Mari kita bicara tentang hal-hal yang tidak mereka beri tahumu ketika kamu menjadi "Pewaris Sistem Kuno". Tidak ada yang memberitahumu bahwa setelah menemukan cincin ajaib dan bertemu dengan makhluk mitologi, kamu akan menghabiskan hari-hari pertamanya dengan puasa mutih. Iya, tiga hari penuh hanya makan nasi putih dan air putih. Aku pikir akan ada latihan pedang cahaya yang epik, atau setidaknya semacam kursus kilat mengeluarkan energi ki. Tapi tidak. Hari pertamaku di gubuk Mbah Ledhek yang gelap dan berdebu itu dihabiskan dengan duduk bersila di atas tikar anyaman, mencoba mengunyah nasi yang rasanya seperti menghirup udara lembab dan memakan kertas.
"Laku iki ujiane dudu ing weteng, ning ing jiwa," (Laku ini ujiannya bukan di perut, tapi di jiwa.) kata Mbah Ledhek dengan suara tenangnya yang membuatku ingin menjerit. Dia duduk di depanku, mengamati setiap kedipan mataku seperti guru yang mengawasi ujian nyontek.
"Aku akan mencoba, Mbah," gumamku, sambil membayangkan sepiring gudeg lengkap dengan telur dan krecek yang tiba-tiba muncul dan kemudian menghilang, meninggalkanku dengan nasiputih yang membosankan ini. Perutku keroncongan dengan keras, seolah memprotes perlakuan kejam ini.
Kepalaku terasa ringan, mungkin karena kekurangan gula. Dunia berputar perlahan jika aku berdiri terlalu cepat. Dan Mar, si asisten AI kuno di kepalaku, sama sekali tidak membantu.
"Tapa Brata: 22/100. Tingkat fokus menurun. Deteksi kelaparan tingkat tinggi. Disarankan: meditasi untuk mengalihkan pikiran."
"Meditasi tidak akan membuat nasi ini rasanya seperti ayam goreng, Mar!" gerutuku dalam hati, merasa sangat kesal.
Hari kedua adalah tingkat siksaan yang baru. Aku terbangun dengan perasaan seperti kain lap basah yang telah diinjak-injak dan kemudian dilupakan di sudut gubuk. Kepalaku berdenyut-denyut, dan pandanganku berkunang-kunang. Dalam kondisi setengah sadar dan sangat kelaparan itu, otakku memutuskan untuk memutar film pendek yang sangat tidak menyenangkan.
Tiba-tiba, aku tidak lagi di gubuk. Aku melihat seorang wanita cantik dengan mata yang sama sepertiku atau mungkin itu hanya halusinasiku yang kelaparan, lari terhuyung-huyung menuju Sungai Brantas. Hujan deras mengguyur, tetapi aura ketakutan di sekelilingnya lebih dingin dari air hujan mana pun. Dia menggendong bayi yang dibungkus kain biru. Seorang pria gagah dengan sorot mata tegang berdiri menghadang sesuatu yang tidak kelihatan di belakang, tombak berukir di tangannya gemetar tapi kokoh.
"Lari, Sayang!" teriak pria itu, suaranya serak diterpa angin. "Bawa anak ini, selamatkan dia! Jangan pedulikan aku!"
Wanita itu memandangnya dengan air mata bercampur hujan, lalu dengan tangan gemetar, dia meletakkan bayi itu, aku, ke dalam keranjang rotan. Dengan ciuman terakhir di dahi bayi itu, dia mendorong keranjang itu ke sungai yang sedang bergolak. "Maafkan Ibu, Le," bisiknya, suara hancur, sebelum bayangan hitam menyergap mereka berdua.
Aku terbangun terisak, keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Dadaku berdebar kencang, napasku tersengal-sengal seperti baru berlari kilometer. Rasanya nyata. Terlalu nyata.
Mbah Ledhek sudah duduk di sampingku, tangan tuanya yang berurat menepuk-nepuk punggungku dengan lembut. "Kadang wektu iku dadi guru sing paling galak. Ning kowe kudu ngerti, Le. Masa lalu iku dudu beban, ning pituduh." (Kadang waktu itu menjadi guru yang paling galak. Tapi kamu harus mengerti, Nak. Masa lalu itu bukan beban, tapi petunjuk.)
Aku memandangi kalung kayu di leherku, jari-jariku menyentuh ukiran nama "Jaka" yang sudah pudar. Untuk pertama kalinya, itu terasa berat. "Saya tidak tahu, Mbah. Siapa sebenarnya orang tua saya? Mengapa mereka harus...?" Suaraku tercekat.
"Sing penting kowe ngerti, kowe ora dewe," (Yang penting kamu tahu, kamu tidak sendirian) jawab Mbah Ledhek, lembut tapi tegas. Matanya yang tua itu memancarkan ketenangan yang somehow membuatku merasa sedikit lebih baik.
Siang harinya, sesuatu yang hampir keren akhirnya terjadi. Saat aku mencoba meditasi lagi, karena tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selain meditasi atau memandangi dinding, Mar memberi kabar baik.
"Tapa Brata meningkat ke 35/100. Ketahanan mental dan fisik menunjukkan peningkatan signifikan. Sistem pencernaan beradaptasi dengan efisiensi energi baru."
"Hei, statku naik!" kataku pada Mbah Ledhek, merasa sedikit bangga. "Tapa Brataku 35!"
Dia hanya manggut, sambil terus mengaduk ramuan herbal hijau di kualinya yang hitam. "Alhamdulillah. Saiki coba tutup matamu maneh. Rasakno energi neng saubengmu. Ojo mikir, ning rasakno." (Sekarang coba tutup matamu lagi. Rasakan energi di sekitarmu. Jangan berpikir, tapi rasakan.)
Aku mematuhi. Aku memejamkan mata dan benar-benar berusaha merasakan. Awalnya hanya gelap dan suara jangkrik. Tapi perlahan, aku mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Aura Banaspati, yang biasanya terasa seperti ancaman mengerikan, sekarang terasa seperti getaran listrik statis yang gelap tapi stabil, seperti batu baterai tua yang masih berfungsi. Aura Mbah Ledhek terasa seperti aliran air jernih yang tenang dan dalam. Bahkan aku bisa merasakan kehidupan kecil dari semut-semut yang berjalan di tanah. Ini seperti mendapatkan indra keenam yang aneh! Aku punya radar emosi gaib!
Tiba-tiba, tanpa peringatan, bayangan hitam meluncur dari sudut gelap gubuk. Banaspati! Dia menyerangku dengan cakar berapinya! Instingku berbicara lebih cepat dari pikiran. Tubuhku bergerak sendiri, mengelak dengan gesit tanpa aku membuka mata sekalipun! Serangannya meleset.
"Waskita meningkat ke 15/100. Persepsi sensorik dan refleks pertahanan berkembang pesat."
Aku membuka mata, terengah-engah. Banaspati berdiri di depanku, matanya yang merah menyipit, terlihat agak terkesan.
"Refleksmu wis mulai tajam, Pewaris," katanya, suaranya masih parau tapi tidak lagi sepenuhuhnya mengancam.
"Aku... tidak sengaja..." gumamku, masih tidak percaya dengan gerakanku sendiri.
"Kuwi apik," (Itu bagus) ucap Mbah Ledhek dengan senyum tipis. "Artine insting pertahanan dirimu wis mulai makarya. Ora perlu mikir, awakmu dhewe sing bakal nanggepi." (Artinya insting pertahanan dirimu sudah mulai bekerja. Tidak perlu berpikir, tubuhmu sendiri yang akan merespons.)
Malam kedua puasa, aku terbangun oleh perasaan gelisah yang menusuk dadaku. Bukan karena lapar, tapi seperti ada sesuatu yang sangat salah. Sebuah peringatan dari "radar" baruku. Aku melangkah keluar gubuk, dan terkejut melihat ke arah desa Sukoharjo dari kejauhan. Cahaya lampu minyak yang biasanya tenang, sekarang berkedip-kedip tidak wajar. Suara anjing menggonggong panik dan teriak-terikan samar terbawa angin malam.
"Desa... ada sesuatu yang tidak beres," ucapku dengan suara cemas, jantung berdebar kencang. Aku membayangkan Bu Parmi yang ketakutan, Pak Karto yang berusaha melindungi ternaknya.
Mbah Ledhek sudah berdiri di sampingku, pandangannya juga tertuju ke arah desa, wajahnya serius. "Jin Pengintai wis bali. Nggawa konco sing luwih gedhe." (Jin Pengintai sudah kembali. Membawa teman yang lebih besar.)
Aku mengepalkan tangan, amarah dan kekhawatiran mendidih dalam darahku. "Aku harus membantu mereka!"
Tangan tua Mbah Ledhek yang kuat mendarat di bahuku, menahanku. "Kuatke ati dhisik. Wong-wong iku bakal slamet menawa kowe slamet. Saiki kowe isih lemah. Arep mbiyantu piye?" (Kuatkan hati dulu. Orang-orang itu akan selamat jika kamu selamat. Sekarang kamu masih lemah. Mau bantu bagaimana?)
Tapi gambaran Bu Parmi yang ketakutan di kepalaku membuatku nekad. "Mereka-mereka itu keluarga saya!" jawabku dengan getir, suara bergetar.
"Ora perlu nekat," (Tidak perlu nekat) ucap Mbah Ledhek, suaranya tegas seperti besi. "Ning gunakno kecerdikanmu. Kekuatan iki dudu mung babagan otot." (Tapi gunakan kecerdikanmu. Kekuatan ini bukan hanya soal otot.)
Keesokan paginya, di hari ketiga puasa, saat aku sudah hampir melupakan bagaimana rasa makanan yang sebenarnya, mereka benar-benar datang. Sekelompok Jin Pengintai kecil-kecil dengan sayap kelelawar dan mata hijau bersinar, berputar-putar di udara. Dan di belakang mereka, pemimpinnya: seorang Genderuwo setinggi tiga meter! Tubuhnya seperti gundukan tanah dan akar pohon yang hidup, ditutupi lumut hijau, dan setiap langkah kakinya yang berat membuat tanah bergetar.
Banaspati langsung melesat, berdiri di antara makhluk itu dan gubuk Mbah Ledhek. "Menjauh, Pewaris! Ini bukan lawanmu saat ini!" serunya.
Tapi aku ingat kata-kata Mbah Ledhek: gunakno kecerdikanmu. Aku tidak langsung panik. Aku menutup mataku, memaksakan diri untuk tetap tenang, dan mencoba membaca aura Genderuwo itu dengan kemampuan Waskita-ku yang masih baru. Dan there it was! Di balik lapisan lumut dan tanah di dadanya, aku melihat titik energi yang kacau dan rentan—sebuah sarang lebah hutan yang masih aktif!
"Kelemahannya di dada!" teriakku pada Banaspati. "Ada sarang tawon di sini!"
Banaspati mengangguk cepat dan melesat menyerang. Tapi Genderuwo itu terlalu kuat. Dengan gerakan tangan yang besar, dia dengan mudah melemparkan Banaspati hingga membentur pohon jati dengan keras.
Oke, rencana A gagal. Waktunya rencana B—rencana Jaka! pikirku cepat. Aku berlari ke dalam gubuk, mengambil suluh api yang masih menyala dari perapian. Dengan sisa tenaga terakhir dari tiga hari puasa, aku membidik dengan seksama dan melemparkan obor itu seperti lemparan pitcher baseball, tepat ke sarang lebah di dada Genderuwo!
BzzzzzzZZZZZT!
Sarang itu pecah. Ratusan lebah hutan yang marah keluar dan langsung menyerang Genderuwo, yang menjerit kesakitan dan kebingungan. Makhluk besar itu mengibas-ngibaskan tangannya yang besar tetapi sia-sia. Dia akhirnya mundur, lari ketakutan masuk ke dalam hutan, diikuti oleh Jin Pengintai yang juga panik.
Aku tersungkur ke tanah, napasku tersengal-sengal, seluruh tubuhku lemas. Tapi senyum lebar mengembang di wajahku. Aku baru saja mengalahkan monster raksasa bukan dengan kekuatan super, tapi dengan kecerdikan! Percy Jackson pasti akan memberiku high-five!
"Kasekten meningkat ke 17/100. Waskita meningkat ke 16/100. Analisis: Kemenangan melalui strategi dan penggunaan lingkungan. Efisiensi pertahanan: optimal."
"Pinter," (Pintar) ucap Mbah Ledhek sambil membantu aku berdiri. "Kowe wis mulai ngerti makna sejati kekuatan. Dudu saka gedhene, ning saka pintere nganggo." (Kamu sudah mulai mengerti makna sejati kekuatan. Bukan dari besarnya, tapi dari pintarnya menggunakan.)
Malam itu, setelah tiga hari penyiksaan rasa—maaf, puasa mutih yang penuh berkah—aku akhirnya diizinkan makan normal. Mbah Ledhek menyajikan sayur bening bayam dan nasi hangat. Makanan sederhana itu terasa seperti pesta kerajaan di lidahku. Aku menyantapnya dengan lahap, merasa setiap butir nasi adalah anugerah.
"Semenjak iki, kudu luwih waspada," (Sejak sekarang, harus lebih waspada) ucap Mbah Ledhek sambil memandangiku. "Wong-wong sing menganiaya trahmu ora bakal mandek. Iki mung wiwitan." (Orang-orang yang menganiaya trahmu tidak akan berhenti. Ini hanya permulaan.)
Aku mengangguk, mulut masih penuh nasi. "Apa selanjutnya, Mbah? Latihan apa lagi?"
Mbah Ledhek mengedipkan matanya. "Bulan purnama next week."
Aku terbatuk-batuk, hampir tersedak nasi. "Next week? Mbah, kok tiba-tiba bicara bahasa Inggris? Next week?" Aku memandangnya seperti baru melihat hantu.
Mbah Ledhek cekikikan, keriput di wajahnya berlipat-lipat. "Lha wong aku ki sing ngajari kowe, dudu sing diajari! Kudu melek jaman, Le! Ora boleh ketinggalan!" (Lha wong saya yang mengajarimu, bukan yang diajari! Harus melek zaman, Nak! Tidak boleh ketinggalan!)
Aku menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum lebar, tidak bisa menyembunyikan rasa heran dan geli. "Baik, baik, Mbah. Aku akan menunggu 'next week'-mu."
Aku berjalan keluar gubuk untuk menghirup udara malam, wajahku masih menunjukkan senyum kecut. Meski terkejut dengan Mbah Ledhek yang tiba-tiba menjadi sangat kekinian, hatiku merasa hangat. Aku punya guru yang aneh tapi bijaksana, sebuah sistem yang sok tahu tapi berguna, dan sekarang, sedikit keyakinan bahwa aku mungkin bisa melalui semua ini.
Dari kejauhan, di balik rimbunnya daun-daun gelap, sepasang mata mengawasiku dengan saksama. Sosok berjubah hitam itu tersenyum tipis, menunjukkan gigi-gigi runcing yang samar.
"Teruslah berkembang, Pewaris," bisiknya pada angin malam. "Kami akan menunggu... sampai saatnya tiba..."
Angin berhembus lebih kencang, membawa kabut tebal yang menyembunyikan sosok itu dalam kegelapan. Tapi perasaan diawasi, peringatan bahaya yang tertunda, masih menggantung di udara seperti bau hujan sebelum badai.
Jaka berjalan kembali ke gubuk, tanpa menyadari bahwa mata-mata kegelapan sedang mengamati setiap langkahnya. Petualangannya baru saja mulai memanas, dan ujian yang sesungguhnya, yang melibatkan bulan purnama dan siapa tahu apa lagi, masih menanti di sudut minggu depan. Tapi untuk sekarang, yang dipikirkannya hanyalah satu hal, besok pagi, dia benar-benar berharap bisa sarapan dengan sambal terasi. Satu hal kecil yang membuat semua ini tetap manusiawi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments