Rahim Yang Tergadai

Arexa menunggu putrinya sadar. Ia duduk di kursi sebelah ranjang pasien sambil tangannya menggenggam tangan kecil putrinya. Hanya rawat inap kelas bawah yang mampu ia pilih. Bahkan, untuk biaya rawat inap kali ini pun ia tidak tahu dari mana akan mendapatkan uangnya.

"Kamu enggak coba buat ajukan kartu kesehatan biar pengobatan Meira gratis, Xa?" tanya Bu Tiwi yang sejak tadi ikut menunggu dengan cemas.

Arexa menggeleng pelan, "Sudah, Bu. Tapi ditolak. Data Meira tidak lengkap, dan itu membuatku kesulitan mendaftarkan pengobatannya."

Bu Tiwi menghela nafas panjang, "Ibu gak bisa bantu apa-apa selain tenaga."

Arexa tersenyum lemah, "Ibu sudah sangat membantu aku dan Meira. Terima kasih banyak. Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikan ibu."

Ibu Tiwi tersenyum haru, lalu memeluk Arexa erat. "Yang kuat pokoknya kamu ya. Dunia ini memang keras, tapi ingat kamu adalah cahaya Meira."

Arexa memejamkan mata, mengangguk penuh haru. Setelah pelukan keduanya terlepas, Bu Tiwi pamit pulang. Ia tak bisa lama meninggalkan suami dan anaknya.

Setelah kepergian wanita itu, Arexa kembali fokus pada Meira. Ia membenarkan letak selimut tipis anak itu dan memastikan semuanya aman. Tak lama, Meira membuka matanya dan menatapnya dengan tatapan lemah. Ia berusaha membuka masker oksigennya, tapi Arexa segera menghalanginya.

"Mei ... masih dengar Bunda sayang? Dengar ya?" Tanya Arexa dengan suara bergetar penuh haru.

Anak itu hanya diam, menatap Arexa tanpa keceriaan seperti biasanya. Hal itu tentu membuat Arexa semakin sedih.

"Bunda lagi usaha buat Meira sembuh. Bunda panggil suster sebentar ya, Meira tunggu sebentar." Arexa beranjak pergi, meninggalkan Meira yang masih menatapnya dalam.

"Mei ... buat bunda lepot lagi yah," batinnya dengan sedih.

.

.

.

Dokter menyarankan agar Meira segera dioperasi. Jika tidak, risiko akan semakin parah. Arexa tidak tahu harus meminjam kepada siapa. Bahkan, setiap hari hidupnya hanya dikejar oleh orang yang menagih hutang. Hutang yang terpaksa ia ambil demi memberikan pengobatan untuk putrinya.

Di tengah keterpurukannya saat ini, Arexa harus kembali bekerja. Ia menitipkan Meira pada suster yang berjaga dan bergegas ke perusahaan tempat ia bekerja sebagai office girl. Namun kali ini, ia merasa sangat lelah dan kehilangan semangat.

Seperti biasa, ia membersihkan satu per satu toilet di setiap lantai. Salah satu toilet yang sedang ia bersihkan sengaja ia tutup pintunya. Tak lama, beberapa karyawan wanita datang dan mulai berbincang.

"Sayang ya, ganteng tapi belok. Padahal, banyak perempuan cantik."

"Kata siapa CEO kita belok?"

"Ck, dia itu gak pernah tertarik sama perempuan. Perempuan mana pun masuk ke ruangannya aja enggak boleh. Mau kalian tampilkan gunung kembar kalian pun, gak bakal dia tergiur. Heran deh."

"Seganteng gitu, mau deh aku kasih dia anak. Walau belok kan butuh penerus."

"Hahaha, ngarang aja. Udah yuk, takut didengar karyawan lain."

Arexa mendengar obrolan para wanita itu, tapi ia tetap fokus membereskan pekerjaannya. Baginya, obrolan seperti itu sudah biasa didengar. Sudah dua tahun ia bekerja di sini, dan tak pernah sekalipun bertemu dengan pemimpin perusahaan.

"Arexa!" Teriak rekan kerjanya sesama office girl dengan senyuman hangat ketika Arexa keluar dari toilet.

"Gimana keadaan Meira? Sudah ... sehat?" Tanyanya dengan penuh rasa penasaran.

Arexa menggeleng, "Dokter menyarankan agar Meira segera dioperasi. Karena obat-obatan sudah tidak mempan lagi. Tapi aku harus menyiapkan dana setidaknya 200 juta untuk biayanya."

Raut wajah rekan profesinya itu berubah kaget, "200 juta? 200 ribu saja mikir-mikir cari dari mana lagi." Gumamnya, lalu ia teringat sesuatu. "Eh, nggak coba pinjam ke perusahaan aja? Aku dengar, kemarin si Jamal pinjam tuh 5 juta uang ke si Bos."

"Masa sih? Tapi aku butuh 200 juta, bukan 5 juta." Balas Arexa sambil menggeleng.

"Ck, coba dulu! Siapa tahu kan dikasih, nggak ada salahnya mencoba kan?"

Arexa menghentikan pekerjaannya, ia mengangkat tangan dan menata kembali peralatan kerja. Benar juga kata temannya, kenapa ia tidak mencoba mengambil bantuan dari tempat ia bekerja? Tak ada salahnya bukan? Lagian, ini untuk putrinya yang sakit.

.

.

.

Biasanya Raffa datang siang hari, tapi pagi itu ia sudah datang ke kantor. Para karyawan pun heboh dengan kedatangan sang bos dan langsung berpura-pura sibuk. Raffa tahu apa yang karyawannya lakukan saat dirinya tidak ada, namun ia memilih mengabaikannya dan masuk ke ruangannya.

"Apa agenda saya hari ini, Henry?" Tanya Raffa pada asistennya sambil menjatuhkan tubuhnya ke kursi besar.

"Tidak ada pertemuan, tapi Anda harus menandatangani beberapa berkas," jawab Henry.

Raffa mengangguk dan kembali membuka laptopnya. Kepalanya terasa sedikit sakit setelah semalaman kurang tidur. Perkataan Tania terus menghantuinya. Ia merasa bersalah, tapi juga kesal karena orang tuanya tak mengerti perasaannya.

Tok!

Tok!

Henry, asisten Raffa itu pun membuka pintu dan mempersilakan Arexa masuk dengan membawa secangkir kopi. Biasanya office boy yang melakukannya. Namun kedatangan Arexa tentu jadi pertanyaan.

"Apa office boy sedang sibuk sehingga kamu yang datang?" Tanya Henry setengah berbisik pada Arexa. Ia tahu CEO mereka sangat suka wanita yang masuk ke ruangannya.

Arexa terlihat gugup, "Y—ya," padahal ia datang agar dapat bertemu dengan bosnya, bukan atas suruhan rekan kerjanya.

"Kopinya sudah sampai? Berikan, kenapa lama sekali." Ucap Raffa tanpa mengangkat pandangannya. Tatapannya tetap fokus pada laptop di hadapannya.

Arexa datang mendekat, meletakkan perlahan cangkir kopi itu di atas meja. Henry memantaunya, tapi tiba-tiba ia mendapat telepon dan memutuskan keluar dari ruangan. Kini, hanya tersisa Arexa dan Raffa saja dalam ruangan penuh keheningan itu.

"Tuan," suara wanita itu terdengar pelan.

Raffa yang sedang sibuk tiba-tiba terhenti. Tubuhnya menegang, pandangannya terangkat dan menatap penuh pada Arexa yang menunduk sambil meremas tangan.

"Kamu? Siapa yang menyuruhmu datang ke sini, hah?" Raffa terlihat marah, berdiri dan menatap tajam wanita itu.

Arexa mengenggam tangannya dengan kuat, perlahan mengangkat pandangan dan menatap Raffa yang kini memandangnya dengan ekspresi dingin.

"Tu—tuan?" Raut wajahnya berubah kaget, dirinya tak mengira akan bertemu dengan pria semalam yang membantunya.

Raffa mengerutkan kening dalam, dia merasa familiar dengan wajah wanita itu. "Kamu ... wanita malam tadi kan?" Tebaknya. Ia ingat jelas. Meski wajah wanita itu semalam tertutup make up tebal, tapi Raffa ingat rambut pirang wanita itu.

Arexa semakin mencengkram tangannya, tubuhnya bergetar hebat. Raut wajah dingin Raffa membuat suasana menjadi sangat mencekam.

"Apa maumu, huh?" Desis Raffa kesal.

Arexa berdehem, "Tuan, saya ingin meminjam uang untuk pengobatan putri saya, Tuan."

Raffa menarik nafas kasar, kembali duduk di kursi besar dan mengatur nafasnya. "Mana suamimu? Suruh dia yang membiayai anak kalian. Tidak punya uang tapi sok punya anak, ck. Orang tua kejam," desisnya dengan nada sinis.

"Saya ... tidak punya suami."

Raffa mematung, mengangkat pandangannya dan melihat Arexa yang kini berani menatapnya. "Untuk itu, saya mohon dengan sangat. Saya butuh uang demi pengobatan putri saya yang akan dioperasi. Saya mohon, saya mohon, Tuan."

Arexa menundukkan kepala, mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuhnya. Air matanya terus mengalir, pikirannya hanya tertuju pada putrinya. Raffa adalah harapan terakhir agar putrinya segera ditangani.

Melihat itu, Raffa pun tak tega. Ia menghela nafas dalam, mengambil cek dari lemari mejanya. "Berapa nominal yang ingin kamu pinjam?"

"200 juta."

Mendengar nominal yang sangat besar itu, membuat mulut Raffa terng4nga. Namun ekspresi terkejutnya segera berubah menjadi dingin, seolah hal yang didengarnya tidak masuk akal.

"200 juta? Jumlah yang sangat besar untuk kamu pinjam, bagaimana aku bisa percaya padamu? Memangnya ... apa yang bisa kamu gadaikan sebagai jaminan? Tentu, di dunia ini tak ada yang gratis,"

"Rahim saya, Tuan," ucap Arexa tanpa ragu, membuat Raffa terkejut setengah m4ti.

Arexa memberanikan diri mengangkat pandangannya, menatap Raffa yang kini terlihat syok. "Saya tidak memiliki apapun yang berharga selain diri saya. Banyak yang tahu bagaimana Anda, Tuan. Walaupun Anda memiliki pemikiran berbeda, pasti Anda membutuhkan penerus, bukan? Jika dalam waktu satu tahun saya tidak dapat mengembalikannya ... saya akan menanggung konsekuensinya."

Raffa terdiam, "Apa maksud perkataannya?" batinnya.

Arexa tersadar dengan apa yang dikatakannya. Wanita itu takut Raffa marah dan memecatnya. Dengan cepat ia meminta maaf.

"Tuan, maafkan saya. Saya tidak bermaksud menawarkan hal seperti itu. Jika Anda tidak berkenan, tidak masalah. Terima kasih atas waktunya." Arexa berbalik, ingin segera meninggalkan ruangan.

"Tunggu!"

Arexa menghentikan langkah, hatinya berdebar. Tanpa ia sadari, Raffa sedang menulis sebuah nominal di cek dan merobek kertasnya. Suara robekan itu membuat raut wajah Arexa berubah.

"Saya setuju."

"Apa?" Arexa berbalik, menatap Raffa yang berdiri sambil mengulurkan sebuah cek. Ia berjalan cepat menuju meja Raffa dan mengambil cek yang disodorkan itu. Dengan tangan bergetar, Arexa meraih cek tersebut dan menatapnya dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata.

"100 juta dulu, sisanya akan saya berikan setelah kamu menandatangani kontrak kerja sama kita. Setelah resmi, rahimmu sudah tergadai."

Arexa mengangguk pelan. Tanpa pikir panjang, ia bergegas pergi membawa cek itu. Kini, waktunya semakin sempit. Ia harus segera mengatur waktu agar uang itu bisa sampai di rumah sakit, dan putrinya bisa segera menjalani operasi. Betapa bahagianya hati Arexa saat itu. Apapun yang harus ia korbankan, bahkan menggadaikan tubuhnya sendiri, tidak masalah asalkan anaknya sembuh, ceria, dan bisa kembali hidup seperti anak lainnya.

Langkah Arexa yang terburu-buru menjauh meninggalkan ruang itu, membuat Raffa terdiam sejenak. Ia kembali duduk, menutup matanya, mencoba mencerna apa yang baru saja ia lakukan. Bayangan wajah Arexa, dengan rambut pirangnya yang acak-acakan, terus menghantui pikirannya.

"Kenapa ... aku berpikiran soal anak? Tapi emamg itu kan yang keluargaku tuntut. Bukan soal pasangan dan perasaanku, tapi ini soal ... penerus." Raffa kembali membuka matanya, menatap lurus kedepan.

Terpopuler

Comments

Srie Handayantie

Srie Handayantie

Raffa membantu dan rexa memilih menggadaikan rahim demi kesembuhan anak yg sedang sakit . ya Allah begitu berat nya ujian mu itu rexa knpa slalu wanita yg diuji sebegitu keras nya . /Sob/
kmren Ezra yg ngurus anak sndiri Krn ditinggal Nadia , skrg rexa hidup berdua sama anaknya . dan masih menjadi misteri suami rexa dimana??

2025-09-04

27

Agnezz

Agnezz

kenapa data Meira gak lengkap ya🤔 apa krn gak ada ayahnya, tapi kalo cuma anak ibu kan tetap bisa bikin akte kelahiran. tapi juga kalo gak begini Rexa gak bisa ketemu Raffa dan minta bantuan🙂🙂

2025-09-04

7

bunda fafa

bunda fafa

perjuangan seorang ibu mmg tdk main2.. apapun akan dilakukan demi anaknya sekalipun nyawanya akan dia berikan demi anaknya...makanya ada istilah surga di telapak kaki ibu..blm lg ketika hamil.. melahirkan.. menyusui serta membesarkan, mendidik, merawat..luar biasa sekali gelar " IBU" itu tdk main2 🥹🥹rexa km wanita tangguh..semoga meira bs terselamatkan

2025-09-04

5

lihat semua
Episodes
1 Dalam Pangkuan Sang CEO
2 Rahim Yang Tergadai
3 Perjanjian(Menikah)
4 Kehidupan Yang Berubah
5 Tak Mungkin Tergoda?
6 Program Bayi
7 Cara Minim Rasa Sakit
8 Ketakutan Arexa
9 Tetap Bayi Tabung
10 Tagihan
11 Wanita Yang Menari
12 Persiapkan Dirimu
13 Percobaan Yang Gagal
14 Panggilan Dekat
15 Hadiah Untuk Meira
16 Kekhawatiran Tania
17 Kepanikan Raffa
18 Pijatan Istri Kecil Raffa
19 Sebatas Istri Rahasia
20 Ketahuan?
21 Kecemburuan Raffa
22 Mulai Tak Terbiasa
23 Apa Yang Dia Lakukan Disini?!
24 Berdansa Bersama
25 Hukuman Untuk Istri Kecil
26 Malam Ini, Bisa Dong?
27 Lakukanlah! Aku ... siap
28 Noda Di Atas Seprai
29 Tentang Meira
30 Jamur-mu
31 Mulai Bergantung
32 Aku Kira Cukup Sekali
33 Akal-Akalan Raffa
34 Demam
35 Candaan Hangat
36 Bujukan Yang Gagal
37 Istri Kecil Raffa
38 Menolak Rasa
39 Kecurigaan Tania
40 Satu Nama Yang Menghancurkan Harapan
41 Mulai Menyadari
42 Hamil?
43 Kebimbangan Arexa
44 Aku Ingin Cerai
45 Kecurigaan Jingga
46 Kedatangan Nenek Cetar
47 Rencana Mama Mertua
48 Kepanikan Raffa
49 Setelah Ini, Istriku Kembali Kan?
50 Istri Kita Hilang
51 Tempat Persembunyian Tiga Istri
52 Pelukan Di Tengah Penyesalan
53 Periksa Kandungan
54 Jadi Calon Ayah Siaga
55 Karena Kamu Yang Mengisinya
56 Trombofilia
57 Kesepakatan Yang Berakhir
58 Sikap Manis Meira
59 Suntikan Untuk Joni
60 Harus LDM
61 Cincin Yang Melingkar Di Jari Manis
62 Menahan Diri
63 Si Terong
64 Kehebohan Ketiga Bocah
65 Kembali Ke Jakarta
66 Anting Yang Sama
67 Apa Kakak Ingin Kita Bercerai?
68 Aku Akan Membelamu Walau Dunia Menuduhmu
69 Saling Menguatkan
70 Hari Pertama Meira Sekolah
71 Perdebatan Karena Si Joni
72 Laki-laki Atau Perempuan?
73 Kecanggungan Raffa
74 Si Terong Dengan Tingkahnya
Episodes

Updated 74 Episodes

1
Dalam Pangkuan Sang CEO
2
Rahim Yang Tergadai
3
Perjanjian(Menikah)
4
Kehidupan Yang Berubah
5
Tak Mungkin Tergoda?
6
Program Bayi
7
Cara Minim Rasa Sakit
8
Ketakutan Arexa
9
Tetap Bayi Tabung
10
Tagihan
11
Wanita Yang Menari
12
Persiapkan Dirimu
13
Percobaan Yang Gagal
14
Panggilan Dekat
15
Hadiah Untuk Meira
16
Kekhawatiran Tania
17
Kepanikan Raffa
18
Pijatan Istri Kecil Raffa
19
Sebatas Istri Rahasia
20
Ketahuan?
21
Kecemburuan Raffa
22
Mulai Tak Terbiasa
23
Apa Yang Dia Lakukan Disini?!
24
Berdansa Bersama
25
Hukuman Untuk Istri Kecil
26
Malam Ini, Bisa Dong?
27
Lakukanlah! Aku ... siap
28
Noda Di Atas Seprai
29
Tentang Meira
30
Jamur-mu
31
Mulai Bergantung
32
Aku Kira Cukup Sekali
33
Akal-Akalan Raffa
34
Demam
35
Candaan Hangat
36
Bujukan Yang Gagal
37
Istri Kecil Raffa
38
Menolak Rasa
39
Kecurigaan Tania
40
Satu Nama Yang Menghancurkan Harapan
41
Mulai Menyadari
42
Hamil?
43
Kebimbangan Arexa
44
Aku Ingin Cerai
45
Kecurigaan Jingga
46
Kedatangan Nenek Cetar
47
Rencana Mama Mertua
48
Kepanikan Raffa
49
Setelah Ini, Istriku Kembali Kan?
50
Istri Kita Hilang
51
Tempat Persembunyian Tiga Istri
52
Pelukan Di Tengah Penyesalan
53
Periksa Kandungan
54
Jadi Calon Ayah Siaga
55
Karena Kamu Yang Mengisinya
56
Trombofilia
57
Kesepakatan Yang Berakhir
58
Sikap Manis Meira
59
Suntikan Untuk Joni
60
Harus LDM
61
Cincin Yang Melingkar Di Jari Manis
62
Menahan Diri
63
Si Terong
64
Kehebohan Ketiga Bocah
65
Kembali Ke Jakarta
66
Anting Yang Sama
67
Apa Kakak Ingin Kita Bercerai?
68
Aku Akan Membelamu Walau Dunia Menuduhmu
69
Saling Menguatkan
70
Hari Pertama Meira Sekolah
71
Perdebatan Karena Si Joni
72
Laki-laki Atau Perempuan?
73
Kecanggungan Raffa
74
Si Terong Dengan Tingkahnya

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!