NovelToon NovelToon

Bring You Back

Pertemuan

Seorang wanita berusia 23 tahun berjalan cepat memasuki sebuah ruangan sambil menggendong bayinya yang berusia 1 tahun. Bibirnya tersenyum tipis menatap sang suami yang tengah serius membaca sebuah dokumen.

"Ar," panggilnya lembut, berhasil menarik perhatian Arkan. Dokumen dalam genggamannya ia tinggalkan, beralih pada sang istri dan putranya.

Mata tajamnya menelisik istrinya—Charissa—dari atas hingga ke ujung kaki. Wanita dengan panjang rambut sebahu dan kacamata bertengger di wajah itu sudah begitu rapih.

"Kenapa?" tanya wanita itu dengan kening mengerut.

"Kau ... jadi ikut?"

"Hm." Charissa mengangguk.

"Aku rasanya tidak rela kau ikut—"

"Ar, kau serius? Kau tidak kasian sama Mama? Dia sendiri yang minta aku ikut ke acara amal itu. Ini pertama kalinya. Mama tidak pernah meminta ini itu pada kita, kan? Aku yakin, Mama kalau tidak sedang sakit pasti akan menghadiri acara itu tanpa perwakilan."

Arkan menarik nafas panjang. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Perasaan tak enak, khawatir dan gelisah. "Perasaanku tak enak," ungkapnya.

"Hanya perasaan mu." Charissa tersenyum. "Pak Mat sudah menunggu. Aku harus berangkat sekarang. Mama sudah di perjalanan kemari. Dia akan bantu kau menjaga Kean."

"Kean tidak cocok dengan Mama, kau tahu itu."

Charissa menarik nafasnya. "Mama datang bersama seorang pengasuh."

"Tidak perlu. Aku tidak jadi di rumah. Aku ke kantor saja bersama Kean."

Charissa terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah. Kalau begitu, aku titip Kean. Aku akan segera pulang begitu acaranya selesai." Charissa mencium seluruh wajah putranya, kemudian menyerah kan bayi tersebut pada Arkan.

Arkan menghembuskan nafasnya sedikit kasar. Ia menggendong Kean, lalu memeluk sang istri sambil mengecup puncak kepala wanita itu.

Keduanya kemudian bersama-sama menuju halaman depan. Charissa segera memasuki mobil ketika Pak Mat sudah membukakan pintu untuk dirinya.

Arkan menarik nafas dan menghembusnya. Sudah beberapa kali ia melakukan hal tersebut, namun masih tak bisa menyamarkan ingatannya tentang sang istri, tentang hari dimana ia kehilangan istrinya dalam insiden kecelakaan, tentang seperti apa perasaannya saat itu sebelum Charissa berangkat ke acara amal.

Masih ia ingat dengan jelas, bagaimana putranya menangis usai Charissa dimakamkan. Bayi mungil itu cukup jarang menangis. Namun, malam itu ia menangis dengan kencang, seolah mengatakan jika ia tengah bersedih atas kehilangan sang Mama.

"Seandainya aku tidak luluh dan tetap menahan mu agar tidak pergi, mungkin kita masih bersama hingga saat ini, Charissa." Arkan bergumam pelan sambil mengusap foto sang istri.

"Papa?"

Arkan menoleh. Pandangannya tertuju tepat ke arah pintu kamar yang setengah terbuka. Segaris senyum terukir di bibirnya ketika melihat putranya—Keandra Artama Kusuma—berdiri disana.

"Sini." Arkan melambaikan tangan, meminta Kean mendekat. Lelaki kecil itu berlari kecil ke arah Arkan, dan langsung digendong Arkan ke atas pangkuannya.

"Belum tidur, hm?"

Kean mengangguk kecil. "Papa tidak mau temani Kean tidur lagi?"

Arkan tersenyum tipis. Karena terlalu tenggelam dalam moment masa lalu, ia lupa jika putranya setiap malam hanya akan tidur jika ia temani atau mendengar suaranya. "Maaf, Papa lupa. Ayo, kita ke kamar. Papa akan temani Kean Sampai tertidur."

Arkan beranjak sambil membawa Kean dalam gendongannya. Putranya tidak boleh merasakan kekurangan kasih sayang, walau sebenarnya kasih sayang yang ia berikan tak mampu menggantikan kasih sayang seorang ibu.

Arkan membaringkan putranya lalu mulai membacakan dongeng untuk anak tersebut hingga ia terlelap.

"Sudah 4 tahun Charissa, Kean sudah besar. Putra kita tumbuh dengan sehat. Kau pasti senang melihatnya dari sana," gumam Arkan.

***

Hari libur adalah waktu untuk Kean memiliki Papa nya sepenuhnya. Arkan memutuskan untuk benar-benar meliburkan pekerjaannya untuk menemani sang putra di hari libur. Hari ini, setelah Arkan dan Kean mengunjungi makam Charissa, Arkan bersama putranya mampir ke taman. Kean sangat senang.

Anak lelaki itu membawa bola untuk ia mainkan bersama Ayahnya di taman.

"Tendang Pa," ucap Kean semangat. Arkan tentu saja menuruti permintaan putranya. Ditendangnya bola tersebut ke arah Kean. Namun, tendangannya cukup kencang hingga tak bisa ditahan Kean.

"Yah .... " Kean mendesah lelah.

"Maaf, biar Papa ambilkan."

"Kean saja. Papa tunggu Kean disini," ujarnya langsung berlari semangat ke arah bola yang menggelinding.

Sementara itu, bola yang dikejar Kean berhenti menggelinding saat mengenai kaki seorang wanita yang duduk di kursi panjang taman. Wanita itu menunduk dan mendapati sebuah bola di kakinya.

"Maaf, Tante. Itu bola Kean."

Suara seorang anak kecil mengalihkan tatapannya. Ia menatap anak itu lalu tersenyum. Wanita itu meraih bola tersebut kemudian ia arahkan pada Kean.

"Ayo, ambil," ujarnya sambil tersenyum lembut.

Kean mendekat dan segera meraih benda bulat itu. "Terima kasih, Tante cantik."

"Sama-sama," balas wanita itu sambil mengusap kepala Kean. "Kau bersama siapa disini?"

"Aku bersama Pa—"

"Kean?"

"Papa." Kean tersenyum lebar dan langsung berlari ke arah Papa nya. Arkan segera menangkap putranya dan membawa nya dalam gendongan.

"Kenapa lama sekali? Papa jadi khawatir," ujar Arkan fokus menatap Kean sambil mengusap rambut lebat putranya tersebut.

"Maaf, saya mengajak anak anda bicara." Wanita itu tiba-tiba menyela, menarik Arkan untuk menatap ke arah nya.

Deg!

Arkan membeku. Tatapannya lekat menatap ke arah wanita tersebut dengan jantung berdegup kencang.

Charissa?

"Pak?"

Arkan tersentak, kembali ke alam sadar setelah beberapa saat larut dalam mencerna kehadiran wanita di hadapannya saat ini. Seorang wanita yang begitu mirip dengan mendiang istrinya—Charissa—namun, berbeda dari segi penampilan.

Wanita di hadapannya berambut panjang sepinggang tanpa mengenakan kacamata, sedangkan mendiang istrinya memiliki rambut sebahu dan selalu mengenakan kacamata.

"Papa, Tante cantik ini yang sudah ambilkan bola untuk Kean." Arkan menoleh, menatap putranya.

"Oh ya?"

"Iya. Ayo, ucapkan terima kasih pada Tante ini. Kean sudah berterima kasih tadi."

Arkan terkekeh pelan. "Baiklah." Kembali Arkan menatap wanita itu. Ekpresinya berubah biasa saja. "Terima kasih sudah membantu putra saya."

"Sama-sama."

Arkan mengangguk pelan. "Ya sudah. Ayo kita kembali. Bukankah sudah waktunya ke rumah nenek?"

"Ya, ayo. Kean ingin bermain bola bersama Kakek." Kean tersenyum kegirangan. "Siapa nama Tante cantik?" Kean memfokuskan tatapannya pada wanita itu.

"Nama Tante, Anin."

"Aku Kean. Tante sangat cantik. Semoga kita bisa ketemu lagi. Aku pasti akan menyapa Tante cantik."

"Terima kasih. Kau juga tampan."

Kean mengangguk. "Terima kasih. Kalau begitu, aku dan Papa pergi dulu." Wanita bernama Anin itu tersenyum dan mengangguk. Sejenak, matanya bertemu tatap dengan Arkan. Anin tersenyum, sementara Arkan hanya mengangguk kan kepala tanpa tersenyum. Ayah dan anak itu kemudian berlalu dari hadapan Anin.

"Kean. Semoga kita bertemu lagi di lain waktu," gumam Anin pelan, merasakan sesuatu yang aneh dalam hatinya.

Charissa Anindya

.... ...

.... ...

.... ...

Dua minggu berlalu sejak hari dimana Anin bertemu Kean dan Papanya. Masih ada sisa bayang-bayang Kean di ingatannya. Dia benar-benar menyukai anak itu hanya dalam satu kali pertemuan.

Anin sedikit tersentak ketika Radit—keponakannya—menepuk pelan lengannya.

"Radit, Tante kaget," ujarnya sambil mengusap pelan dadanya.

Anak lelaki itu terkikik. Dia lalu mengangkat kedua tangannya, mengisyaratkan agar Anin mengangkatnya. Wanita itu menggeleng pelan lalu mengangkat Radit dan mendudukkannya di kursi sebelah.

"Makasih, Tante," ucap anak itu sambil tersenyum manis.

"Sama-sama, Radit."

"Tante, besok sore ikut Radit sama Mama beli mainan, ya?"

"Radit, besok Tante Anin ada wawancara untuk pekerjaannya." Anya mengelus lembut rambut putranya. Anya merupakan istri dari Dimas—Kakak Anin.

"Tidak apa-apa, Kak," ujar Anin. "Radit, kalau besok Tante ada waktu, pasti Tante akan ikut bersama Radit dan Mama."

Anak itu langsung tersenyum ceria. Anya sampai menggeleng kan kepala dan tersenyum kecil. Anin selalu memanjakan Radit dan mencoba memenuhi semua keinginan anak itu terhadap nya.

Dimas dan Ibu Lidya pun juga ikut tersenyum. Kehangatan di meja makan saat makan malam bersama seperti ini selalu membuat Anin merasakan bayang-bayang perasaan familiar yang ingin ia rasakan lagi dan lagi.

"Kau serius ingin bergabung di perusahaan itu?" Dimas menatap adiknya. Dia menghargai keputusan adiknya, tapi masih ada sedikit harapan di hati agar adiknya itu memilih bekerja di perusahaan keluarga mereka.

"Kak, masih mau bahas itu lagi?"

Dimas terkekeh pelan. Ya, bukan hanya kali ini ia membahas tentang keinginan Anin bekerja di perusahaan lain. Hampir setiap mereka berkumpul, hal itu akan selalu dibahas.

"Dimas, biarkan adikmu menentukan pilihannya sendiri." Ibu Lidya memperingati putranya dengan suara lembut.

"Benar. Di perusahaan mu atau perusahaan orang lain, dia tetap sama-sama belajar," sahut Anya. "Tugasmu sekarang adalah mendukung Anin."

"Ya, baiklah. Sekarang, Kakak doa kan semoga besok kamu yang terpilih menjadi sekretaris."

"Amiin." Semuanya mengamiin kan ucapan Dimas. Radit yang paling kencang mengucapkan amiin.

Keesokan pagi nya, Anin berangkat pagi-pagi ke perusahaan dimana ia akan melakukan wawancara. Dia bersama dua peserta lainnya langsung di arahkan ke ruangan CEO.

Anin duduk tenang sambil menunggu calon sekretaris urutan kedua melakukan wawancara. Sementara calon sekretaris pertama sudah meninggalkan ruangan CEO dengan wajah lesu karena ditolak oleh sang CEO.

"Kata Kak Dimas, CEO nya sering dirumorkan sebagai orang yang kejam. Tapi, Kak Dimas juga bilang, jangan terlalu percaya pada rumor. Menurutnya, CEO perusahaan ini bukannya kejam, tapi tegas."

"Tapi—lho? Kenapa sudah keluar?" Anin cukup terkejut melihat wanita yang sedang berjuang mendapatkan posisi sekretaris seperti nya itu sudah keluar dari ruangan CEO. Bukannya baru beberapa menit? Kenapa sudah keluar?

"Bukan keberuntunganku. Kau masuk lah. Semoga kau berhasil."

"Terima kasih," balas Anin sambil tersenyum canggung.

Setelah wanita itu berlalu, Anin segera memasuki ruangan CEO. Sebelum itu, ia menarik panjang nafasnya dan menghembuskannya pelan.

"Tenang Anin, kau pasti bisa. Terus semangat." Anin mencoba menyemangati dirinya. Lantas, ia mengetuk pintu dan masuk. Ketika pintu terbuka, tatap matanya langsung bertemu dengan mata tajam milik sang CEO—Arkana Hendrawan Kusuma.

Anin mengulas senyum lalu menyapa Arkan. "Selamat pagi, Pak," ujarnya penuh sopan santun.

"Pagi, silakan," balas Arkan sambil mengarahkan tangan, menyuruh Anin duduk.

Anin segera duduk. Dalam hatinya terus menggumamkan kalimat-kalimat doa agar dia tak bernasib sama seperti kedua calon sekretaris sebelumnya.

"Langsung saja." Arkan memulai pembicaraan untuk mengawali wawancaranya. Anin menanggapinya dengan tenang dan yakin.

"Saya suka bekerja di luar jam kantor. Seberapa siap kamu untuk fleksibilitas waktu?"

Anin dengan penuh ketenangan menjawab pertanyaan yang kesekian kalinya oleh Arkan. Hingga beberapa saat kemudian, satu tarikan nafas lega dan penuh kebahagiaan Anin rasakan.

"Selamat, anda bisa mulai bekerja besok." Arkan mengulurkan tangannya sebagai bentuk kesepakatan dan juga ucapan selamat. Anin dengan cepat meraih jabat tangan tersebut.

Ketika kulit telapak mereka saling bersentuh, di saat itulah perasaan tak asing itu kembali Anin rasakan. Perasaan yang muncul sejak pertama kali ia melihat anak kecil bernama Kean dan juga ayah Kean yang sekarang sudah menjadi atasannya.

"Terima kasih, Pak." Anin membalas, kemudian buru-buru berpamitan meninggalkan ruangan tersebut.

Arkan menarik panjang nafasnya usai pintu ruangan tertutup dan Anin menghilang. Kembali ia menatap dokumen lamaran pekerjaan berisi identitas Anin.

Charissa Anindya, nama yang sejak tadi mengusiknya. Pertama kali membacanya, Arkan merasa tertarik kembali ke masa lalu, masa dimana dia bersama mendiang istrinya yang juga memiliki nama yang sama—Charissa Anindya.

Sungguh tak disangka, wanita yang ia anggap memiliki kemiripan dengan istrinya pun memiliki nama yang sama.

"Kebetulan macam apa ini?" gumam Arkan, tak bisa mencerna semuanya dengan baik.

...****************...

Arkan kembali ke rumah dalam keadaan tak begitu bersemangat. Hari ini ia tak bisa fokus mengerjakan pekerjaannya. Otaknya dipenuhi oleh nama Charissa. Tak biasanya ia seperti ini. Namun, semuanya menjadi tak terkendali usai ia bertemu Anin pagi tadi.

Ia tak menyentuh pekerjaannya sama sekali. Pikirannya, hatinya, semuanya hanya tertuju pada Charissa—mendiang istrinya.

"Arkan, kau sudah—"

"Diamlah!" Suara dingin Arkan mengalun, memotong ucapan Vanesha.

"Arkan, seperti itu caramu memperlakukan wanita?" Monic—Ibu Arkan—yang baru saja datang dari arah dapur menegur putranya. Dia tidak suka Arkan kasar pada wanita, terutama Vanesha.

"Ibu ...." Pelan berucap, Arkan mendekati wanita itu lalu memeluknya. Monic yang memegang sepiring apel yang sudah dipotong pun membalas pelukan putranya.

"Kenapa tidak mengabari ku? Ibu tahu, di luar tidak aman jika Ibu datang sendiri—"

"Jangan berlebihan, Arkan. Ibu bersama Vanesha."

"Akan lebih aman bersama bodyguard."

"Terserah kau saja." Monic melepas pelukannya lalu meletakkan sepiring apel ke atas meja. Ia lalu tersenyum hangat pada Vanesha. "Ayo, dimakan buahnya."

"Terima kasih, Tante."

"Sama-sama, Sayang."

Arkan hanya berdiri diam memperhatikan interaksi antara Ibunya dan Vanesha. Dia tahu maksud kedatangan Ibunya bersama Vanesha. Tentu saja untuk menjodohkan dirinya dan Vanesha.

"Kenapa tidak datang bersama Ayah?" Arkan mantap Ibu nya dari arah dirinya berdiri.

"Kau tahu Ayahmu, Arkan. Dia terlalu sibuk dengan pembangunan restoran impiannya." Monic tersenyum tipis, namun Arkan mampu menangkap kilatan luka dimata wanita itu.

Arkan menghembuskan nafasnya pelan. "Dia memberikanku tugas mengurus perusahaan dengan dalih sudah cukup tua dan butuh istirahat, tapi sekarang malah tidak istirahat dan sibuk membangun restoran. Huh!"

Monic terkekeh mendengar ucapan putranya. Memang yang dikatakan Arkan itu benar. Suaminya cukup aneh.

"Aku akan ke atas."

"Kita makan malam bersama malam ini." Arkan tak dapat membantah. Dia mengangguk pelan untuk menyenangkan hati Ibunya. Seandainya tak ada Vanesha, ia akan senang hati makan malam bersama sang Ibu. Sudah cukup lama mereka tak makan malam bersama.

Tanpa banyak kata lagi, Arkan lekas menaiki tangga menuju kamarnya. Mengistirahatkan tubuhnya sejenak, Arkan kemudian menuju kamar mandi.

Semua kain yang melekat di tubuhnya ia tanggalkan. Berdiri di bawah shower lalu mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Berharap dengan mandi ia bisa menghilangkan sejenak hal yang mengusik pikirannya.

"Charissa Anindya," gumamnya pelan. Dan ya, usahanya gagal. Nama Charissa Anindya masih melekat. Entah itu karena sosok mendiang istrinya atau sosok Anin—sang sekretaris, Arkan tak dapat menjelaskannya.

.... ...

.... ...

.... ...

Kehadiran Monic Dan Vanesha

.... ...

.... ...

.... ...

Arkan mendorong pelan pintu kamar putranya. Segaris senyum tipis terukir di bibir kala melihat Kean sedang berbaring telungkup di atas kasur sambil membalikkan lembar demi lembar buku dengan raut wajah serius.

"Kean?"

Anak itu langsung mendongak. Wajahnya seketika berubah ceria. Cepat ia beranjak dan turun dari kasur, berlari menghampiri Ayahnya. Arkan terkekeh pelan. Sigap ia menangkap tubuh Kean lantas menggendongnya.

"Kean senang Papa sudah pulang."

Arkan tersenyum tipis. "Kenapa?" Tangannya lembut mengusap kepala sang putra.

"Kean tidak suka ada Tante Vanesha. Kenapa Nenek membawanya kemari?"

"Dengar Kean. Papa tidak bisa melarang Kean untuk tidak menyukai Tante Vanesha. Jika Kean tidak suka, jauhi saja. Jangan berurusan dengannya. Kean mengerti?"

Anak itu mengangguk pelan. "Mengerti Papa."

"Ya sudah. Sekarang, kita makan malam bersama Nenek."

"Tante Vanesha juga?"

"Hm."

Kean menghembuskan nafasnya pelan, mengeratkan pelukannya di leher sang Papa kemudian menyembunyikan wajahnya di ceruk leher lelaki itu.

Arkan pun membawa Kean keluar kamar menuju ruang makan. Disana sudah ada Ibunya bersama Vanesha yang menunggu.

Arkan menempatkan Kean ke kursi yang biasa anak itu duduki, lalu menempatkan dirinya di kursi miliknya.

"Kau ingin makan apa? Biar aku ambilkan." Vanesha berdiri hendak mengambilkan makanan untuk Arkan. Namun, satu kalimat yang Arkan ucapkan membuat gerak Vanesha terhenti.

"Saya bisa sendiri."

Vanesha terdiam. Ia tersenyum paksa lalu kembali mendudukkan tubuhnya.

"Arkan, Vanesha berniat baik untuk—"

"Maaf, Bu. Sejak kematian Charissa, aku terbiasa melakukannya sendiri. Jadi, aku tidak nyaman diperlakukan seperti ini oleh Vanesha."

Monic hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan. Bagaimana pun, dia tidak bisa memaksa Arkan. Jika terlalu dipaksakan, Arkan pasti tidak akan suka.

"Tidak apa-apa. Aku paham perasaan mu." Vanesha tersenyum tipis. Arkan mengangguk tak peduli. Lelaki itu menyendok kan makanan untuk Kean, lalu mengisi piring miliknya.

"Oh ya, bagaimana dengan pekerjaanmu?"

"Semuanya baik," sahut Arkan sedikit mengangkat pandangannya menatap sang Ibu. Dia lalu kembali fokus menyantap makanannya.

"Ibu rasa, ini sudah waktunya kau untuk menikah lagi, Arkan. Sudah saatnya kau mencari seorang wanita untuk mengurus mu dan Kean."

Arkan menatap ibunya. "Bu, aku belum kepikiran untuk mencari pengganti Charissa. Mungkin tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan posisi Charissa. Baik itu sebagai nyonya di rumah ini, atau pun sebagai wanita yang aku inginkan."

Monic terdiam. Sudah banyak sekali cara ia mengingatkan Arkan untuk mencari pengganti Charissa. Namun, putranya tetap keras kepala.

"Jangan katakan itu. Ibu yakin, suatu saat, kau pasti akan menemukan wanita yang kau inginkan, meskipun dia tak sepenuhnya memiliki hatimu."

"Doa kan saja, Bu." Balas Arkan tak acuh. Sungguh, membahas tentang wanita lain terasa begitu mengganggu. Tapi, ini Ibunya. Wanita yang merawatnya lah yang menginginkan wanita lain untuk melengkapi kehidupannya. Walaupun tak ingin mendengarkan, dia harus tetap menghargai wanita itu.

"Jika suatu hari nanti kau menemukan wanita yang berhasil menarik perhatianmu, apakah kau akan menikahinya?" Vanesha menatap cemas ke arah Arkan yang tak bereaksi apapun. Ia tak sengaja bertanya seperti itu. Mulutnya seolah tak terkontrol ketika mendengar jawaban Arkan terhadap pertanyaan Monic.

"Maaf, abaikan saja pertanyaanku itu." Vanesha tersenyum kaku. "Ku tanyakan yang lain saja. Ku dengar, kau akan—"

"Diamlah! Kau tidak sopan."

Vanesha langsung mengatupkan bibirnya. Dalam hatinya ia merengut kesal. Arkan ini, apakah tidak ada sedikitpun rasa ketertarikan pada dirinya?

"Papa tidak suka berbicara saat makan." Satu lagi yang membuat Vanesha semakin kesal. Kean. Putra Arkan itu sangat menyebalkan.

Vanesha tersenyum paksa. "Maaf, aku tidak tahu."

Arkan lagi tak peduli. Begitu pun dengan Kean yang dengan santainya menyuapkan makanan tanpa merespon Vanesha.

"Benar-benar menyebalkan," batin Vanesha.

...****************...

Kean melambaikan pelan tangannya pada sang Nenek—Monic— ketika mobil wanita itu melaju meninggalkan kediaman Arkan. Di dalam sana juga ada Vanesha yang terdiam sambil menampilkan wajah murung nya. Jujur, hari ini begitu menyebalkan.

Tapi, Vanesha masih sedikit merasa beruntung sebab Arkan mau menjabat tangannya. Walaupun atas paksaan Monic.

Usai mobil yang membawa Monic dan Vanesha menghilang—bersamaan satu mobil pengawal yang Arkan tugaskan mengawal sang Ibu pun turut menjauh, Arkan kembali ke dalam rumah dengan Kean yang masih berada dalam gendongannya.

"Papa, temani Kean sampai tidur, ya?" Anak itu bersuara parau. Dia sudah sangat mengantuk.

"Pasti." Arkan mendorong pelan pintu kamar Kean. Membawa putranya mendekati ranjang dan membaringkan nya. Arkan dengan begitu pandai mengurus putranya. Menyelimuti lelaki kecil itu lalu mulai membaca dongeng untuknya.

Tak butuh waktu lama, Kean pun terlelap. Arkan menghentikan bacaannya, menyimpan kembali buku dongeng, lantas memperbaiki letak selimut yang membungkus putranya. Tak langsung meninggalkan Kean, Arkan memilih berdiam diri sambil menatap lekat wajah lelap putranya.

Seandainya Charissa masih hidup, Kean pasti akan sangat bahagia dan beruntung. Putranya akan mendapatkan kasih sayang yang tiada tara dari Charissa.

Arkan menghela nafas dan menghembus nya. Mengecup kening Kean, Dia kemudian keluar dari kamar Kean menuju kamarnya. Langkahnya langsung menuju sofa yang ada di kamarnya. Dia mendudukkan tubuhnya, duduk bersandar pada sandaran sofa lalu melepaskan dua kancing teratas kemeja yang ia kenakan.

"Charissa," gumam Arkan pelan sambil memejamkan mata.

...****************...

Pagi menjelang. Anin sudah siap dengan stelan kantornya yang rapih dan sopan. Ini adalah hari pertama dirinya mulai bekerja di perusahaan besar—HK Group. Langkah ringannya keluar dari kamar menuju ruang makan. Sudah ada sang Ibu yang membantu menyiapkan sarapan disana. Anin mendekat lalu menyapa Ibu Lidya.

"Pagi, Bu," ujarnya sambil membubuhi satu kecupan di pipi wanita itu.

Ibu Lidya tersenyum. "Pagi, Sayang," balasnya. "Bagaimana? Sudah siap untuk memulai hari pertamamu sebagai sekretaris?"

Anin terkekeh pelan. "Tentu saja. Aku sangat siap. Do'a kan aku ya, Bu. Semoga Pak Arkan adalah atasan yang baik dan tidak suka marah-marah."

"Ibu selalu do'a kan. Ayo, habiskan sarapan mu lalu berangkat."

"Tapi, Kak Dimas—"

"Duluan saja. Hari pertama mu, kau tidak boleh telat." Anin menatap haru pada Kakaknya yang baru saja tiba di ruang makan bersama istri dan anaknya.

"Benar, habiskan sarapanmu. Setelah itu supir akan mengantarmu ke perusahaan," tutur Anya sambil membantu Radit—putranya—duduk.

"Nanti kalau Tante sudah dapat uang, jangan lupa belikan mainan untuk Radit, ya?"

"Pasti," sahut Anin sambil tersenyum. Wanita itu kemudian mulai melanjutkan memakan sarapannya. Setelah menghabiskannya, Anin segera berpamitan untuk meninggalkan rumah terlebih dahulu. Seorang supir pribadi Ibu Lidya sudah menunggu untuk mengantar Anin ke perusahaan.

Anin sebenarnya tak keberatan di antar. Namun, karena mobil yang digunakan terlalu mencolok, Anin meminta untuk menggunakan mobil yang lain saja.

"Pak, Saya turun disini saja," ujar Anin tiba-tiba sebelum mobil yang mengantarnya tersebut melaju memasuki area perusahaan. Sang supir pun menghentikan mobilnya tepat di area halte, sesuai permintaan Anin.

"Disini, Nona? Tapi perusahaannya dekat lagi, Nona. Sekalian saja saya antarkan."

"Tidak apa-apa, Pak. Saya turun disini saja."

"Ya sudah. Nona hati-hati."

"Iya, Pak."

Anin segera turun dari mobil dan berjalan menuju area perusahaan. Jarak yang tak begitu jauh membuat Anin tak perlu waktu lama untuk segera sampai.

Wanita itu menyapa security yang berjaga dengan senyuman. Dan tepat ketika ia menjauh, mobil milik Arkan memasuki gerbang perusahaan.

"Pak Arkan."

Langkah Anin terhenti kala tak sengaja mendengar celetukan pelan seorang pria yang berjaga di pintu masuk gedung tinggi tersebut. Anin berbalik dan mendapati Arkan turun dari mobil mahal lelaki itu. Ketika Arkan mengangkat wajahnya, tanpa sengaja sorot matanya dan milik Anin saling bertubrukan.

Getaran aneh pun menyelimuti perasaan Arkan begitu juga Anin. Namun, wanita itu dengan cepat memutus kontak mata mereka. Arkan pun melakukan hal yang sama dan mulai berjalan mendekat.

"Selamat pagi, Pak," sapa Anin pelan ketika Arkan melewatinya.

"Pagi." Terkesan dingin, namun Anin merasa itu cukup sebagai balasan sapaannya. Lebih baik dibalas, daripada tidak sama sekali.

Anin segera membuntuti langkah Arkan. Menempati lift yang sama hingga akhirnya berhenti di lantai paling atas dimana ruangan Arkan pun ruangan nya berada.

.... ...

.... ...

.... ...

...𝔅𝔯𝔦𝔫𝔤 𝔜𝔬𝔲 𝔅𝔞𝔠𝔨...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!