3. Memutuskan Ethan

Sesampainya di rumah sakit, Velora segera menuju ruang praktek spesialis penyakit dalam. Ia mengganti jas putih, mencuci tangan dengan teliti, dan menyiapkan catatan pasien. Tidak ada waktu untuk merenung lama, shift siang menuntut fokus penuh.

“Selamat siang, Dokter Velora,” sapa perawat yang menunggu di depan ruang praktek.

“Siang,” balas Velora, suaranya terdengar tegas meski dalam hati ia masih terguncang.

Pasien pertama masuk, seorang pria paruh baya dengan tekanan darah tinggi dan diabetes. Velora memeriksa tensi, meninjau catatan medis, dan menanyakan keluhan terbaru. Tangannya cekatan, setiap gerakan penuh ketelitian. Ia menulis resep, memberikan saran diet, dan memastikan pasien memahami instruksi medis.

Pasien berikutnya seorang wanita muda yang menderita infeksi saluran pernapasan. Velora mendengarkan gejala dengan seksama, memeriksa paru-paru, dan memberikan obat serta saran istirahat.

Seiring jam berjalan, daftar pasien terus berdatangan. Velora tetap fokus, berbicara dengan tenang, mengarahkan perawat, dan memastikan setiap pasien merasa didengar dan diperhatikan.

Meski begitu, di sela-sela instruksi medis dan catatan, pikirannya sesekali melayang. Bayangan Ethan muncul, senyumnya yang hangat, cara ia selalu mendukung Velora, percakapan panjang mereka di akhir pekan, dan kenangan enam tahun penuh cinta yang kini harus ia hadapi dengan keputusan yang begitu berat.

Setelah sesi praktek selesai dan semua pasien diperiksa, Velora menutup catatan terakhirnya dan duduk di kursi ruangannya. Kepalanya terasa berat, tangan masih hangat dari menulis resep. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri.

“Bagaimana aku harus melakukannya?” gumam Velora, matanya menatap meja. “Enam tahun bersama Ethan dan sekarang aku harus memutuskan dia begitu saja?”

Ia menutup mata sejenak, merasakan gelombang rasa bersalah dan kebingungan menghantamnya. Ethan tidak pernah melakukan kesalahan. Mereka tidak bertengkar hebat, tidak ada masalah besar, hanya kebahagiaan dan kenyamanan yang selalu mereka bagi bersama.

Velora menunduk, menyandarkan kepala di tangan. “Dia pasti akan bingung atau bahkan terluka. Kenapa aku harus menghancurkan sesuatu yang begitu sempurna?”

Hatinya terasa sesak. Ia sadar bahwa keputusan ini bukan semata-mata soal perasaan pribadinya, tapi juga karena janji keluarga dan perjodohan dengan Arvenzo yang sudah dipastikan akan terjadi dalam dua minggu.

“Bagaimana aku bisa menjelaskan padanya tanpa membuatnya merasa dikhianati?”

Velora membuka kembali catatan medis yang tadi ia gunakan, mencoba mengalihkan pikiran, tapi matanya terus menatap layar kosong. Bayangan Ethan muncul di setiap sudut pikirannya, senyum hangat, tawa ringan, cara ia memegang tangannya saat mereka sedang bahagia.

Hatinya berteriak, tapi logika dan realita menekannya, ia harus membuat keputusan, dan keputusan itu akan memengaruhi hidupnya, Arvenzo, keluarganya, dan Ethan.

Velora menutup mata lebih lama, merasakan air mata hampir menitik. Ia menyadari satu hal, memutuskan Ethan bukan sekadar mengatakan 'selesai'. Ini soal menyusun kata-kata, menyusun alasan, dan memastikan bahwa meskipun hati Ethan terluka, ia tetap merasa dihargai dan dicintai.

Ia menepuk wajahnya, menarik napas dalam-dalam. “Aku harus kuat... aku harus bisa. Untuk diriku, untuk keluargaku, dan untuk semua yang akan terjadi dalam dua minggu ke depan.”

Velora bangkit dari kursi, menatap jendela ruang praktek. Sinar matahari siang menembus tirai, menciptakan bayangan lembut di lantai. Dua minggu lagi hidupnya akan berubah, dan ia tahu keputusan tentang Ethan akan menjadi momen paling berat. Namun satu hal jelas di hatinya, ia tidak bisa menunda, tidak bisa menghindar.

...****************...

Malam itu, Velora pulang ke rumah setelah shift panjang di rumah sakit. Tubuhnya lelah, tetapi pikirannya tidak pernah berhenti. Bayangan Arvenzo, pesan peringatan yang dibuat pria itu dan Ethan yang masih menempati hatinya membuat malam itu terasa semakin berat.

Sesampainya di kamar, Velora menutup pintu dan duduk di tepi ranjang, menatap ponsel di tangannya. Nama Ethan terpampang di layar. Jantungnya berdegup kencang. Ia tahu panggilan ini akan menjadi percakapan paling sulit yang pernah ia lakukan.

Dengan tangan gemetar, ia menekan tombol panggilan video. Layar menyala, dan wajah Ethan muncul, tersenyum hangat meski terlihat lelah.

“Hai sayang! Kamu baru pulang kerja ya? Bagaimana kabar dan pekerjaan kamu hari ini?” sapanya, nada lembut.

Velora menarik napas panjang, suaranya serak. “E-Ethan... aku ingin bicara tentang kita.”

Ethan langsung serius. “Tentang kita? Velo sayang, apa yang terjadi? Kamu terdengar sedang tidak baik-baik saja. Ada masalah?”

Velora menunduk, berusaha menenangkan gemetar tangannya. “Aku... harus mengakhiri hubungan kita.”

Wajah Ethan langsung berubah. Matanya membesar, alisnya mengerut, bibirnya sedikit terbuka. “Apa?! Velora, kamu sedang bercanda? Setelah enam tahun? Kamu memutuskan aku begitu saja? Tanpa alasan yang jelas? Kamu harus beri tahu aku kenapa!”

Velora menelan ludah, menunduk lebih dalam. “Aku tahu ini berat... tapi aku merasa ini harus kulakukan. Maafkan aku, Ethan.”

Ethan menegakkan tubuhnya, suaranya mulai meninggi. “Tidak! Kamu tidak bisa memutuskan aku begitu saja! Enam tahun itu bukan waktu yang cepat! Aku harus tahu alasanmu, Vel! Aku tidak bisa hanya menerima begitu saja!”

Velora menutup mata sejenak, menahan air mata. “Ethan, aku tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang, aku harap kamu mengerti. Maafkan aku...”

Ethan menatapnya tajam, nada suaranya parau tapi tegas. “Tidak! Aku tidak akan diam! Kamu tetap kekasihku sampai kapanpun, Velora! Aku pantas tahu alasanmu, dan kamu tidak bisa lari dari ini begitu saja!”

Velora menelan ludah, tangannya gemetar menahan ponsel. Hatinya sakit, tetapi ia tahu, jika ia terus berbicara, ia tidak akan bisa mengambil langkah yang harus dilakukan. Ia menarik napas panjang, menatap Ethan melalui layar.

“Aku harus melakukan ini, Ethan. Aku tidak bisa lagi bersamamu lagi. Tolong, percayalah, aku tidak bermaksud menyakitimu,” katanya, suaranya hampir berbisik.

Ethan menggertakkan rahang, matanya berkaca-kaca. “Jangan lakukan ini, Velora! Kamu tidak bisa begitu saja meninggalkanku tanpa alasan yang jelas! Aku tidak akan menerima keputusanmu begitu saja!”

Velora menekan tombol akhir panggilan dengan tangan gemetar. Layar ponsel gelap. Ia menunduk, menekan ponsel ke dadanya, dan dengan berat hati membuka menu pengaturan kontak. Ia menekan opsi blokir nomor Ethan. Napasnya tersengal, dada terasa sesak.

“Maafkan aku... aku harus melindungi semua orang, termasuk diriku sendiri,” gumam Velora pada dirinya sendiri, air mata jatuh tanpa suara. Ia tahu keputusan ini akan menyakitinya sendiri, tetapi dua minggu ke depan, pernikahan dengan Arvenzo akan menjadi kenyataan, dan ia tidak bisa membiarkan Ethan menjadi boomerang yang memperumit semuanya.

Velora menatap jendela kamarnya yang gelap, memejamkan mata sejenak. Malam itu sunyi, dan hanya suara napasnya sendiri yang terdengar. Ia tahu, langkah selanjutnya akan lebih sulit menghadapi Arvenzo, menghadapi janji keluarga, dan menahan rasa bersalah terhadap Ethan.

...****************...

Di sisi lain kota, Arvenzo duduk santai di bar mewah, lampu redup memantulkan cahaya kristal dari gelas-gelas di sekelilingnya. Di sampingnya, dua sahabatnya, Zayden dan Niko, meneguk minuman sambil terus menatapnya dengan ekspresi penuh penasaran.

“Lo, jadi beneran lo bakal nikah dua minggu lagi?” tanya Zayden, mencondongkan tubuhnya, nada setengah tak percaya.

Arvenzo meneguk minumannya pelan, tetap dingin. “Hm... Dan kalian pikir gue mau? Gue cuma nerima kenyataan. Lo pada tahu kan drama keluarga kayak gimana, gue nggak bisa nolak, tapi gue juga nggak banyak nanya.”

Niko tertawa kecil, menepuk bahu Arvenzo. “Gila, Bro... lo santai banget, sumpah! Gue kalau gitu panik duluan atau malah pergi kabur ke luar negeri.”

Zayden menepuk bahunya. “Salut sama lo yang langsung nerima gitu aja tanpa drama atau nolak dulu kayak di sinetron!”

Ketiganya bercanda ringan, tapi malam itu ketenangan Arvenzo terganggu saat seorang wanita muncul menghampiri meja mereka. Dia mengenakan pakaian seksi, langkahnya mantap, dan matanya memancarkan kemarahan.

“Arven!” suaranya tegas, penuh amarah dan kecewa. “Apa maksud kamu mutusin aku gitu aja?! Aku mau tau, apa aku nggak cukup memuaskan kamu di atas ranjang?”

Arvenzo tetap tenang, menatapnya dingin, ia menarik napas pelan, menyesal tapi tetap tidak menunjukkan rasa bersalah. “Leona... gue udah jelasin beberapa hari lalu, kita itu udah nggak cocok. Ini keputusan terbaik buat kita. Jangan bikin ribet!”

Leona semakin dekat, wajahnya memerah karena marah dan frustrasi. “Nggak, Arvenzo! Kamu nggak bisa ninggalin aku gitu aja, hubungan kita udah satu tahunan lebih! Aku butuh jawaban! Apa aku kurang memuaskan kamu atau aku harus operasi biar dada aku tambah besar lagi?!”

Zayden dan Niko hampir menyemburkan minuman dalam mulut mereka mendengar ucapan Leona yang begitu terang-terangan. Sedangkan Arvenzo santai meneguk minumannya, matanya tetap dingin.

Pasti banyak orang mengira ia sempurna, tapi kenyataannya, ia sama normalnya seperti pria lainnya. Ia punya kebutuhan biologis, naluri, dan dorongan manusiawi.

Tidak sebaik orang pikirkan, tidak selalu bisa menahan semua perasaan atau keinginan. Tapi Arvenzo selalu menutupinya dengan kontrol total dan aura dominan, sehingga orang jarang melihat sisi manusianya itu.

“Leona! Gue udah bilang, kita ini udahan. Lo harus pergi sekarang, atau gue minta security bantuin usir lo dari sini!”

Leona terdiam, terkejut oleh ketegasan dan aura dominan Arvenzo. Ia menatapnya sekali, matanya berkaca-kaca, lalu akhirnya menghela napas berat dan melangkah pergi, meninggalkan bar tanpa sepatah kata.

Zayden menepuk bahunya lagi. “Gila, lo kejam banget, padahal kan dia salah satu wanita yang sering muasin lo!”

Arvenzo menatap mereka, tenang. “Biarlah, gue juga udah muak sama dia yang suka ngatur hidup gue. Dan bentar lagi gue mau nikah, gue nggak mau ada gangguan dan drama di marahin sama kakek dan orang tua gue gara-gara punya pacar padahal udah nikah.”

Zayden dan Niko hanya mengangguk, setengah kagum, setengah terhibur. Mereka bertiga kembali menyesap minuman masing-masing.

......................

Kalian juga bisa mampir ke novel :

Nama pena : Sylvia Rosyta

Judul : Jadi Kesayangan Suami Konglomerat

Ceritanya tak kalah seru dan menarik😍

Terpopuler

Comments

Istri Zhiguang!

Istri Zhiguang!

Semangat Velora/Determined/ Jodoh itu gak kemana, kalo kamu dijodohkan sama Ethan pasti bakal bersama lagi kok/Proud/

2025-10-06

0

🌹Widianingsih,💐♥️

🌹Widianingsih,💐♥️

jadi untung di Arvenzo buntung di Velo, kasihan.
Pantas saja si Arvenzo semangat. ya iyalah dia mau dapat yang original🤣

2025-09-19

0

Rosse Roo

Rosse Roo

harusnya kamu jelasin velora, terpksa karena di jodohin. gak bsa nolak. kan kasian Ethan btw🤧

2025-09-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!