat sadar, wanita yang berdiri di hadapannya ini adalah Anin, bukan Charissa—istrinya—yang sering sakit perut ketika melewati jam makannya.
Arkan menarik pelan nafas dan mulai meraih makanannya. Padangannya pun tak tertuju pada Anin lagi. Namun, bibirnya masih ingin berbicara pada wanita itu.
"Pergilah. Cepat dapatkan makan siang untuk mu. Jangan sampai kau sakit karena melewatkan jam makan mu. Saya tidak suka bekerja dengan orang sakit."
Anin tersenyum tipis, terlihat sedikit dipaksakan. Wanita itu lalu menundukkan kepalanya lantas berpamitan pada Arkan.
"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi."
Tak ada tanggapan lagi dari Arkan. Wanita itu lalu berbalik meninggalkan ruangan Arkan menuju ruangannya.
Mengambil handphone, Anin lalu menuju kantin kantor. Suasananya cukup ramai oleh karyawan-karyawan kantor. Sangat berbeda dengan kantin di tempat sebelumnya ia bekerja. Tidak ada kegaduhan saat mengantri makanan. Semuanya tertib. Dan itu membuatnya kagum.
Di saat Anin mengagumi suasana kantin, ada beberapa karyawan dan karyawati yang mengagumi parasnya, bahkan ada segelintir orang yang menyebutnya mirip seperti mendiang istri Arkana Hendrawan Kusuma—Bos mereka.
"Hai." Anin sedikit terkejut saat seseorang lelaki menyapanya. Namun begitu, ia tetap memberikan senyum pada orang yang tak ia kenal tersebut.
"Hai," balas Anin.
"Kau sekretaris Pak Arkan, kan? Tadi aku melihatmu bersama Pak Arkan."
"Iya, saya sekretaris Pak Arkan."
"Perkenalkan, saya Yoris. Dari divisi pemasaran." Lelaki itu mengulurkan tangannya sebagai bentuk perkenalan pada Anin.
"Saya Anin," balas Anin seperlunya. Wanita itu membalas uluran tangan Yoris selama beberapa detik, lalu melepaskannya.
"Semua makanan di kantin ini enak. Tapi, ada beberapa yang menurut saya paling enak. Mau saya bantu ambilkan?"
Anin tersenyum canggung. "Terima kasih, tapi itu tidak perlu."
Lelaki itu mengangguk pelan. Setelahnya, diantara keduanya tidak ada pembicaraan lagi. Beberapa saat menunggu, tiba giliran Anin mengambil makanannya. Lelaki yang bernama Yoris tadi sudah lebih dulu mencari tempat duduk.
Ketika Anin selesai mengambil makanannya, Yoris segera memanggil agar Anin duduk bersamanya. Seharusnya Anin menolak karena merasa tak enak. Tapi, melihat kondisi kantin yang ramai dan semua tempat duduk dipenuhi karyawan, Anin akhirnya memutuskan duduk bersama Yoris.
***
Usai makan siang yang diiringi obrolan kecil bersama Yoris, Anin kembali ke ruangannya. Pekerjaannya cukup banyak. Dia harus segera menyelesaikannya agar pekerjaannya tak menumpuk.
Ketika baru saja ia menempati kursi di ruangannya, telpon yang ada di atas meja kerjanya berdering. Wanita itu dengan cepat menjawab panggilan telpon tersebut.
"Ke ruangan saya, Anin," ujar seseorang dari seberang telpon.
"Baik, Pak." Setelah jawaban Anin, panggilan langsung diakhiri oleh Arkan.
Wanita cantik itu segera ke ruangan Arkan. Saat sampai, dia menemukan box bekas makan Arkan masih tergeletak di atas meja sofa. Lelaki itu juga masih duduk di sofa, sambil menatap layar handphonenya.
"Ambilkan dokumen di atas meja itu."
Anin menoleh ke atas meja kerja Arkan. Ada beberapa dokumen, ia bingung dokumen mana yang Arkan maksud. Seolah mengerti dengan kebingungan Anin, Arkan mengalihkan tatapannya dari handphone dan menatap ke gadis itu.
"Map warna merah."
"Baik, Pak." Anin langsung menuju meja Arkan, membawa map merah tersebut ke arah Arkan.
"Dokumen itu, buatkan file digitalnya lalu kirimkan ke saya."
"Baik, Pak."
"Ya sudah. Kau boleh keluar."
Anin mengangguk. Tapi, saat ia hendak berbalik, ia malah teringat akan box bekas makanan Arkan yang masih tergeletak. Hal itu membuat Arkan mengerutkan keningnya melihat Anin tak jadi berbalik dan keluar dari ruangannya.
"Kenapa?"
"Maaf, Pak. Apa Pak Arkan sudah selesai makan siang?"
Arkan melirik box bekas makanannya, lalu kembali menatap Anin. "Kau ingin makan?"
"Hah? Ti-tidak, Pak. Maksud saya, saya mau bereskan."
Arkan terkekeh pelan. Reaksi Anin telihat begitu lucu. Dan itu membuatnya teringat pada reaksi-reaksi lucu mendiang istrinya dulu.
"Kenapa Pak Arkan tertawa?" tanya Anin merasa aneh. Ini pertama kalinya ia melihat Arkan terkekeh seperti itu.
"Kau lucu," jawab Arkan apa adanya. Anin terdiam. Sekarang ia jadi tahu sesuatu, Arkan tak se-menyeramkan rumor yang beredar.
"Sudah. Tidak perlu kau bersihkan. Lakukan pekerjaanmu, ini urusan OB."
"Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi."
"Hm."
.... ...
.... ...
.... ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments