Laku dan Layar Tak Kasat Mata

Jadi, setelah mendapat wejangan mistis dari Semar dan memutuskan untuk menerima takdirmu, kamu pikir kamu akan langsung jadi pahlawan sakti yang bisa mengeluarkan pedang cahaya kapan saja? Pikir lagi.

Keesokan paginya, aku membantu Bu Parmi menjemur padi hasil panen. Butiran-butiran emas itu berkilau di bawah matahari, tapi pikiranku berada jauh di luar sana. Aku masih mencoba mencerna semua yang terjadi pertarungan dengan Banaspati, suara Mar di kepalaku, dan pertemuan dengan seorang dewa/penasihat spiritual berperut buncit. Rasanya seperti membawa rahasia besar yang terus menggedor-gedor tengkorakku dari dalam.

"Lho, kok kelihatan capek sekali, Le? Lagi tidak enak badan?" tanya Bu Parmi, matanya yang penuh kerut itu memandangiku dengan khawatir.

"Aku baik-baik saja, Bu," jawabku, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang membuatku merasa seperti sedang duduk di atas sarang semut. "Cuma semalam tidurnya tidak nyenyak." Itu adalah understatement of the year.

Pak Karto, yang sedang duduk memperbaiki cangkulnya, terkekeh. "Iya, itu karena kebanyakan mikir, Le! Daripada mikirin yang bukan-bukan, mendingan bantu saya ke ladang nanti sore. Pekerjaan fisik bikin tidur nyenyak!"

Aku mencoba ikut tertawa, tapi telingaku menangkap bisik-bisik khawatir Bu Parmi kepada tetangga tentang ayamnya yang mati mendadak semalam. Kata mereka, mungkin Bathara Kala lagi murka. Dadaku merasa sesak. Apa ini ada hubungannya dengan aku? Apa kehadiranku justru membawa sial?

Usai membantu, aku menyusuri jalan setapak menuju tepi hutan. Aku perlu mencoba memahami kekuatan aneh ini. Di bawah pohon beringin tua, aku berkonsentrasi.

"Keluar. Tolong. Pedang itu. Perisai itu," gumamku pada cincin di jariku, merasa sedikit bodoh.

Tidak ada yang terjadi. Cuma getaran hangat yang biasa. Jadi frustasi, tanpa berpikir, aku meninju batang pohon di sampingku.

BRUK!

Suara pecah kayu membuatku kaget. Aku menarik tanganku. Kulitku hanya sedikit memerah, tapi bekas tinjuku jelas tertancap di kayu yang keras itu. Aku menatapnya, tidak percaya.

"Kekuatan bukanlah pedang atau pusaka, melainkan hati yang berani..." Bisikan Semar kembali terngiang.

Tapi bagaimana caranya?! batinku. Bagaimana "hati yang berani" bisa membuatku meninju kayu sampai penyok?!

"Apa yang terjadi padaku?" desisku pada diri sendiri.

Saat kata-kata itu terucap, dunia di sekelilingku berkedip.

Sebuah layar transparan berwarna kebiruan tiba-tiba muncul mengambang di depan mataku. Seperti antarmuka video game, tapi penuh dengan aksara Jawa.

Nama: Jaka

Gelar: Pewaris Sistem Kuno - Tingkat Awal

Tapa Brata: 20/100(Ketahanan raga dan jiwa)

Kasekten: 14/100(Kekuatan gaib dalam daging dan darahmu)

Waskita: 13/100(Mata batin untuk merasakan yang tak kasat mata)

Kabegjan: 11/100(Berkah dari karma baikmu)

Aku terpana, mulutku terbuka. Ini gila. Aku memiliki stat sheet. Seperti karakter dalam game! Aku hampir menunggu opsi 'Tambah Skill Points' muncul.

"Selamat, Pewaris," suara Mar terdengar jelas dan hampir... bangga? "Akhirnya kau menyadari. Kekuatan itu bukan untuk dipanggil, melainkan sudah menyatu dalam dirimu. Angka-angka ini adalah potensimu. Mereka akan tumbuh seiring laku-mu."

"Laku?" gumamku, masih takjub memandangi layar yang perlahan memudar.

"Ya. Ibarat benih, ia butuh air dan pupuk. Tirakat-mu adalah airnya."

Tiba-tiba, layar itu berkedip merah. "Peringatan! Entitas gaib kuat terdeteksi.

Pola energi: sesuai dengan 'Banaspati'. Mendekat dengan cepat!"

Jantungku berdebar kencang. Aku langsung bersiap, tubuhku refleks mengambil posisi bertahan. Dari balik pepohonan, sosok hitam bermata merah itu muncul. Tapi aura mengerikannya sudah mereda.

"Tenang, Pewaris," suara Banaspati itu terdengar parau, tapi tidak mengancam. "Aku bukan musuhmu lagi. Kegelapan yang sebentar lagi datang akan menghancurkan desamu jika kau tidak siap. Aku diutus untuk membawamu kepada yang bisa membimbing laku-mu."

Aku ragu. Tapi ingatanku pada Semar bergema: "Dunia gaib tidak hitam putih." Dan yang paling penting, dia menyebutkan desaku. Sukoharjo.

"Bawa aku? Ke mana?" tanyaku, masih waspada.

"Ke Mbah Ledhek. Dialah yang bisa menuntun trah dan tirakat-mu."

Mendengar nama desaku lagi, hatiku tersentuh. "Tuntunlah jalannya," kataku, mencoba terdengar percaya diri.

Banaspati membawaku jauh ke dalam hutan, ke sebuah gubuk kayu sederhana yang hampir tersamar. Seorang lelaki tua renta dengan mata tajam sedang duduk di serambi, mengukir sesuatu.

"Sudah selesai, Pati?" ucap tua itu tanpa menengok. Banaspati membungkuk hormat lalu melebur ke dalam bayangan.

Mbah Ledhek kini menatapku. Matanya mengamati dari ujung kakiku hingga ke kalung dan cincinku. Sorot matanya berbinar. "Cincin Panghupitas... Kalung Trah Jaka... Aku sudah menunggu kedatanganmu, Nak."

Dia memperkenalkan diri sebagai orang yang menjalani laku. Ruangannya penuh dengan kitab kuning dan ukiran aksara Jawa yang membuatku merasa seperti berada di perpustakaan Hogwarts versi Jawa.

Tanpa kusadari, aku bercerita tentang "layar" dan angka-angka yang kulihat. Mbah Ledhek tersenyum.

"Itu bukan layar, Nak. Itu adalah Bahasa Jiwamu. Sistem itu bicara pada batinmu. Karena kau anak Jawa, maka yang kau lihat adalah istilah-istilah yang akurat di kepalamu."

"Tapi, Mbah, tubuhku jadi kuat sendiri. Aku tidak melakukan apa-apa."

"Itu baru bunganya, Nak. Buahnya belum kau petik," jawabnya. "Kekuatan itu adalah warisan leluhurmu. Tapi untuk menguasainya, untuk membuat angka-angka itu bertambah, kau harus membayarnya."

"Dengan apa, Mbah?" tanyaku penasaran.

"Dengan tirakat," jawabnya tegas. "Tirakat adalah mata uangnya. Cincin ini adalah pengingat, bukan jimat ajaib."

Lalu dia menjelaskan, dan ini bagian yang tidak kusukai:

· Untuk menaikkan Tapa Brata, Puasa mutih. Hanya nasi putih dan air putih.

· Untuk mempertajam Waskita, Semedi di tempat-tempat sepi.

· Untuk menguasai Kasekten (pedang cahaya dll.) dengan Tapa kungkum (berendam di sungai) atau melek semalaman.

Semuanya terdengar... sangat tidak nyaman.

"Untuk apa semua itu, Mbah?" tanyaku, membayangkan betapa laparnya aku nanti.

Mbah Ledhek menatapku dalam-dalam. "Untuk apa, Nak? Untuk pamer? Atau untuk melindungi Bu Parmi yang telah menyusuimu? Pak Karto yang menganggapmu anak sendiri? Dan semua orang di Sukoharjo?"

Oh. Perkataan itu menghunjam tepat di sasaran. Tiba-tiba, nasihat Semar "Cukup ojo lali dadi manungsa" menjadi jelas. Melindungi orang yang kucintai adalah wujud menjadi manusia.

"Untuk mereka, Mbah," jawabku, suaraku lebih tegas dari yang kukira. "Untuk Sukoharjo."

Senyum kebanggaan mengembang di wajahnya. Tapi tiba-tiba, Pati si Banaspati muncul dari bayangan. "Pengintai!"

Sebelum sempat bereaksi, seekor makhluk kecil bersayap seperti kelelawar menyemburkan kabut ke arahku. Dan tiba-tiba, aku melihatnya.

Vision: Desa Sukoharjo dilalap api. Rumah Bu Parmi rubuh. Pak Karto tergeletak. Jeritan panik di mana-mana. Dan aku... hanya bisa berdiri tak berdaya. Kekuatanku tidak berguna.

"TIDAK!!" teriakku, limbung. Tanganku menembus bayangan. Itu hanya ilusi, tapi rasanya sangat nyata.

Pati segera menghalau makhluk itu hingga kabur. Vision-nya menghilang. Aku terengah-engah, lututku gemetar. Keringat dingin membasahi tubuhku.

"Kau lihat?!" seru Mbah Ledhek, memegangi pundakku. "Ilmu tanpa tirakat bagai rumah di atas pasir! Musuh akan menghancurkanmu bukan dengan pukulan, tapi dengan mengacaukan jiwamu! Tirakat-lah yang akan menguatkan jiwamu!"

Aku menatapnya, napasku masih tersengal. Vision tadi adalah cambuk yang sempurna. Sekarang aku mengerti. Ini bukan tentang jadi sakti. Ini tentang jadi kuat dan teguh.

Aku bangkit, tekad membaja di mataku. "Aku siap, Mbah. Apa tirakat pertamaku?"

Mbah Ledhek manggut-manggut puas. "Puasa mutih. Tiga hari tiga malam. Hanya nasi putih dan air putih. Untuk membersihkan raga."

Aduh, batinku. Tiga hari? Tapi aku mengangguk. Aku pamit untuk kembali ke desa memberitahu Bu Parmi.

Sampai di rumah, Bu Parmi sedang menyapu halaman. "Dari mana saja, Le? Kelihatannya gelisah."

"Bu... Aku mau tirakat. Mau menyepi beberapa hari."

Bu Parmi memandangiku, matanya menatap langsung ke jiwaku. "Tirakat apa, Le?"

"Puasa mutih, Bu."

Dia menghela napas. "Apa lagi yang membuatmu mau tirakat seperti itu?"

"Aku ingin... membersihkan hati, Bu. Dan... mohon perlindungan untuk desa kita. Supaya selamat dari marabahaya." Kataku, teringat Bu Parmi yang seperti ibu dan Pak Karto yang seperti bapak. Mataku berkaca-kaca.

Mendengar itu, Bu Parmi memberiku wejangan. "Ojo mung diomongke, Le. Tirakat iku dilakoni. Dadi ojo arep mung dadi wong sing sekti, ning dadi wong sing wicaksana." (Jangan hanya diucapkan, Nak. Tirakat itu dijalani. Jadi jangan ingin hanya menjadi orang yang sakti, tapi menjadi orang yang bijaksana.)

"Iyo, Bu. Kulo cekel." (Iya, Bu. Aku pegang itu.)

Wajah Bu Parmi soft. "Wis, lungo. Lakonono. Tapi ojok lali karo awake dhewe." (Sudah, pergi. Jalankan. Tapi jangan lupa pada dirimu sendiri.)

Lalu dia masuk dan kembali dengan bungkusan kecil daun pisang. "Iki tape sing legi. Bekal bengi. Nyokot sikit-sikit bae pas tirakat, ojok kesusu." (Ini tape yang manis. Bekal nanti. Makan sedikit-sedikit saja pas tirakat, jangan terburu-buru.)

Dia menyodorkannya padaku. Bukan untuk melanggar puasa, tapi sebagai simbol kasih sayang. Seorang ibu yang percaya pada pilihan anaknya, meski tidak sepenuhnya mengerti.

Aku menerimanya dengan dua tangan, dadaku terasa hangat. Aku memeluknya erat-erat, mencium aroma dedaunan dan tanah yang selalu melekat padanya—aroma rumah.

Aku berbalik sebelum air mataku jatuh, berjalan cepat tanpa menengok. Aku takut jika menengok, tekadku akan goyah.

Langkahku meninggalkan rumah terasa lebih ringan, namun juga lebih bermakna. Aku tidak hanya membawa tekad, tapi juga restu.

Malam mulai menyelimuti Sukoharjo. Dan bagiku, Jaka, si anak sungai, ini adalah malam pertamaku menjalani laku. Dan untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai, aku merasa... berada di jalan yang benar. Meski perutku sudah mulai keroncongan memikirkan tiga hari hanya makan nasi putih. Ini akan menjadi ujian yang panjang.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!