Langit dan bumi yang di pertemukan

Setelah berpamitan dengan semua orang, Sofia dan Haedar meluncur ke rumah Sofia. Haedar tampak fokus mengemudi, matanya tajam memandang jalanan, sementara Sofia tenggelam dalam dunianya sendiri, matanya terpaku pada layar ponselnya. Senyuman tak pernah lepas dari wajahnya, seperti ada sesuatu yang membuncah dalam dadanya—sesuatu yang tak ingin ia bagi dulu, bahkan pada lelaki di sampingnya.

Tiga puluh menit kemudian, mobil mereka memasuki halaman rumah keluarga Sofia. Haedar memarkir mobil di garasi dengan cekatan.

“Om harus menghadap komandan dulu siang ini,” ujar Haedar sambil mematikan mesin mobil. “Nanti malam om balik lagi ke sini.”

Sofia mengangguk pelan. “Hati-hati, ya.”

Setelah Haedar berlalu, Sofia menghela napas dan mulai menurunkan barang-barangnya sendiri. Ia sempat terheran melihat betapa banyaknya barang yang dibawa. Seolah seluruh penghuni rumah Haedar berlomba-lomba menitipkan oleh-oleh atau kenang-kenangan padanya.

Rumah tampak sepi. Hanya ada ibunya, Bu Aynur, dan seorang asisten rumah tangga. Adik-adiknya sudah berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali. Karena tidak ingin merepotkan siapapun, Sofia memutuskan mengangkat barang-barang itu sendiri ke kamarnya di lantai dua.

Dengan napas yang mulai tersengal dan peluh yang membasahi keningnya, ia baru saja menapaki anak tangga ketika suara tiba-tiba mengejutkannya.

“Loh, Non udah pulang?”

Sofia terlonjak kecil, nyaris menjatuhkan kotak di tangannya. “Ya Allah, Ryan! Terkejut saya.”

Pemuda bertubuh jangkung itu terkekeh, menampakkan deretan gigi putihnya. Ia memang selalu begitu—riang dan sedikit usil.

“Maaf, Non,” ujarnya sambil mengangkat tangan.

“Sudah, bantuin saya aja, ini berat banget,” kata Sofia sambil menyerahkan sebagian barang padanya.

Ryan langsung menyambut dan memikul beban itu dengan mudah. Ia memang kuat, pemuda desa dengan tenaga yang ditempa kerja keras sejak kecil.

“Gimana pacar kamu? Sudah baikan?” tanya Sofia, mencoba berbasa-basi.

Ryan hanya menghela napas pelan. “Kami putus, Non.”

Sofia menoleh cepat. “Hah? Kok bisa?”

“Orang tuanya gak setuju. Katanya saya cuma seorang supir... gak selevel sama anaknya.”

Sofia memutar bola matanya, ekspresi sinis tergurat jelas. “Malang benar nasibmu, Yan.”

Ryan tertawa hambar. “Hahaha, begitulah, Non. Nasib pemuda desa.”

Ryan memang berasal dari sebuah desa kecil di Sumedang. Ia datang ke ibu kota untuk mengadu nasib, bermimpi bisa mengubah hidupnya. Namun, realita tak semanis harapan. Ia ditipu oleh seseorang yang menjanjikan pekerjaan. Seluruh tabungannya lenyap. Ia kehilangan arah, hingga suatu hari, nasib membawanya bertemu dengan Sofia.

Gadis itu, tanpa banyak tanya, menawarkan tempat tinggal dan pekerjaan. Kini, ia menjadi supir sekaligus asisten pribadi Sofia, dengan gaji yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Rasa syukur itu tak pernah pudar. Ryan merasa hidupnya dimulai kembali sejak hari itu.

“Kamu mau kuliah di sini, Yan?” tanya Sofia tiba-tiba.

“Wah, gimana mau kuliah, Non? Biaya aja saya gak punya.”

“Saya yang biayai. Atau kalau kamu mau, ikut seleksi TNI atau Polri. Biayanya saya urus, kamu tinggal fokus belajar dan daftar.”

Ryan terdiam. Tangannya masih memegang tas milik Sofia, tetapi matanya tak berkedip menatap gadis itu.

“Non… saya gak enak. Ibu dan Non udah terlalu banyak bantu saya.”

Sofia menarik napas panjang. Ia lalu duduk di sofa kamarnya dan memandangi Ryan dengan serius.

“Ryan, kamu itu sudah saya anggap keluarga sendiri. Saya cuma ingin kamu punya masa depan yang lebih baik. Jangan pikir soal uang. Saya ikhlas.”

Saat itu, pintu kamar terbuka. Bu Aynur masuk sambil membawa setumpuk kain. Ia meletakkannya di kursi lalu ikut duduk di samping putrinya.

“Ibu setuju, Yan. Kamu itu anak baik, jujur, dan pekerja keras. Sayang kalau hidup kamu begini terus. KTP kamu masih Sumedang?”

“Masih, Bu.”

“Bagus. Minggu depan kamu pulang ke sana. Urus semua keperluan. Soal biaya, biar Sofia yang urus.”

Ryan terdiam lama. Air matanya hampir tumpah. Ia menunduk, suaranya tercekat saat berbicara.

“Terima kasih, Non, Ibu… Saya gak tahu harus balas apa. Semoga Allah membalas semua kebaikan kalian.”

“Amin,” jawab Sofia dan ibunya bersamaan.

“Nanti saya pesankan tiket buat kamu, ya,” ujar Sofia. “Dan satu lagi, kalau bisa ikut seleksi taruna, ya Yan. Biar sekalian sekolahan kamu juga lebih baik.”

Ryan mengangguk penuh haru. “InsyaAllah, doakan ya, Non.”

“Pasti. Semoga sukses.”

Setelah Magrib, Sofia turun dari kamarnya dengan masih mengenakan mukena. Ia mendapati ibunya tengah sibuk menyusun beberapa bingkisan—pakaian, makanan, dan sedikit uang tunai—yang akan dititipkan untuk keluarga Ryan di kampung.

“Saya doakan semoga Ryan bisa sukses,” gumam Bu Aynur sambil mengikat satu kotak hadiah. “Anak itu baik. Saya bahkan berharap salah satu anak perempuan saya kelak bisa menikah dengan lelaki seperti dia.”

Dari kejauhan, Ryan memandangi Sofia. Hatinya berdesir melihat gadis itu dalam balutan mukena. Ia terlihat begitu anggun, begitu jauh dari jangkauannya. Tapi tidak kali ini. Ia telah menanam tekad dalam-dalam. Jika takdir mengizinkan, ia akan memperjuangkan cintanya. Ia tidak akan menjadi penonton selamanya.

Malam itu, Haedar datang kembali. Ia langsung duduk di sebelah Sofia, tampak lebih rileks. Bu Aynur mengamati kedekatan keduanya dengan pandangan yang penuh tanda tanya.

“Udah makan, Dar?” tanya Bu Aynur.

“Belum, Kak,” jawab Haedar sambil merebahkan kepalanya di bantal sofa.

“Sini, Aya ambilin makan,” ujar Sofia, bangkit menuju dapur.

Ryan mendekat ke Bu Aynur dan bertanya pelan, “Siapa, Bu?”

“Adik sepupu saya,” jawab Bu Aynur sambil tersenyum.

“Oh…” hanya itu yang bisa Ryan ucapkan, tapi hatinya gelisah. Ia bisa membaca bahasa tubuh Haedar dengan jelas. Lelaki itu menyukai Sofia—dan bukan sebagai keponakan.

Sofia kembali membawa sepiring nasi dan segelas air. Haedar menerimanya dengan senyuman, lalu duduk tegak dan mulai makan. Ryan memandangi keduanya dengan perasaan campur aduk. Ia tahu, perjuangannya tak akan mudah.

Tak lama kemudian, Haedar mengeluh.

“Kak, ada obat sakit kepala gak? Dari tadi kepala saya nyut-nyutan.”

“Sakit?” tanya Bu Aynur khawatir.

“Kurang tidur mungkin, Kak.”

Sofia tersenyum sambil menggodanya, “Tentara kok ngeluh kurang tidur?”

Haedar tertawa kecil, “Tentara juga manusia, Ay.”

Canda itu membuat suasana cair, tetapi di dalam hati Ryan, perasaan getir mulai tumbuh. Ia sadar, persaingan ini lebih berat dari yang ia kira.

Namun malam itu, di tengah riuh tawa dan obrolan ringan, Ryan mengukir tekad yang paling dalam, ia akan belajar, berlatih, dan berjuang. Bukan hanya untuk masa depannya, tapi juga untuk seseorang yang diam-diam ia doakan dalam setiap sujudnya.

Seseorang yang dulu terasa seperti langit, kini ia ingin gapai dengan kaki sendiri.

Dan jika langit itu memang bukan untuknya, ia akan tetap bersyukur—karena pernah punya kesempatan untuk mencintai dalam diam.

Terpopuler

Comments

Tajima Reiko

Tajima Reiko

Gak bisa berenti baca.

2025-10-16

0

Khalisa_18

Khalisa_18

makasih banyak😍😍, mohon masukannya kalau ada bagian yang gak nyambung ya 🙏🙏🙏

2025-10-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!